339.
Ini adalah hari kedua gue dan Iasha di Pulau Seribu dan besok kita udah harus pulang. Gue tahu Iasha adalah orang yang paling gamang untuk dibuat tertawa, tapi gue nggak pernah tau dia bisa tertawa seharian karena hal-hal kecil.
Mulai dari ombak yang berlarian kearahnya, kepiting kecil yang kabur dari dia, rambut gue yang selalu jabrik saat pagi hari, pasir pantai yang menggelitik kakinya, rantai sepeda kita yang selalu lepas kalau terlalu laju, semua hal-hal kecil itu bisa membuat Iasha tertawa.
Gue dan Iasha saat ini sedang menunggu senja di dermaga ditemai Sruntul dan Srintil. Iya, kita berdua mutusin buat ajak Sruntul dan Srintil, jadi peer emang, tapi karena Iasha meminta gue memutuskan untuk menuruti.
“Besok udah harus balik.” Ada kecewa dibalik nada suaranya.
“Kita bisa balik kesini kapan aja kok, Sha. Nanti sama mamah kamu juga, biar bisa main banana boat bareng.”
Dia lalu tersenyum dan menatap gue. “Sama ibu bapak juga ya? Kita realisasikan family gathering itu.”
Gue membalas senyum Iasha, “Oke, kita realisasikan family gathering itu.”
“By the way, kak. Kata mbak Priska kemajuan aku keren banget selama pemulihan pasca kejadian itu. Kata mbak Priska juga aku bulan depan mungkin udah nggak butuh konseling lagi sama dia.”
“Keren, aku tau kamu bakal bisa. Jadi nggak kaget, kamu kan emang hebat.”
Iasha memang rutin konseling sebagai pemulihan pasca kejadian dia dengan Bimo kampret itu. Gue selalu ngikutin perkembangan dia, memberitahu dia bahwa dia nggak akan pernah sendiri dalam menghadapi ini. Dia emang nggak memberitahu mamah nya perihal ini, tapi paling nggak gue akan selalu menemani dia dan selalu ada saat dia butuh gue. Dan sejauh ini, Iasha selalu menemukan langkahnya untuk maju.
“Aku nggak mau kejadian itu ngasih aku pengaruh banyak. Manusia emang kadang ada yang jahat, tapi banyak juga yang baik. Kayak kamu yang selalu kasih hal baik ke aku.”
Gue menatap matanya yang saat ini menatap gue. Lalu gue tersenyum saat mendapati dia tersenyum begitu lebar dan menghangatkan hati.
“You did very well, sayang.”
“Makasih ya kakak udah baik sama aku. Aku kadang heran kenapa kamu bisa baik banget, nggak cuma ke aku, tapi ke semua orang, kamu juga jadi pacar yang baik buat aku. Aku kadang setiap nerima semua yang kamu kasih ke aku jadi bertanya-tanya, aku pantas nggak ya dapat ini.”
“Sha, semua orang pantas diperlakukan dengan baik. Dunia udah cukup jahat jadi aku nggak perlu ikutan jahat.”
“Kamu kayak nggak pernah ngelakuin kesalah gitu loh, kak.”
“Aku juga bisa salah kok, Sha. Aku nggak selalu begini, manusia itu kan selalu belajar buat jadi lebih baik, begitu juga aku. Aku dulu ngelakuin kesalahan, aku pernah nggak ngabarin mantanku seharian karena asik sama dunia sendiri, aku pernah ngeremehin apa yang mantanku rasain karena menurut aku itu bukan masalah besar, dan semua itu salah. Dari semua itu aku belajar, mana yang nggak boleh aku lakuin ke pasangan aku, dan gimana harusnya aku ngehargain pasangan aku. Semua salah yang aku lakuin dulu yang ngebuat aku belajar dan jadi begini, Sha.”
Dia lalu tertawa. “Kamu kayak lagunya Taylor Swift, all of the girls you loved before made you the one i've fallen for.”
Sore itu matahari akhirnya mulai menenggelamkan dirinya dan gue juga ikut tenggelam pada tatapan Iasha yang menatap gue. Dengan Sruntul yang ada dipangkuan, dan Srintil yang ada dipangkuan gue.
“Makasih ya, kak. Banyak banget yang terjadi di hidup aku waktu kamu datang, baiknya, pahitnya, semua ada. Tapi sama kamu aku jadi bisa hadapin semuanya. Mulai kamu yang ngebuat aku jadi dibolehin pelihara Sruntul, ngerasain di sayang sama semua orang disekitar kamu, nggak pernah absen untuk bilang kamu selalu ada. Aku rasanya nggak mau minta apa-apa lagi selain berdoa semoga hubungan kita selalu baik-baik aja. Aku sayang banget sama kamu, you brought soooo much joy and happiness into my life. Makasih, sayang.”
“Sama-sama, sayang. Makasih juga udah ijinin aku ada di dalam cerita hidup kamu. Aku senang banget bisa sayang dan disayang begini sama kamu.”
Mungkin jalan gue dan Iasha masih jauh, sangat jauh. Ada banyak jalan yang menanti di depan kita. Tapi gue percaya dan memutuskan dalam seluruh proses hidup gue, mau itu saat turun dan naik, gue selalu ingin ada Iasha di dalamnya.
Gue menatap Iasha dalam saat ia sedang melihat bagaimana matahari terbenam. Gue sayang sama dia, sayang banget sampai gue selalu takut gue akan menyakiti dia kalau gue bertindak sembarang. Sayang banget sampai gue selalu ingin menajaga dia.
“Sayang,”
“Hhmmm?” Iasha menjawab tanpa menatap gue.
“Can i kiss you?”
Dia langsung menatap gue dengan tatapan terkejutnya. Sebenarnya gue juga kaget gue bisa tanya begitu ke dia. Wajahnya merah pada sekarang, dan gue yakin wajah gue juga. Lalu beberapa detik selanjutnya dia menganggukkan kepalanya.
Hari sudah menuju malam, Sruntul dan Srintil entah sudah berlarian kemana, tapi dimata gue hanya ada Iasha. Lalu gue mendekatkan diri gue kepada Iasha. Mendaratkan ciuman gue di dahinya. Dan dada gue berdebar, kencang dan terus bertambah kencang seakan jantung gue mau keluar dari tempatnya. Gue mencium dahinya, lama sangat lama, berharap waktu bisa berhenti sekarang juga untuk gue nikmati semuanya saat ini.
Gue lalu menyudahi ciumannya, beralih memeluknya dan berbisik tepat ditelinganya, walau begitu gue berharap semoga satu dunia mendengar dan merestui.
“Semoga kita selamanya ya, Sha.”
“Semoga kita selamanya, kak Cetta.”