Dari Jelena
Seperti yang di katakan Jeremy, Prabu akhirnya bersedia untuk bertemu dengan Jelena.
Mungkin memang ini yang Prabu butuhkan. Jadi ia memutuskan untuk bertemu dengan Jelena di tempat biasa ia dan perempuan itu kunjungi dahulu sewaktu masih bersama.
Seperti biasa, Prabu jadi orang pertama yang datang sampai akhirnya lima belas menit kemudia Jelena datang dengan gadis kecil perempuan yang di gandengannya.
Prabu hanya menatap Jelena dengan seksama. Perempuan itu masih sama, tidak ada yang berubah dari dia bahkan setelah empat tahun lamanya mereka tidak bertemu.
Mata Prabu masih terkunci, tenggorokannya tercekat saat mendengar suara Jelena yang memanggil namanya kembali menggaung di telinganya.
“Tama, you okay?” Jelena menjentikkan jarinya tepat di wajah Prabu yang mana membuat cowok itu akhirnya tersadar.
“Oh, hi. Sorry.” katanya kikuk.
“You look shocked.” Jelena terkekeh. “Athara, say hi to uncle.” kata Jelena pada anak kecil perempuan yang kini tengah duduk di pangkuannya.
Athara hanya melambaikan tangan lalu menyengir membuat Prabu terkekeh.
“Mau di ambilin baby chair?” tanya Prabu.
“No, it's okay. Aku gak bakal lama juga, suami aku nungguin.” kata Jelena.
Prabu masih terdiam, ia sibuk menatap Athara yang duduk di pangkuan Jelena.
“My daughter, umurnya tiga tahun.” kata Jelena.
“Ah, i see.”
“How's life, Tama?”
Prabu terkekeh, hatinya sedikit berdesir saat menatap jari manis Jelena yang tersemat cincin.
“Masih gitu-gitu aja, Je. Nothing special.”
“Jangan bohong, aku tahu dari Jeremy kalau kamu udah punya pacar.”
Prabu berdecak membuat Jelena tertawa kecil.
“Jeremy and his mouth.” kata Prabu. Cowok itu lalu kembali tersenyum menatap Jelena. “You look happier.”
“All thanks to, Athara. Kalau bukan karena dia aku gak bakal se happy ini.” katanya.
Prabu hanya tertawa pelan. Terjadi keheningan diantara mereka, karena jujur Prabu tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Jelena.
“I met my husband a month before our wedding.” kata Jelena mengundang tanda tanya besar pada Prabu.
“Our?”
“Ya, aku dan kamu.” kata Jelena. “Kamu ingat kan aku sempat ke Bali selama sebulan sebelum kita akhirnya nikah karena aku ada pekerjaan disana. Aku ketemu suami aku di Bali.”
Prabu masih terdiam, tidak merespon apapun yang mana membuat Jelena kembali membuka suara.
“It was a one-night-stand. I know, aku seharusnya gak begitu di saat aku sudah jadi tunangan kamu, but i was drunk. Aku lagi suntuk sama pekerjaan aku dan saat itu kamu juga lagi sibuk sama pekerjaan kamu yang mana ngebuat aku gak punya pilihan lain selain mencari hiburan sendiri. Setelah malam itu, aku sama dia ketemu beberapa kali karena setelah dalam keadaan sober dan kita ngobrol, ternyata kita cukup nyambung.
Sebelum aku pulang ke Jakarta, aku bahkan sempat tukeran nomor handphone sama dia. Saat dia ke Jakarta juga dia sempat meminta aku untuk ketemu dia.”
“it was not a one-night-stand, then.” kata Prabu.
“Ofcourse. Tapi tentu saja waktu itu aku menolak untuk ketemu, karena yang terjadi di Bali itu menurut aku kesalahan karena kita berdua sama-sama mabuk.”
Jelena menatap anaknya yang berada di pangkuannya lalu tersenyum.
“Sampai akhirnya seminggu sebelum pernikahan kita, aku tahu kalau ternyata aku hamil anak dia. Aku cukup yakin yang aku kandung adalah anak dia karena sedari aku pulang dari Bali, aku dan kamu gak melakukan kegiatan seksual apapun.”
”.........”
“Awalnya aku pikir, mungkin gak apa-apa kalau aku sembunyiin hal ini dan tetap nikah sama kamu. Tapi aku juga gak sampai hati untuk bohong sama kamu dan nutupin soal anak yang aku kandung ternyata bukan anak kamu.” jelas Jelena.
“Itu sebabnya kamu tinggalin aku di altar?”
“I had no choice, Tama.”
“Kamu punya, Jelena. Kamu punya banyak pilihan untuk jujur sama aku. Kamu bisa jujur setelah kamu kembali dari Bali, atau seminggu sebelum kita menikah saat kamu sadar kalau kamu ternyata hamil.”
“I'm so sorry.” ucap Jelena.
Prabu menghela nafas. Ia lalu mendapati Athara yang kini menatapnya dengan senyuman polos di wajah anak itu.
Prabu marah, sangat marah. Tetapi apa yang terjadi sudah terjadi, Prabu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Aku gak mengharapkan apapun dari kamu, bahkan maaf kamu pun gak aku harapkan. Aku cuma mau ngejelasin alasan kenapa aku pergi waktu itu.
And Tama, kamu perlu tahu kalau ini semua bukan salah kamu. Aku jahat sama kamu, ya, aku akui. Tapi bukan berarti semua yang aku lakukan dan semua yang terjadi di masa lalu kita itu karena kamu. Jadi aku mohon, tolong benci aku aja, jangan sampai kamu benci dirimu sendiri. Tolong jangan sampai kamu susah menaruh kepercayaan ke orang lain. Gak semua orang sejahat aku, Tama.”
Prabu masih terdiam. Ia memijit keningnya karena merasa pusing. Melihat Jelena saja memberikan dampak yang cukup besar untuk Prabu, ditambah mendengar penjelasan perempuan itu.
“You're suffered enough. Udah saatnya kamu bahagia.”
Prabu menghela nafas. “It's okay, Je. Thank you udah mau menyempatkan waktu untuk ngejelasin semuanya ke aku.”
“No need to, Tama.”