Keraton Residence
“Yaudah aku pulang ya, sel.”
Selene hanya tersenyum mengantar kepergian Javier. Javier pulang lebih dulu, bilangnya sih ada something urgent di rumah.
Setelah Javier pergi dengan mobilnya, Hendery menyusul Selene yang masih berdiri di pagar rumahnya.
“Liat gak sih lu tadi?” Tanya Hendery.
“Liat.” Selene berjalan kembali masuk kedalam rumah di ikuti oleh Hendery. “Hera minta di antar balik.”
“Emang Selene tolol. Udah liat Hera ngechat kaga marah juga.”
“Daripada lu bacot mending anter gua ke keraton residence.”
Hendery langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar apa yang Selene katakan barusan.
“Ngapain lu kesana?” Tanya Hendery dengan kerutan di dahinya.
“Ambil card holder gua, ada di om Prabu soalnya.”
Hendery membelalakkan matanya lalu memukul lengan Selene dengan dramatis.
“Sel, bagus harusnya emang gadun kaya raya nan cakep tuh jangan di tolak.”
Selene menepis tangan Hendery lalu mengambil tasnya. “Apasih gak jelas. Orang gak ada hubungan apa-apa juga.”
“Ada apa-apa juga gak papa.” Hendery tersenyum sambil menaik turunkan alisnya.
“Mau anter gak lu?” Tanya Selene galak yang langsung dijawab oleh anggukan dan senyum antusias dari Hendery.
Selama di perjalanan ke Keraton Residence mereka berdua habiskan dengan gosipin kakak tingkat yang katanya lagi hamil diluar nikah tapi tetep nekat kuliah.
Sesampainya di Keraton Residence, Selene dan Hendery langsung turun dari mobil. Mereka berdiri tepat di depan bangunan megah Keraton Residence. Keduanya mengadahkan kepalanya untuk melihat betapa megahnya bangunan tersebut.
“Woooaahhh, gua sebelumnya selalu liat ini apartemen dari internet. Mau kesini takut dikira pengemis, anjir.” Kata Hendery sambil menatap bangunan itu kagum.
Selene menutup mulutnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk memukul lengan Hendery.
“Sumpah, Heng. Gua juga sebelumnya cuma liat ini di google. Bagus banget aslinya.” Kata Selene.
Selene lalu dengan cepat menelpon Prabu untuk segera turun menghampirinya. Masih dengan posisi kepala yang mengadah Selene berbicara dengan Prabu di telpon.
“Halo, om. Saya udah di bawah nih. Bisa samper saya gak? Woaaahhh, ini keren banget asli om.”
“Haha, iya halo Selene. Saya kebawah sebentar.” Terdengar suara grasak-grusuk di sebrang sana, lalu bunyi beep yang mana berarti Prabu sudah keluar dari unitnya.
“Kamu sama siapa?” Tanya Prabu.
“Sama Aheng, om. Heng mau foto di situ gak? Keren kayaknya.”
Prabu hanya tertawa mendengar percakapan Selene dengan seseorang yang bernama Aheng.
“Om saya mau foto-foto dulu. Saya matiin, bye.”
Lalu sambungan telepon langsung di matikan secara sepihak oleh Selene.
Selene dan Hendery sempat mengambil beberapa foto baru kemudian Prabu terlihat.
Saat mendapati keberadaan Prabu Selene cukup terkejut. Soalnya setiap ketemu Prabu pasti laki-laki itu mengenakan setelan jas. Dan malam ini Prabu hanya mengenakan celana selutut dan kaos polos hitam serta kacamata yang bertengger di hidungnya.
“Mau masuk?” Tanya Prabu.
“Gak usah, om.”
Selene menggeleng yang langsung di sikut oleh Hendery yang berdiri di sebelahnya.
“Masuk aja Sel, kapan lagi lu masuk ke apartemen mahal.”
“Haha, tuh kata temen kamu masuk aja.”
Prabu menatap Selene yang masih sibuk menatap sekeliling dengan kagum. Ia lalu tersenyum simpul saat menyadari sedari tadi mulut Selene terbuka karena masih terkesima.
“By the way, siapanya Selene?” Tanya Prabu ke Hendery.
Hendery langsung mengulurkan tangannya dengan senyum wibawa.
“Ich bin Hendeeerrrrry.”
Mendengar itu Selene langsung memukul punggung Hendery.
“Aheng ih malu-maluin.” Selene lalu menatap Prabu. “Ini Dery om, dulunya teman saya, tapi sekarang jadi saudara soalnya kakak dia nikah sama kakak saya.”
Prabu tersenyum lalu menyambut uluran tangan Hendery. “Saya Prabu.” Katanya singkat.
“Om siapanya Selene, deh?”
Prabu beralih menatap Selene yang sedari tadi hanya memerhatikan mereka berdua.
“Siapa ya, Sel?”
“Bukan siapa-siapa.” Selene lalu nengadahkan tangannya. “Mana card holder saya.”
“Oh iya, ini. Masih lengkap kok dalamnya.”
“Oke, makasih ya om maaf ngerepotin.”
“By the way om, tinggal sama siapa tuh disitu?” Hendery bertanya sambil menunjuk bangunan di hadapannya.
“Sendiri sih saya.”
“Gak ada yang nemenin?” Tanya Selene.
“Gak ada, paling asisten rumah tangga datang seminggu sekali. Asisten pribadi saya datang dua hari sekali. Selain mereka ya gak ada.”
“Keluarga om?”
“Mama papa saya ada di Bali.”
“Saudara?”
“Gak punya, saya anak tunggal. Mama papa saya juga anak tunggal. Jadi saudara jauh pun kayaknya gak ada deh.”
Hendery lalu berbisik ke Selene. “Ini mah beneran anak tunggal kaya raya.”
“Dery, saya masih bisa denger loh.” Kata Prabu lalu terkekeh kecil.
“Sengaja om, saya kan berbicara fakta aja.”
Selene lalu mendekat kearah Prabu.
“Om, kalau bosen atau perlu temen ngobrol chat saya aja gapapa. Saya balas kalau mau, tapi kalau ga saya balas berarti saya malas.”
Prabu tertawa lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Gak papa? Katanya saya berisik, nanti ganggu kamu.”
“Just in case.”
“Okay.” Prabu tersenyum simpul. “Saya boleh chat kamu kapanpun dalam konteks apapun kan? Walau gak penting?”
“Boleh deh.”
“Kenapa tiba-tiba nawarin begitu, Selene?”
“Gak tau, saya ngerasa aja kalau jadi om pasti sepi banget gak punya siapa-siapa.”
“I have a lot friends.”
“Halah teman om pasti sama kakunya sama om.”
Prabu hanya tertawa. Sedangkan Hendery hanya memerhatikan keduanya dengan senyum yang menyebalkan.
“Makasih ya, Selene.”
“Hah? Kok makasih?”
“Iya, kamu barusan peduli sama saya.”
“Idih enggak.”
“Iya, itu peduli.”
“Enggak, om.” Selene berdecak sebal. “Yaudah ah saya mau pulang. Ayo, Heng.”
“Hati-hati, Selene. Nanti kalau udah sampe kabarin saya ya.”
Selene berbalik untuk menatap Prabu dengan sengit. “Dih ngapain banget?”
“Masa yang bisa chat kapanpun cuma saya. Kamu juga bisa, dong.”
“Dih saya gak mau.”
“Mau lah. Biar simbiosis mutualisme.”
“Serah deh.”
Selene dan Hendery lalu pergi meninggalkan Prabu yang masih berdiri di pekarangan Keraton Residence.
Di sepanjang jalan Hendery masih tersenyum, saat lampu merah ia lalu menatap Selene yang sibuk dengan handphonenya.
“Cieee, acikiwir aweuaweu.”