292.

“Ta, jangan gegabah lah.”

“Lo kalau nggak mau ikut ya diem aja disini, nggak usah ngelarang gue. Lo pikir gue bakal dia aja kalau tau perempuan di lecehin begitu sama dia? Perempuannya juga pacar gue, Ga.”

“Lo tau di dalam banyak anak delapan belas, Ta.”

“Lo liat gue peduli nggal?” Arga diem saat gue berkata demikian. “Minggir anjing.”

Gue langsung mendobrak salah satu pintu kontrakan yang kata Ucok adalah tempat dimana Bimo tinggal. Ngebayangin Iasha yang nerima chat nggak senonoh dari Bimo ngebuat hati gue sakit, ngeliat gimana Bimo ngomong seenaknya soal Iasha di grup sampahnya begitu ngebuat gue emosi.

Jadi, saat akhirnya Bimo terlihat di depan mata gue, gue langsung mencengkram bajunya, memaksa dia untuk berdiri dan keluar bersama gue, mengabaikan teriakan dari kating-kating yang sedang nongkrong di kontrakan Bimo.

“WOY!” Bimo menyingkirkan tangan gue dari kerah bajunya. “Apa-apaan sih lo, anjing?!”

Melihat wajahnya, bagaimana dia memelototi gue malah memnacing emosi gue. Nggak tau malu dia masih bisa melotot dihadapan gue setelah ngelecehin perempuan dengan ketikannya yang sampah itu.

“Lo yang apa-apaan anjing! Bangsat lo, ngomong apa lo soal Iasha?!”

Dia sempat bingung awalnya, tapi setelah gue menyebut nama Iasha sepertinya dia mengerti karena saat ini dia menyeringai. Melihat itu gue langsung melayangkan hantaman gue ke wajahnya.

“Apa-apaan lo?!” salah satu teman Bimo langsung menarik gue.

“Lepas, gue nggak ada urusan sama lo.”

“Berani lo sama senior?”

“Senior?” Gue menunjuk Bimo. “Sampah kayak begitu lo bilang senior? Orang yang sexualize perempuan di grup chatnya lo bilang senior? Orang yang nggak bisa ngehargain perempuan, jadiin perempuan objek seksual dia, ngomong sampah soal perempuan, lo bilang orang begitu senior?”

“Bro,” bahkan disaat begini bisa-bisanya Bimo masih ketawa. “Gue kan ngomong fakta soal cewek lo. Udah lah ngaku aja, nggak usah sok suci disini. Paling juga udah lo pake kan cewek lo itu?”

Mendengar itu, gue langsung mempercepat langkah gue untuk datang menghampiri dia dan kembali melayangkan hantaman gue ke mukanya yang kayak tai itu. Teman-temannya mencoba untuk melerai, tapi entah tenaga dari mana gue tetap bisa menghajar dia habis-habisan.

“Bangsat, anjing lo! Sampah mulut lo, anjing!”

“Ta, udah, Ta.” satu-satunya yang berhasil menarik gue adalah Arga, gue ditahan oleh dia. Dari jarak sejauh ini gue bisa melihat seberantakan apa wajah Bimo sekarang.

Nggak lama datang salah satu kating yang belakangan sering gue lihat bareng Bimo. Gue nggak yakin dia angkatan berapa, tapi yang gue tahu dia jauh diatas gue.

“Beran-beraninya lo mukulin senior lo. Lo tau, waktu lo naro tangan lo dibadan dia itu artinya lo nggak akan aman kan?” Dia lalu menampar gue. “Junior sok keras ya lo.”

Gue kembalikan tamparan dia. Keras, sangat keras. Balasan karena membela orang sampah kayak Bimo.

“Silahkan, bikin hidup gue nggak tenang. Hajar gue, keroyok gue kalau lo ketemu gue dijalan, habisin gue. Lakuin aja apapun yang bisa ngembaliin rasa malu dan ego lo yang hancur itu. Gue nggak takut, senior-senior sampah kayak lo semua nggak cukup untuk ngebuat gue takut. Ancam gue pakai ancaman sampah lo itu, kita liat hasilnya gimana nanti.”

Gue lalu menatap Bimo yang masih terduduk di tempatnya. Wajahnya yang berantakan membuat gue tertawa, sebenarnya nggak sepadan dengan apa yang dia lakukan ke Iasha.

“Semoga perempuan-perempuan di sekitar lo, di dunia ini, nggak akan ketemu sama cowok sampah kayak lo, Bim. Semoga semua perempuan di dunia ini punya tempat aman dari cowok biadab kayak lo. Ibu lo, saudara perempuan lo, pacar lo, anak perempuan lo nanti, semoga nggak akan dipertemukan sama cowok yang nggak bisa ngehargain mereka kayak lo.”