Self Defense
Brisia sedikit terkejut saat mendapati Aksara di depan pintu unitnya. Cowok itu tadinya bertanya apakah Jevan sudah datang atau belum. Saat Brisia menjawab kalau Jevan sudah datang, tidak ada balasan lagi dari Aksa. Dan ternyata cowok itu kini berdiri di depan pintu unit apartemennya dengan kantong plastik yang ia tenteng menggunakan tangan kanannya.
“Mau ketemu abang?” tanya Brisia.
“Iya,” Aksara terkekeh. “Udah lama gak ketemu.”
Brisia tertawa, cewek itu lalu melangkah keluar dari unit apartemennya dan menutup pintu lalu bersandar pada pintu tersebut.
“Abang lagi siap-siap. Kita kebawah aja duluan, nanti dia nyusul.”
Aksara menggaruk tengkuknya. “Oh, yaudah kalau gitu.”
Sesampainya di work space, sudah ada Januar dan Kale yang duduk disana dengan handphone di tangan masing-masing.
Brisia dan Aksa segera menyusul dan bergabung duduk dengan mereka. Kale dan Januar sempat menyapa Brisia, tidak banyak obrolan di antara mereka karena mereka pun sebenarnya tidak terlalu akrab.
“Anya beneran gak ikut?” tanya Aksa sambil mengeluarkan berbagai macam jajanan dari kantong plastik yang ia bawa.
Januar yang duduk di sebelahnya langsung mengambil salah satu snack dan membukanya. Cowok itu sempat menawarkan pada Brisia tetapi ia tolak dengan gelengan.
“Gak tau deh, kayaknya nyusul. Tadi Janu udah tanya, anaknya masih wawancara sama Dekan.” jelas Kale.
Brisia hanya menyimak obrolan mereka bertiga, namun sesekali Aksa bertanya kepada Brisia. Cowok itu sepertinya berusaha untuk membawa Brisia juga masuk kedalam obrolan. Karena di setiap kesempatan jika mereka sedang berdiskusi sesuatu, Aksa pasti akan menanyakan pendapat Brisia.
Tidak lama setelah itu Jevan akhirnya menampakkan batang hidungnya. Yang pertama kali menyambut dengan heboh adalah Aksa. Cowok itu langsung bangkit menghampiri Jevan yang mana membuat Jevan terkekeh lalu menepuk pundak Aksa.
“Sorry lama. Ini kalian berempat doang?” tanya Jevan. Cowok itu lalu menoleh menatap adiknya. “Kata kamu ada lima orang?”
“Iya, si Anya gak bisa ikut.” jawab Brisia singkat.
Jevan mengangguk pelan. Ketika tatapan Jevan bertemu dengan Januar, cowok itu lantas tersenyum jahil.
“Widih, si bos.” kata Jevan.
Januar dulu salah satu adik tingkat yang lumayan dekat dengan Jevan setelah Aksa. Waktu jaman Jevan baru lulus dan belum punya kerjaan, Jevan kerap kali bertemu dengan Januar dan Aksa yang sering nongkrong di sekretariat Mapala. Di beberapa kesempatan juga mereka bertiga pernah naik ke gunung Rinjani bersama.
“Jangan gitu dong, bang. Malu gua.”
Jevan tertawa, pandangannya lalu beralih kepada Kale yang berada di sebelah Januar.
“Ketua angkatan FISIP bukan?”
Kale tertawa. “Dih gak usah pura-pura deh lo.” kata Kale.
Brisia lumayan terkejut mengetahui ternyata Jevan cukup akrab dengan teman-teman sekelompoknya. Soalnya Jevan sudah lulus bahkan setahun sebelum Brisia menjadi mahasiswa.
“Aneh ya?” tanya Aksa yang menyadari kalau Brisia hanya menatap mereka dengan heran.
“Iya, gue kira yang kenal sama Abang cuma lo doang, Sa.” kata Brisia.
“Kalau sama gue dan Januar karena dulu pas pengukuhan Mapala yang natar itu bang Jev, jadi lumayan akrab. Kalau sama Kale, mereka berdua ini sama-sama ketua angkatan, jadi ya mungkin karena itu saling kenal.”
Brisia mengangguk paham. Cewek itu sebelumnya tidak tahu kalau Jevan dahulu adalah ketua angkatan, karena Jevan memang tidak pernah cerita.
“Yaudah, di mulai aja kali ya? Biar cepat kelarnya. Gue sama Brisia mau ke Pondok Indah abis ini.” kata Jevan.
Sesi wawancara lalu di mulai. Jevan mulai menjelaskan bagaimana kronologi kejadian tasnya yang di dalam mobil sewaktu itu di curi.
Yang kebagian tugas sebagai pewawancara adalah Aksa, karena cowok itu sendiri yang mengajukan diri. Brisia, Kale dan Januar hanya menyimak dalam diam.
Brisia baru tersadar kalau Aksa ternyata tipe orang yang ingin tahu banyak hal, terlihat dari dia yang beberapa kali menanyakan hal-hal yang menyimpang dari tema mereka. Tetapi diluar itu semua berjalan lancar. Walau di beberapa kesempatan Aksa dan Jevan saling melempar candaan dan tertawa.
“Makasih ya bang udah mau nyempetin waktu buat di wawancara.” kata Kale begitu mereka selesai dengan sesi wawancara.
“Santai aja, gue juga bantu mempermudah tugas adek gue ini.” kata Jevan dengan kekehan.
Mungkin selama lima belas menit mereka sedikit mengobrol ringan. Membahas kejadian dahulu yang masih mereka ingat dan tertawa sesekali. Brisia hanya mendengarkan sambil sesekali mengecek handphonennya. Sampai akhirnya Jevan yang pertama inisiatif untuk menyudahi obrolan.
“Udah dulu kali ya? Gue sama Brisia mau pergi nih soalnya.” kata Jevan.
Kale lalu melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Ia menepuk jidatnya, baru ingat kalau sore ini ia harus ke pet grooming sebelum tutup untuk mengambil peliharaan adiknya.
“Gue duluan pamit juga, mau ambil kucing.” kata Kale lalu berdiri.
Januar yang duduk di sebelah Kale lantas juga ikut berdiri karena ia dan Kale tadinya berangkat bersama.
“Gue juga ya, nebeng Kale soalnya.” kata Januar.
Setelah berpamitan dengan Kale dan Januar, Brisia, Aksa dan Jevan juga ikut berdiri. Jevan lebih dulu berjalan kearah lift karena Aksa menahan Brisia.
“Kenapa?” tanya Brisia sedikit panik karena Jevan sudah tidak terlihat lagi oleh pandangannya.
“Ini,” Aksa mengeluarkan self defense kit dari kantongnya lalu ia berikan pada Brisia. “Denger bang Jevan tadi bikin gue ngeri sendiri. Terus di Kutek sempet ada begal, maaf, payudara. Jadi kayaknya lo harus punya ini.”
Brisia mengerjap lalu mengambil self defense kit yang Aksa berikan. Ia tidak mengira Aksa akan seperhatian ini kepadanya. Tapi jujur, Brisia sama sekali tidak prasangka apapun soal sikap baik Aksa ini.
“Gue bisa mukul orang, tapi gak cukup kuat untuk berantem. Jadi papa gue bilang buat beli self defense kit untuk jaga-jaga.” Aksa menjelaskan. “Di bawa terus ya, Brisia.”
“Makasih, Sa.”
“Iya.” Aksa mengangguk. “Gue duluan ya. Ada urusan juga.” kata Aksa.
Brisia hanya mengangguk dan selanjutnya mendapati Aksa berjalan menjauh kearahnya.
Sebelumnya Brisia sendiri tidak pernah punya teman laki-laki yang dekat dengannya. Jadi ia bertanya-tanya, apakah yang seperti ini wajar?