Protective

Setelah wawancara yang hanya memakan waktu selama dua puluh menit, Aksa, Brisia dan Jevan memutuskan untuk mencari makan malam di dekat kantor Jevan.

Awalnya Aksa ingin segera pamit, tetapi Jevan memaksa untuk makan malam bersama dahulu. Aksa juga tidak punya alasan yang cukup bagus untuk menolak. Jadilah ia bergabung dengan Brisia dan Jevan, makan pecel ayam yang katanya favorit Brisia.

“Lo balik ke Depok, Sa?” tanya Jevan.

“Enggak, bang. Kayaknya mau ke Bintaro.” Jawab Aksa, karena hari ini papa nya meminta ia untuk pulang.

“Masih sering bolak-balik Bintaro-Depok?”

Aksa menggeleng lalu terkekeh. “Sekarang bolak-baliknya Pondok Indah-Depok, bang.”

Brisia hanya menyimak obrolan mereka, tidak ada niatan untuk ikut masuk kedalam obrolan.

Cewek itu sebenarnya sedikit penasaran dengan Aksa. Aksa ini kepribadiannya terlihat sangat tertutup dan cukup terbuka secara bersamaan. Terkadang cowok itu selalu diam jika ditanya soal pribadinya, tetapi terkadang ia juga tidak segan-segan untuk bercerita soal pengalaman pribadinya yang menurut Brisia sangat menarik.

Beberapa kali ia sempat mendengar kalau ternyata Ibu dari Aksa adalah salah satu komisioner dari Komnas Perempuan.

“Mama lo masih di Komnas?” tanya Jevan lagi. Kali ini Brisia mendengarkan dengan seksama obrolan mereka.

“Masih, tahun kemarin waktu acara Krimfair mama gue isi seminarnya.”

Jevan hanya mengangguk paham. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka makan sambil sesekali di selingi oleh obrolan ringan dari Aksa dan Jevan, Brisia juga sesekali menimpali jika Jevan atau Aksa bertanya pada mereka.

Setelah selesai makan Aksa langsung pamit untuk pulang karena papa nya sudah meminta cowok itu untuk segera pulang. Jevan dan Brisia juga memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua mereka alih-alih ke Depok, karena ternyata besok Brisia juga tidak ada kelas.

“Tuh kalau temenan sama Aksa aman.” kata Jevan yang sedang fokus menyetir.

Tadi Brisia sempat meminta kepada Jevan untuk tidak melewati jalan tol karena ia tidak ingin cepat sampai dirumah. Jevan pun menuruti kemauan adiknya.

“Karena mama nya kerja di Komnas Perempuan?” tanya Brisia.

Jevan mengangguk yang mana membuat Brisia terkekeh. “Abang tau sendiri mama gimana. Orang yang baiknya kayak kak Omar aja dia gak percaya.”

Jevan tidak merespon apapun. Memang mama mereka sangat protektif terhadap Brisia, mama sukar percaya dengan laki-laki yang mendekati Brisia. Begitu juga dengan Omar yang Brisia maksud.

Omar adalah tetangga mereka dahulu. Awalnya Brisia dan Omar berteman biasa, sampai akhirnya mama tahu dan setelah itu melarang Brisia untuk berteman dengan Omar.

Jevan tahu apa yang dilakukan mama adalah demi kebaikan Brisia, mama juga menghindari kejadian yang tidak mengenakkan seperti di masa lalu. Tetapi melihat Brisia yang sudah mau memasuki umur dua puluh tahu, Jevan rasa sudah cukup sifat protektif mama selama ini.

Namu baik Jevan, Brisia, maupun papa, tidak ada yang bisa membantah mama.

“Sabar aja, ada waktunya mama percaya sama kamu kok.” kata Jevan sedikit melirik ke Brisia yang duduk di sebelahnya.

“Gak papa kok abang, aku cukup senang sama keadaan aku sekarang.” Brisia lalu menoleh menatap Jevan. “Nih berkat abang aku jadi boleh tinggal sendiri di Depok.”

Jevan hanya tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap kepala adiknya.

“Lagian kan kata papa yang penting nurut dan jujur sama mama.” sambung Brisia.

“Iya, tapi kalau pun ada sesuatu yang gak bisa membuat kamu jujur ke mama, abang harap kamu bisa jujur ke abang.” kata Jevan membuat Brisia mengangguk paham.