278.
“Halo,”
“Ya, halo?” suaranya kedengaran bingung waktu dia akhirnya buka suara.
“Saya udah dibawah ya, Kak.”
“Ini siapa ya, pak? Saya perasaan gak lagi pesan apapun.”
“Oh, ini saya, kekasih hati mbak.”
Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya gue mendengar suara tawa dia menari ditelinga gue, membuat gue mau tidak mau ikut tertawa bersama dia.
“Kakak, iihhh, aku kira siapa.” Gue selalu suka dengan cara dia memanggil gue, kedengaran sangat manis ditelinga gue.
“Aku sudah dibawah ya, sayang.”
“Oke, aku kebawah sekarang.”
Begitu sambungan telepon dimatikan, gue langsung mengembalikan ponsel yang gue pinjam kepada pemiliknya. Pak Rudi yang berdiri disebelah gue saat ini sedang tersenyum geli. Mungkin dalam hatinya berkata, gini amat remaja jatuh cinta.
“Makasih ya, pak.”
“Ada-ada aja mas Cetta ini. Untung teh Iasha angkat teleponnya.”
Gue membalas dengan cengiran. “Biasa lah pak, biar kaget dianya.”
Nggak lama setelahnya gue melihat Iasha berjalan menghampiri gue. Gue suka bagaimana dia berlari kecil setiap menghampiri gue dengan senyum lebarnya.
“Kamu pinjem hape pak Rudi tadi?” tanya dia begitu berdiri dihadapan gue.
“Iya, iseng aja.”
Gue sebenarnya bisa aja telepon Iasha dengan ponsel gue, tapi kayaknya terlalu biasa kalau gue melakukan itu. Jadi tadi gue sengaja pinjam ponsel pak Rudi untuk mengabari Iasha kalau gue sudah sampai.
“Aku udah beli mangganya.” ucap gue begitu kita berdua sudah berada didalam mobil.
Iasha melihat ke kursi penumpang dibelakang, dimana ada mangga yang sudah beli tadi.
“Makasih, tapi kenapa nggak beli bareng aja?”
“Keburu bapak laper nanti kalau beli mangga dulu, macet juga, jadi tadi sekalian searah jemput kamu makanya aku beli duluan.”
Iasha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban. Gue tau cewek gue ini selalu cantik saat apapun, walau kadang tingkahnya suka ajaib. Tapi malam ini, kalau boleh jujur, adalah tercantiknya dia selama gue kenal Iasha. Dress hitam yang dia pakai sekarang seakan memang diciptakan untuk gue kagumi begitu melekat ditubuhnya.
“Can i hold your hand?” dia menoleh saat mendengar pertanyaan gue, lalu gue bisa lihat pipinya merona. Gue suka, selalu suka apapun soal Iasha. Lalu dia akan memberikan tangannya untuk gue genggam.
Terima kasih kepada bapak karena membelikan gue mobil matic sehingga gue tetap bisa genggam tangan Iasha walaupun lagi nyetir.
“Aku deg-degan,” katanya membuat gue terkekeh.
“Kalau gak deg-degan berarti mati dong. Jangan lah, kan udah janji buat hidup seratus tahun lagi.”
“Ih, bukan begitu.” dia memukul lengan gue dengan tangannya yang bebas. “Kalau aku mendadak jadi patung gimana?”
“Malin kundang dong?”
“Isshh, kamu mah bercanda mulu.”
Gue lagi-lagi tertawa. Gue elus punggung tangannya, berharap semoga yang gue lakukan bisa beri dia nyaman.
“Ssstt, udah ah gak papa. Kan ada aku, nanti aku temanin, kalau makan aku duduk disamping kamu, kalau pipis nanti aku tungguin di depan kamar mandi, kalau lagi ngobrol aku juga disamping kamu. Tenang ya, kita nggak lagi mau ke konferensi meja bundar kok ini.”
Dan dia tertawa, nggak hanya melegakan bagi dia, tetapi juga untuk gue karena akhirnya dia bisa tertawa. Gue ngerti apa yang dia takutin, gue juga tau hubungan kita mungkin terlalu dini untuk gue bawa dia ketemu bapak dan ibu. Tapi gue pengen Iasha juga disayangi sama orang-orang yang sayang gue, mendapat hal baik dari orang-orang baik disekitar gue.
Dunia gue sangat baik kepada gue selama gue hidup, jadi gue juga ingin memberikan hal tersebut kepada Iasha. Semua hal yang baik untuk Iasha.
“Kak, kata bang Bimo nanti aku wawancara narsumnya di Matraman, kamu tau nggak itu dimana?”
Gue menoleh sekilas untuk menatap dia. “Tau, emang wawancara siapa?”
“Katanya sih kenalan bang Bimo, mantan pengguna narkoba gitu.”
“Oh, di Matraman emang banyak kasus narkoba sih. Tapi udah dikabarin kapannya?”
“Belum, katanya mau dipastiin dulu.”
“Yaudah, nanti kalau udah ada kabarnya kasih tau aku ya. Nanti kalau bisa aku temenin.” Iasha hanya menjawab dengan anggukan.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, gue dan Iasha sampai di depan komplek perumahan tempat gue tinggal. Seperti biasa, gue akan selalu menyempatkan untuk menurunkan kaca mobil untuk menyapa babeh Udin yang malam ini lagi tugas buat jaga.
“Malam mas Cetta.”
“Malam, beh. Udah makan belum tuh? Udah ngopi aja.”
“Ya udah dong, mas. Istri gue mah kaga pernah sekip bekelin makan.” babeh Udin lalu melihat Iasha yang duduk disebelah gue. “Wedeeehh, setelah sekian purnama ada juga tuh yang dibawa kerumah.”
Gue menoleh untuk mendapati Iasha yang tersenyum malu-malu, lalu gue kembali menatap babeh yang lagi menyeruput kopinya. “Cantik ya, beh?”
“Nggak diragukan selera mas Cetta mah.” katanya sambil mengacungkan jempol.
“Yoi lah, abis gue jemput nih dari Kayangan.”
Babeh tertawa cukup keras mendengar jawaban gue. Lain dengan Iasha yang memukul lengan gue cukup keras. “Kak, apa sih.”
Gue kembali menatap babeh. “Namanya Iasha, beh. Ntar ya gue kenalin kalau main kesini lagi. Mau makan dulu sama ibu bapak.”
“Oke-oke, salam buat bapak ya, mas.”
Gue merespon dengan acungan jempol lalu kembali menginjakkan gas untuk menuju rumah gue.
“Kamu akrab banget ya sama babeh tadi?”
“Iya, kalau gabut aku join ngopi bareng dia soalnya.”
Begitu sampai di depan rumah, dan begitu gue sudah memarkirkan mobil gue, gue menatap Iasha yang sedang mengatur nafasnya. Begitu kita berdiri bersebelahan di depan pintu, gue kembali menggenggam tangannya.
“It's okay,” gue mengelus punggung tangannya. “We're gonna be okay, sayang.” dia tersenyum lalu menjawab dengan anggukan. “Eh, ini boleh kan aku pegang tangannya?”
“Ah,” satu yang harus kalian tau, Iasha kalau salting pasti mukul gue. Kayak sekarang. “Kamu mah nanya mulu.”
Gue tertawa, “Kita masuk sekarang, ya?” saat dia menjawab dengan anggukan barulan gue menarik dia untuk memasuki rumah gue.
Orang pertama yang menyambut gue dan Iasha adalah pak Irwan yang sedang membersihkan sepatunya. Begitu menangkap kehadiran gue dan Iasha, dia tersenyum penuh arti.
“Asiik, dibawa juga nih akhirnya.” Pak Irwan lalu berdiri dihadapan gue. “Mbak Iasha, ya?”
Gue menoleh, membiarkan Iasha untuk berinteraksi langsung dengan pak Irwan, supir ibu dan bapak.
“Hehe, iya pak, aku Iasha.”
Setelah menjawab tangan, pak Irwan kembali menatap gue lalu mengacungkan dua jempolnya yang gue balas dengan acungan jempol juga. Setelah sesi perkenalan itu, gue membawa Iasha untuk masuk lebih dalam kerumah gue.
“Ibu bapak, ini tamu kehormatannya sudah datang.”
Lalu terdengar suara gerudukan dari dapur dan lantai dua. Nggak lama ibu muncul dari dapur dan bapak muncul ditangga, masih dengan cerutu ditangannya.
“Ya ampun, cah ayu ku.” Ibu jadi orang pertama yang menghampiri Iasha lalu memeluk Iasha. Gue sendiri langsung sadar diri dan menyingkir menjauh, membiarkan ibu dan bapak menikmati waktunya dengan Iasha.
“Ayune, ya ampun. Ibu udah pingin sekali ketemu lagi, untung aja mau diajak mas Cetta pulang kerumah.”
“Ekhem,” suara bapak menginterupsi obrolan ibu dan Iasha.
“Sha, ini bapak.”
Bapak lalu menaruh cerutunya sebelum melangkah lebih dekat pada Iasha. Bapak mengulurkan tangannya yang nggak lama disambut oleh Iasha.
“Bambang...” ada jeda beberapa lama sebelum bapak kembali melanjutkan kalimatnya. “Bambang gentolet,”
Iasha hanya mengerjap nggak mengerti, sementara ibu langsung memukul lengan bapak. “Pak, ojo guyon wae.”
Bapak lalu tertawa, “Bercanda, bercanda. Nama bapak Bambang, panggilnya bapak aja yo, cah ayu.”
“Hehehe, Iasha, pak.”
Bapak lalu menatap gue bingung. “Loh, bukane sasageyo ya, mas?”
Iasha memelototi gue, sementara gue hanya bisa nyengir.
“Hehehe, bukan, pak. Itu panggilan akal-akalan kak Cetta aja. Nama aku Iasha.”
“Oalah, Iasha. Padahal bagusan Sasageyo loh.”
Setelah acara perkenalan dan basa-basi Ibu yang sangat ingin mengenal Iasha lebih jauh, akhirnya kita berempat duduk di meja makan.
“Iasha katanya mas Cetta bisa ngelukis ya?” tanya bapak disela-sela kegiatan mengupas kepitingnya.
“Nggak bisa banget sih, pak. Cuma hobi aja.”
“Bapak juga melukis Iasha, siapa tau kapan-kapan bisa melukis bareng.” Ibu lalu memberikan daging kepiting ke piring Iasha. “Makan yang banyak ya, cah ayu.”
“Iasha tadi belin ibu sama bapak mangga tuh, aku simpen di kulkas tadi.”
“Walah, padahal nggak usah repo-repot loh, sayang. Kamu datang aja ibu udah senang sekali.”
Iasha tersenyum. “Kata kak Cetta ibu sama bapak suka mangga, aku juga suka mangga. Jadi aku beli beberapa.”
“Makasih ya, cah ayu.” Bapak lalu memberikan capit kepiting yang sudah dia hancurkan cangkangnya ke piring Iasha. “Makan yang banyak ya, Iasha. Hati-hati sama cangkangnya, biar bapak sama Cetta aja yang buka.”
Setelah makan dan berbagai obrolan antara bapak, ibu dan Iasha, akhirnya gue mempunyai waktu dengan Iasha. Gue dan Iasha saat ini duduk di bale-bale yang berada di depan rumah.
“Senang nggak?” tanya gue.
“Senang banget. Makasih ya kak udah bawa aku ke rumah. Aku senang banget ada disini. Sempet terharu dikit tadi bapak ngupasin kepitingnya buat aku, terus ibu ngasih aku daging kepiting punya dia ke piring aku.”
“Padahal aku juga ngupasin kepiting buat kamu.”
“Hehehe, makasih juga buat mas Cetta.”
Gue hanya bisa melongo saat dia memanggil gue mas karena gue belum terbiasa saat panggilan itu keluar dari mulut Iasha. Lalu gue merasakan telinga gue memanas, sudah gue yakini kalau saat ini telinga gue memerah.
“Ihh, gitu aja salting. Telinga kamu merah tuh.”
“Abis, kamu panggil mas, sih.”
Iasha lalu tertawa, membuat gue juga ikut tertawa bersamanya.
“Tapi serius, makasih ya kak udah bawa aku ke rumah kamu. I never feel this loved before, sampai aku rasanya pengen nangis. Bapak kamu, ibu kamu, kamu, semuanya baik banget sama aku.”
“Sama-sama, sayang. Kamu bakal akan selalu disayang selagi aku hidup, jadi siap-siap aja terima hujanan sayang dari aku, ibu, bapak, dan semuanya yang sayang sama kamu, ya.”
Iasha menjawab dengan anggukan. Matanya yang menatap gue membuat gue langsung tahu saat dia mengatakan dirinya bahagia, dia benar-benar bahagia. Sorot mata Iasha adalah buku terbuka yang bisa gue baca dengan mudah malam ini.
“Tapi aku mau tanya deh,” katanya membuat gue menoleh. “Cah ayu itu apa sih?”
“Cah ayu?” gue terkekeh. “Cah ayu itu artinya cantik, sama ayak neng geulis kalau di Sunda. Tapi kalau buat ibu, bukan cuma cantik artinya, tapi juga sayang.” Gue lalu membelai rambutnya. “Semuanya sayang sama kamu disini, Sha.”