21.19
Akasa mendengus kasar begitu keluar dari taksi online yang ia tumpangi.
Di teras rumahnya ada Januar bersama dengan papa nya. Typical Januar, temen ngobrol nya kopi item sama rokok sampoerna mild. Kata Akasa si Januar kayak bapak-bapak doyan banget kopi item.
Januar dan papa Akasa serempak mematikan rokok mereka begitu Akasa mendekat. Hafal, karena Akasa tidak tahan dengan asap rokok.
“Kok naik gocar sih?” Tanya Papa.
Januar hanya menatap Akasa saja sambil menyeruput kopinya.
“Kak jo gak bisa jemput.”
“Kalau kakak yang ini gimana?” Kata papa sambil ngelirik Januar terus senyum jahil.
Akasa yang udah kepalang bete tidak menjawab apapun dan langsung masuk begitu saja ke dalam rumah.
Begitu Akasa telah selesai merapikan barang bawaannya, tidak lama Januar muncul di balik pintu kamar Akasa.
“Halo, boleh masuk gak aku?”
“Pintunya kan kebuka.”
Januar cuma nyengir terus masuk ke kamar Akasa. Ia lalu duduk di karpet, memegang kaki Akasa yang tengah duduk di pinggir kasur.
“Capek, Sa?”
Akasa tidak menjawab, hanya menghela nafas lalu membuang wajah enggan menatap Januar.
Januar mengelus betis Akasa lalu naik ke atas paha gadis itu. Akasa tidak protes akan perbuatan Januar, tetapi dalam hati gadis itu merutuki perbuatan Januar.
“Kenapa? Kamu kenapa jadi gini ke aku?” Tanya Januar dengan tangan yang masih mengelus paha Akasa. Kepalanya mengadah menatap Akasa yang lebih tinggi darinya.
Akasa masih tidak menjawab. Enggan menjawab sebenarnya.
“Mama marahin aku, aku salah mungkin. Tapi aku gak tau salah aku apa, Sa. Aku udah introspeksi, tapi masih gak tau. Kamu mau kasih tau aku gak? Aku minta maaf kalau emang aku salah.”
Akasa menghela nafas. Ia lalu menepis tangan Januar karena sudah tidak tahan, geli banget rasanya.
“Duduk diatas sini, gak enak ngobrol begini.”
Januar tersenyum lalu duduk di samping Akasa. Menggandeng lengan gadis itu lalu mengecup pundaknya sekilas.
“Mau ya kasih tau aku? Biar gak berantem begini. Aku gak tahan.”
“Emang kenapa kalau berantem?” Akasa balik bertanya.
“Gak ada yang bawelin aku. Aku jadi gak punya alasan curi-curi waktu buat buka handphone pas lagi kerja.”
“Bagus dong, itu tandanya aku ganggu kan makanya kamu sampe harus begitu pas kerja.”
Januar mengeratkan gandengan tangannya pada Akasa. “Gak gitu Akasa, ya Allah.”
Keduanya sempat terdiam beberapa saat. Sampai akhirnya Januar kembali bertanya dia salah apa kali ini.
“Kasih tau dong. Biar aku bisa perbaiki.”
Akasa menarik nafas lalu menatap Januar. “Kamu ke puncak waktu itu berangkat sama kak Bagas apa sama kak Rossa?”
Akasa tersenyum kecil begitu merasakan gandengan tangan Januar terlepas dan cowok itu menegakkan badannya.
“Aku sebenarnya gak mau larang kamu sih kak. Kamu sendiri kan yang bilang, kita berdua udah dewasa jadi harusnya tahu batasan tanpa harus di peringatin sama pasangan masing-masing. Tapi kamu kalau bohong begitu, aku juga marah. Kenapa harus di tutup-tutupin? Emang kamu berdosa kalau berangkat bareng sama kak Rossa?”
Januar menghela nafas, ia lalu meraih tangan Akasa. “Kamu marah karena itu?”
Akasa tertawa kecil, membuat Januar mengernyitkan dahinya heran.
“Kirain bakal jujur karena aku udah mancing bahas ini. Kamu beneran teler banget apa sampe gak inget kalau ciuman sama kak Rossa?”
“Atau aku harus ingetin juga kalau kamu minum di apartemen kak Rossa?”