radianteclipse

BONUS.

“Beneran, bang?” tanya gue ke Bima sekali lagi.

Dan Bima masih mengangguk sebagai jawaban. “Serius, Sha. Ketuplaknya teman gue di UKM dulu, jadi bisa gue lobi. Cetta suka kan tuh? Lo ajak aja.”

“Suka banget dia, mah. Orang setiap night drive lagi beliau mulu yang dia dengar. Lo nggak tau aja gimana pengennya dia nonton konsernya.”

Bima lalu tertawa. “Yaudah, bawa gih. Nanti bisa sekalian foto tuh mereka.”

Hari ini kak Cetta nggak ke kampus, selain karena nggak ada kelas, dia harus ngantar Bapak isi seminar ke Bandung. Tapi dia bilang kalau jam lima sore dia udah di Jakarta dan dia ingin mengajak gue bertemu untuk makan malam bareng, jadi kesempatan itu gue gunakan untuk memberi kejutan ini ke kak Cetta.

Gue nggak sabar liat muka dia yang pasti kesenangan, karena kak Cetta emang ngefans banget sama orang ini. Gue kira dia dulu cuma bercanda, tapi namanya juga kak Cetta, susah ditebak, dia ternyata beneran ngefans sampe ngefans banget sama orang ini.

“Kita ngapain sih kok ke kampus?” tanya kak Cetta heran.

“Kata bang Bima, BEM Teknik lagi ngadain music festival, terus guest starnya kesukaan kamu. Pasti kamu suka deh.”

“Kesukaan aku? Apaan emang?”

“Lah gimana? Masa kesukaan sendiri nggak tau?”

“Apa ya? Artis, Sha?”

Gue hanya membalas dengan senyuman, “liat aja deh nanti, kamu pasti hepi banget.”

Dia tertawa, “Oh, makanya kamu nyuruh aku dandan yang ganteng ya?”

“Iya, ketemu idola harus all out dong.”

Lalu gue mengajak kak Cetta menuju tempat dimana konser tersebut diadakan. Rame banget sumpah, mana nggak ada yang gue kenal karena isinya anak Teknik semua. Tapi nggak papa, demi kesenangan kak Cetta.

Kak Cetta masih merasa bosan karena artis yang gue maksud belum waktunya tampil. Tapi beberapa menit kemudian, alunan nada yang mungkin familiar untuk kak Cetta terdengar, membuat kak Cetta menatap gue dengan pandangan terkejut. Dan saat itu lah gue tau kalau artis kesukaan kak Cetta akhirnya tampil.

“Sha?” dia bahkan sampai membulatkan matanya. “Ini kamu serius?”

Gue mengangguk, agak geli juga melihat bagaimana senangnya dia sekarang. “Serius, tuh-tuh kesayangan kamu udah muncul.” lalu gue membalik badan kak Cetta menuju panggung lagi.

Dan saat itu lah gue mendengar suara teriakan kak Cetta yang menggelegar. “MBAK HEPIIIIIIIIIII.”

Iya, penyanyi kesukaan kak Cetta yang gue kira bercanda itu Happy Asmara. Gue udah sering banget denger bagaimana inginnya dia melihat Happy Asmara secara langsung. Dan kebetulan waktunya selalu nggak pernah pas karena dia juga sekarang lagi sibuk magang.

Gue nggak tahu lagu apa yang sekarang sedang dinyanyikan tapi melihat kak Cetta yang goyang gue jadi ikut goyang bersama.

“Kak, ikut aku yuk.”

“Ih mau kemana? Belum selesai lagunya.” dia bahkan kelihatan nggak ikhlas gue ajak pergi sekarang.

“Ikut aja, aku mau kasih kamu sesuatu.”

“Nggak bisa nanti ya?”

“Nggak bisa, sayang. Mau ya sekarang?”

Dia lalu menatap kearah panggung, dimana Happy Asmara masih menyanyi. Setelahnya lalu jalan mengikuti gue dengan gontai. Gue baru kali ini melihat kak Cetta fanboying dan ternyata lucu banget.

“Kita ngapain kesini?” tanya kak Cetta begitu kita berada di backstage.

“Ketemu kesayangan kamu.”

Dia awalnya bingung, tapi selanjutnya wajahnya kembali berseri. “Ketemu Happy Asmara?”

“Iya,”

“Demi apa, Sha?”

“Iya, kak Cetta. Dapat akses nih dari temennya bang Bima.”

“Astagaaaaaa.......” dia bahkan sampai loncat-loncat kecil saking excitednya. “Sha aku gugup banget.”

“Hahahahaha, tenang kak, kamu malam ini udah ganteng banget kok.”

Lalu yang ditunggu-tunggu kak Cetta akhirnya muncul. Begitu melihat Happy Asmara berjalan kak Cetta mendadak jadi kaku, gue yang melihat itu nggak bisa menahan tawa.

“Nah, ini mbak yang mau foto. Ngefans banget dia sama mbak.”

“Ooohh, iya tah?” Kak Cetta masih diam saat Happy Asmara berdiri disampingnya. “Namanya siapa, mas?”

“Cetta, mbak. Hehe, keren banget mbak tadi dipanggung.”

Gue geli banget liat kak Cetta yang kikuk begitu, dia bahkan nggak menatap Happy Asmara sama sekali.

“Boleh foto nggak, mbak??” tanya gue karena kak Cetta masih starstruck dan nggak bisa ngomong apa-apa.

“Boleh-boleh.”

Gue lalu mengambil foto kak Cetta dan Happy Asmara. Dengan pose kak Cetta yang canggung, kedua tangannya dia silangkan di depan dan Happy Asmara yang berpose peace. Gue rasanya pengen ketawa banget.

“Makasih ya, mbak.”

“Sama-sama mas Cetta, aku duluan ya.”

Dan detik berikutnya saat Happy Asmara masuk keruang tunggunya kak Cetta langsung memeluk gue erat. Membuat gue ikut tertawa bersama dia.

“ASTAGA, IASHA. Aku habis salam tadi sama dia.”

“Kamu juga foto kak, nih.” gue memberikan hasil polaroid yang gue ambil tadi.

“Ya ampun, dreams come true.”

Dia lalu mengambil hasil polaroid tersebut, dan mengambil dompetnya lalu dia buka. Foto tersebut dia letakkan disebelah foto gue dan kak Cetta yang udah lama bertengger di sana. Sekarang posisi gue jadi setara dengan Happy Asmara, tapi rasanya lucu melihat itu. Bahkan ketika kita dijalan keluar dari backstage kak Cetta masih menatap foto tersebut dengan senyum merekah.

“Kamu seneng banget.”

“Seneng banget banget banget sumpah. Aku nggak nyangka bisa foto sama dia. Makasih ya, sayangku, semua ini berkat kamu.” lalu dia kembali menatap hasil fotonya. “Omaigat, mbak hepi.”

Hubungan gue sama kak Cetta tuh emang selalu ada-ada aja. Tapi dari selalu ada-ada aja itu gue jadi selalu senang dalam hubungan ini.

339.

Ini adalah hari kedua gue dan Iasha di Pulau Seribu dan besok kita udah harus pulang. Gue tahu Iasha adalah orang yang paling gamang untuk dibuat tertawa, tapi gue nggak pernah tau dia bisa tertawa seharian karena hal-hal kecil.

Mulai dari ombak yang berlarian kearahnya, kepiting kecil yang kabur dari dia, rambut gue yang selalu jabrik saat pagi hari, pasir pantai yang menggelitik kakinya, rantai sepeda kita yang selalu lepas kalau terlalu laju, semua hal-hal kecil itu bisa membuat Iasha tertawa.

Gue dan Iasha saat ini sedang menunggu senja di dermaga ditemai Sruntul dan Srintil. Iya, kita berdua mutusin buat ajak Sruntul dan Srintil, jadi peer emang, tapi karena Iasha meminta gue memutuskan untuk menuruti.

“Besok udah harus balik.” Ada kecewa dibalik nada suaranya.

“Kita bisa balik kesini kapan aja kok, Sha. Nanti sama mamah kamu juga, biar bisa main banana boat bareng.”

Dia lalu tersenyum dan menatap gue. “Sama ibu bapak juga ya? Kita realisasikan family gathering itu.”

Gue membalas senyum Iasha, “Oke, kita realisasikan family gathering itu.”

“By the way, kak. Kata mbak Priska kemajuan aku keren banget selama pemulihan pasca kejadian itu. Kata mbak Priska juga aku bulan depan mungkin udah nggak butuh konseling lagi sama dia.”

“Keren, aku tau kamu bakal bisa. Jadi nggak kaget, kamu kan emang hebat.”

Iasha memang rutin konseling sebagai pemulihan pasca kejadian dia dengan Bimo kampret itu. Gue selalu ngikutin perkembangan dia, memberitahu dia bahwa dia nggak akan pernah sendiri dalam menghadapi ini. Dia emang nggak memberitahu mamah nya perihal ini, tapi paling nggak gue akan selalu menemani dia dan selalu ada saat dia butuh gue. Dan sejauh ini, Iasha selalu menemukan langkahnya untuk maju.

“Aku nggak mau kejadian itu ngasih aku pengaruh banyak. Manusia emang kadang ada yang jahat, tapi banyak juga yang baik. Kayak kamu yang selalu kasih hal baik ke aku.”

Gue menatap matanya yang saat ini menatap gue. Lalu gue tersenyum saat mendapati dia tersenyum begitu lebar dan menghangatkan hati.

“You did very well, sayang.”

“Makasih ya kakak udah baik sama aku. Aku kadang heran kenapa kamu bisa baik banget, nggak cuma ke aku, tapi ke semua orang, kamu juga jadi pacar yang baik buat aku. Aku kadang setiap nerima semua yang kamu kasih ke aku jadi bertanya-tanya, aku pantas nggak ya dapat ini.”

“Sha, semua orang pantas diperlakukan dengan baik. Dunia udah cukup jahat jadi aku nggak perlu ikutan jahat.”

“Kamu kayak nggak pernah ngelakuin kesalah gitu loh, kak.”

“Aku juga bisa salah kok, Sha. Aku nggak selalu begini, manusia itu kan selalu belajar buat jadi lebih baik, begitu juga aku. Aku dulu ngelakuin kesalahan, aku pernah nggak ngabarin mantanku seharian karena asik sama dunia sendiri, aku pernah ngeremehin apa yang mantanku rasain karena menurut aku itu bukan masalah besar, dan semua itu salah. Dari semua itu aku belajar, mana yang nggak boleh aku lakuin ke pasangan aku, dan gimana harusnya aku ngehargain pasangan aku. Semua salah yang aku lakuin dulu yang ngebuat aku belajar dan jadi begini, Sha.”

Dia lalu tertawa. “Kamu kayak lagunya Taylor Swift, all of the girls you loved before made you the one i've fallen for.”

Sore itu matahari akhirnya mulai menenggelamkan dirinya dan gue juga ikut tenggelam pada tatapan Iasha yang menatap gue. Dengan Sruntul yang ada dipangkuan, dan Srintil yang ada dipangkuan gue.

“Makasih ya, kak. Banyak banget yang terjadi di hidup aku waktu kamu datang, baiknya, pahitnya, semua ada. Tapi sama kamu aku jadi bisa hadapin semuanya. Mulai kamu yang ngebuat aku jadi dibolehin pelihara Sruntul, ngerasain di sayang sama semua orang disekitar kamu, nggak pernah absen untuk bilang kamu selalu ada. Aku rasanya nggak mau minta apa-apa lagi selain berdoa semoga hubungan kita selalu baik-baik aja. Aku sayang banget sama kamu, you brought soooo much joy and happiness into my life. Makasih, sayang.”

“Sama-sama, sayang. Makasih juga udah ijinin aku ada di dalam cerita hidup kamu. Aku senang banget bisa sayang dan disayang begini sama kamu.”

Mungkin jalan gue dan Iasha masih jauh, sangat jauh. Ada banyak jalan yang menanti di depan kita. Tapi gue percaya dan memutuskan dalam seluruh proses hidup gue, mau itu saat turun dan naik, gue selalu ingin ada Iasha di dalamnya.

Gue menatap Iasha dalam saat ia sedang melihat bagaimana matahari terbenam. Gue sayang sama dia, sayang banget sampai gue selalu takut gue akan menyakiti dia kalau gue bertindak sembarang. Sayang banget sampai gue selalu ingin menajaga dia.

“Sayang,”

“Hhmmm?” Iasha menjawab tanpa menatap gue.

“Can i kiss you?”

Dia langsung menatap gue dengan tatapan terkejutnya. Sebenarnya gue juga kaget gue bisa tanya begitu ke dia. Wajahnya merah pada sekarang, dan gue yakin wajah gue juga. Lalu beberapa detik selanjutnya dia menganggukkan kepalanya.

Hari sudah menuju malam, Sruntul dan Srintil entah sudah berlarian kemana, tapi dimata gue hanya ada Iasha. Lalu gue mendekatkan diri gue kepada Iasha. Mendaratkan ciuman gue di dahinya. Dan dada gue berdebar, kencang dan terus bertambah kencang seakan jantung gue mau keluar dari tempatnya. Gue mencium dahinya, lama sangat lama, berharap waktu bisa berhenti sekarang juga untuk gue nikmati semuanya saat ini.

Gue lalu menyudahi ciumannya, beralih memeluknya dan berbisik tepat ditelinganya, walau begitu gue berharap semoga satu dunia mendengar dan merestui.

“Semoga kita selamanya ya, Sha.”

“Semoga kita selamanya, kak Cetta.”

Ini adalah hari kedua gue dan Iasha di Pulau Seribu dan besok kita udah harus pulang. Gue tahu Iasha adalah orang yang paling gamang untuk dibuat tertawa, tapi gue nggak pernah tau dia bisa tertawa seharian karena hal-hal kecil.

Mulai dari ombak yang berlarian kearahnya, kepiting kecil yang kabur dari dia, rambut gue yang selalu jabrik saat pagi hari, pasir pantai yang menggelitik kakinya, rantai sepeda kita yang selalu lepas kalau terlalu laju, semua hal-hal kecil itu bisa membuat Iasha tertawa.

Gue dan Iasha saat ini sedang menunggu senja di dermaga ditemai Sruntul dan Srintil. Iya, kita berdua mutusin buat ajak Sruntul dan Srintil, jadi peer emang, tapi karena Iasha meminta gue memutuskan untuk menuruti.

“Besok udah harus balik.” Ada kecewa dibalik nada suaranya.

“Kita bisa balik kesini kapan aja kok, Sha. Nanti sama mamah kamu juga, biar bisa main banana boat bareng.”

Dia lalu tersenyum dan menatap gue. “Sama ibu bapak juga ya? Kita realisasikan family gathering itu.”

Gue membalas senyum Iasha, “Oke, kita realisasikan family gathering itu.”

“By the way, kak. Kata mbak Priska kemajuan aku keren banget selama pemulihan pasca kejadian itu. Kata mbak Priska juga aku bulan depan mungkin udah nggak butuh konseling lagi sama dia.”

“Keren, aku tau kamu bakal bisa. Jadi nggak kaget, kamu kan emang hebat.”

Iasha memang rutin konseling sebagai pemulihan pasca kejadian dia dengan Bimo kampret itu. Gue selalu ngikutin perkembangan dia, memberitahu dia bahwa dia nggak akan pernah sendiri dalam menghadapi ini. Dia emang nggak memberitahu mamah nya perihal ini, tapi paling nggak gue akan selalu menemani dia dan selalu ada saat dia butuh gue. Dan sejauh ini, Iasha selalu menemukan langkahnya untuk maju.

“Aku nggak mau kejadian itu ngasih aku pengaruh banyak. Manusia emang kadang ada yang jahat, tapi banyak juga yang baik. Kayak kamu yang selalu kasih hal baik ke aku.”

Gue menatap matanya yang saat ini menatap gue. Lalu gue tersenyum saat mendapati dia tersenyum begitu lebar dan menghangatkan hati.

“You did very well, sayang.”

“Makasih ya kakak udah baik sama aku. Aku kadang heran kenapa kamu bisa baik banget, nggak cuma ke aku, tapi ke semua orang, kamu juga jadi pacar yang baik buat aku. Aku kadang setiap nerima semua yang kamu kasih ke aku jadi bertanya-tanya, aku pantas nggak ya dapat ini.”

“Sha, semua orang pantas diperlakukan dengan baik. Dunia udah cukup jahat jadi aku nggak perlu ikutan jahat.”

“Kamu kayak nggak pernah ngelakuin kesalah gitu loh, kak.”

“Aku juga bisa salah kok, Sha. Aku nggak selalu begini, manusia itu kan selalu belajar buat jadi lebih baik, begitu juga aku. Aku dulu ngelakuin kesalahan, aku pernah nggak ngabarin mantanku seharian karena asik sama dunia sendiri, aku pernah ngeremehin apa yang mantanku rasain karena menurut aku itu bukan masalah besar, dan semua itu salah. Dari semua itu aku belajar, mana yang nggak boleh aku lakuin ke pasangan aku, dan gimana harusnya aku ngehargain pasangan aku. Semua salah yang aku lakuin dulu yang ngebuat aku belajar dan jadi begini, Sha.”

Dia lalu tertawa. “Kamu kayak lagunya Taylor Swift, all of the girls you loved before made you the one i've fallen for.”

Sore itu matahari akhirnya mulai menenggelamkan dirinya dan gue juga ikut tenggelam pada tatapan Iasha yang menatap gue. Dengan Sruntul yang ada dipangkuan, dan Srintil yang ada dipangkuan gue.

“Makasih ya, kak. Banyak banget yang terjadi di hidup aku waktu kamu datang, baiknya, pahitnya, semua ada. Tapi sama kamu aku jadi bisa hadapin semuanya. Mulai kamu yang ngebuat aku jadi dibolehin pelihara Sruntul, ngerasain di sayang sama semua orang disekitar kamu, nggak pernah absen untuk bilang kamu selalu ada. Aku rasanya nggak mau minta apa-apa lagi selain berdoa semoga hubungan kita selalu baik-baik aja. Aku sayang banget sama kamu, you brought soooo much joy and happiness into my life. Makasih, sayang.”

“Sama-sama, sayang. Makasih juga udah ijinin aku ada di dalam cerita hidup kamu. Aku senang banget bisa sayang dan disayang begini sama kamu.”

Mungkin jalan gue dan Iasha masih jauh, sangat jauh. Ada banyak jalan yang menanti di depan kita. Tapi gue percaya dan memutuskan dalam seluruh proses hidup gue, mau itu saat turun dan naik, gue selalu ingin ada Iasha di dalamnya.

Gue menatap Iasha dalam saat ia sedang melihat bagaimana matahari terbenam. Gue sayang sama dia, sayang banget sampai gue selalu takut gue akan menyakiti dia kalau gue bertindak sembarang. Sayang banget sampai gue selalu ingin menajaga dia.

“Sayang,”

“Hhmmm?” Iasha menjawab tanpa menatap gue.

“Can i kiss you?”

Dia langsung menatap gue dengan tatapan terkejutnya. Sebenarnya gue juga kaget gue bisa tanya begitu ke dia. Wajahnya merah pada sekarang, dan gue yakin wajah gue juga. Lalu beberapa detik selanjutnya dia menganggukkan kepalanya.

Hari sudah menuju malam, Sruntul dan Srintil entah sudah berlarian kemana, tapi dimata gue hanya ada Iasha. Lalu gue mendekatkan diri gue kepada Iasha. Mendaratkan ciuman gue di dahinya. Dan dada gue berdebar, kencang dan terus bertambah kencang seakan jantung gue mau keluar dari tempatnya. Gue mencium dahinya, lama sangat lama, berharap waktu bisa berhenti sekarang juga untuk gue nikmati semuanya saat ini.

Gue lalu menyudahi ciumannya, beralih memeluknya dan berbisik tepat ditelinganya, walau begitu gue berharap semoga satu dunia mendengar dan merestui.

“Semoga kita selamanya ya, Sha.”

“Semoga kita selamanya, kak Cetta.”

Waktu gue keluar dari kamar gue, langsung terdengar begitu banyak ucapan selamat ulang tahun untuk gue. Gue mengerjapkan mata begitu melihat banyak orang yang sedang berdiri di depan kamar gue, lalu pandangan gue jatuh pada cowok nyebelin yang sekarang lagi senyum kayak orang nggak punya dosa sambil megangin kue ulang tahun.

“Abis nangis, ya?” dia bahkan masih bisa jailin gue. “Lagi galau ya? Kenapa? Berantem sama pacarnya ya?”

Gue tidak menjawab, hanya memukul lengan kak Cetta sebagai gantinya. Kak Cetta hanya membalas dengan kekehan.

“Ditiup dulu nih, nanti meleleh.”

Gue menuruti kak Cetta, memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangan gue untuk make a wish. Ada banyak harapan gue untuk umur baru gue, tapi dari semuanya gue hanya ingin berharap semua hidup gue akan selalu baik-baik saja. Gue yakin kesedihan akan selalu ada di dalam hidup, tapi walau begitu gue tetap ingin hidup gue baik-baik aja.

Setelah gue meniup lilin, semua tepuk tangan terdengar.

“Selamat ulang tahun, anak mamah.” Mamah langsung memeluk gue, mencium gue setelah gue meniup lilin.

“Makasih, Mamah. Makasih ya udah lahirin aku.”

Lalu selanjutnya ada Ibu yang memeluk gue. “Selamat bertambah umur, cah ayu, sayangnya ibu. Bahagia selalu, semoga semuanya dipermudah ya untuk Iasha.”

“Makasih, Ibu.”

Lalu selanjutnya bapak yang memeluk gue. Rasanya canggung tapi gue senang. Karena setelah sekian lama, walaupun bapak memang buka papah gue, tapi menerima pelukan hangat dari dia membuat gue sangat senang.

“Sugeng ambal warsa, anak bapak.” gue nggak tahu apa artinya tapi gue yakin itu ucapan ulang tahun. “Semoga bisa semakin berguna sebagai manusia, semakin cantik, semakin bahagia, semakin lancar semuanya. Do'a bapak selalu ada buat, cah ayu.”

Ulang tahun gue kali ini nggak seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya gue rayakan dengan Mamah dan mbak Dian. Tapi tahun ini ramai banget, nggak hanya kak Cetta, bapak dan Ibu yang ada di hadapan gue sekarang. Ada Deon, Gahar, Juna, Arga, Nunu, Bima, Yasa, Jeka, Hakim, mbak Yah, Pak Irwan, dan juga standee Vara karena Vara masih di Lombok.

Kita semua lagi di ruang keluarga untuk makan soto yang ternyata udah disiapin mamah, gue nggak tahu kapan mamah nyiapinnya.

“Ini siapa yang ngide bikin standee Vara sih?” tanya gue heran, gue masih nggak bisa berenti ketawa liat standee Vara.

“Gue,” jawab Gahar setelah menyuapkan sotonya. “Biar cewek gue nggak kelewat.”

“Tan, rumahnya ada kamar kosong disewain nggak?” Juna yang lagi goleran tiba-tiba nanya. “Aku kayaknya betah deh dsini.”

“Buat a' Juna mah mau gratis juga ada. Sok aja, dirumah juga sepi.” as always mamah.

“Sha,” nggak lama setelahnya Yasa muncul dari pintu membuat gue menoleh karena dia memanggil gue. Gue melongo melihat dia yang berjalan masuk karena apa yang dia bawa sekarang. “Nih, hadiah ulang tahun.”

“HAHAHAHAHAHHAHAHA BANGKE, gue udah nunggu-nunggu ini dari tadi.” tawa Deon langsung menggelegar.

“Ini buat gue, bang?”

Yasa mengangguk dengan bangga. Yang Yasa bawa adalah ayam jago yang berada di kandang. Gue nggak tau apa motivasinya dia kasih gue kado ayam jago.

“Anjir, itu sepanjang jalan tadi ribut banget.” Hakim langsung protes. “Lo aneh-aneh aja dah, Sa. Ini mau lo terima, Sha? Kayak lamaran aja anjir ngasihnya ayam jago.”

Gahar bahkan sampai tersedak mendengar itu. “Yang lamaran aja sekarang nggak ada yang ngasih ayam, jir.”

“Kan maksud gue tuh biar sruntul ada temennya. ” bela Yasa.

“Darimana anjir anjing temenan sama ayam.” Nunu langsung protes.

“Ya dari sekarang, makanya gue kasih ini.” Yasa lalu menunjuk Juna yang dari tadi anteng goleran karena kekenyangan. “Lo nggak mau kasih kado lo sekarang, Jun?”

“Ih, aneh-aneh lagi ya pasti?” gue langsung meatap Juna curiga saat dia menyeringai lebar dan keluar dari rumah. Gue lalu menatap kak Cetta yang duduk disebelah gue, dia nggak banyak omong dari tadi, cuma ikut ketawa doang. “Dia ngado apa, kak?”

“Liat aja, tuh.” katanya lalu menunjuk kearah pintu.

Dan saat itu lah semuanya tertawa waktu Juna masuk kedalam sambil membawa kadonya. Dan gue juga ikut ketawa karena gue sama sekali nggak mengira kalau dia akan memberi gue itu. Yang dia bawa sekarang adalah roti buaya, cukup besar bahkan sampai dia sendiri kewalahan.

“SIALAANNNN, Juna orgil.” Nunu yang bahkan baru hari ini kenal Juna langsung ketawa dibuatnya.

“Nih, buat lo, Sha. Met ultah, ye.”

“Makasih, bang.” gue nggak bisa menahan tawa gue saat menerima roti buaya dari Juna.

Malam itu rumah gue ramai banget, ada mamah, bapak dan ibu yang lagi ngobrol di ruang makan. Ada gue, kak Cetta, dan yang lainnya di ruang keluarga lagi ketawa-ketawa nggak jelas. Gue nggak pernah nyangka hidup gue akan seramai ini dan ada banyak orang yang sayang sama gue. Semuanya mungkin nggak bakal begini kalau gue nggak kenal kak Cetta.

“Cah ayu,” gue menoleh begitu mendengar suara bapak yang sedang menghampiri gue. Bapak membawa dua benda yang cukup besar, gue nggak tau itu apa. Jadi gue menghampiri bapak kebingungan. “Ini hadiah untuk Iasha dari bapak. Semoga suka ya, sayang.”

Gue langsung membuka pemberian bapak, disaksikan oleh yang lain dan kak Cetta yang berdiri disebelah gue. Ternyata bapak ngasih gue dua lukisan yang bapak lukis sendiri. Yang satu lukisan gue seorang diri, dan yang satu lagi lukisan gue bersama kak Cetta. Gue nggak pernah nerima hadiah seberarti ini sebelumnya sampai gue rasanya pengen nangis. Malam ini hati gue penuh banget.

“Bapak, makasih banyak ya.”

“Sama-sama, Iasha. Semoga suka, ya. Di lain waktu kita jadwalkan ngelukis bersama ya, Iasha. Jangan berenti ngelakuin apa yang kamu suka, bapak, ibu, dan mamah kamu akan selalu dukung Iasha ngelakuin apapun yang Iasha suka. Hdiup masih terlalu panjang Iasha untuk nggak melakukan apa yang kamu suka. Jadi lakuin aja, kalau ditengah jalan hancur berantakan, tinggal disusun lagi pelan-pelan. Kalau kamu mulai nggak sanggup sendiri, cari bantuan. Semua ada dibelakang untuk ngebantu kamu, cah ayu.”

Gue menghabiskan seumur hidup gue bertanya-tanya bagaimana rasanya kasih sayang dari seorang papah. Setiap pulang sekolah gue selalu iri dengan teman-teman gue yang dijemput papahnya. Setiap ada konten ayah dan anak di TikTok gue nggak pernah suka melihatnya. Gue selalu marah setiap mamah harus bekerja dua kali lipat untuk menghidupi gue sendirian.

Tapi sekarang gue merasakan hangatnya kasih sayang itu. Dipelukan bapak sekarang rasanya membuat gue jadi aman. Ini yang selama ini gue cari-cari.

“Happy birthday ya, Sha.” setelah semua obrolan itu akhirnya Jeka mendekati gue. Dari tadi dia nggak banyak omong, sama kayak kak Cetta.

“WADOOOOHHHH.” dan seperti dugaan, Hakim langsung heboh begitu melihat Jeka mendekati gue.

“Tenang, tenang, Cetta nya udah gue pegangin.” yang ini Nunu.

“Apa sih anjir.” kak Cetta langsung berontak saat dipeluk Nunu, gue hanya bisa tertawa melihat itu.

“Orgil,” kata Jeka melihat teman-temannya yang heboh sendiri. “Happy-happy ya sama Cetta, kalaupun sendiri juga tetap bahagia ya, Sha.”

“Makasih, Je. Kamu juga happy-happy ya, sama Rara Rara itu.”

Mendengar itu Jeka langsung menatap kak Cetta yang nyengir lebar. “Lo kan pasti yang ngasih tau?”

“Sorry, Jek, rahasia diantara pasangan itu nggak boleh

Malam itu, beberapa nginap dirumah gue, beberapa juga dirumah Jekan dan Deon. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan gue bersama kak Cetta masih duduk di bale-bale yang berada di halama depan rumah. Gue dan kak Cetta nggak banyak kesempatan ngobrol tadi, jadi kita baru punya waktu sekarang. Ada Sruntul yang berada dipangkuan gue, dan dipangkuan kak Cetta ada Srintil. Lucu rasanya orang dulu asing untuk gue sekarang jadi orang yang penting di hidup gue.

“Sruntul udah makin gede ya.” suara kak Cetta memecahkan keheningan.

“Iya, he grow up with us, kak. Kalau mau ngingat awal-awal hubungan aku sama kamu, aku tinggal liat Sruntul aja.” gue lalu menatap kak Cetta. “Kamu belum jelasin by the way kenapa kamu marah-marah nggak jelas.”

Kak Cetta tertawa setelah itu. “Ya gitu, sengaja ngerjain kamu. Sampe nangis ya? Padahl aku kira aku nggak galak banget tau. Maaf ya sayang.”

“Kamu tuh nggak pernah begitu, kak. Makanya aku kaget waktu kamu marah begitu, kayak bukan kamu banget.”

“Maaf ya, sayangku.”

“Terus itu Jeka bisa rafting juga gimana sih? Aku masih nggak ngerti deh.”

“Itu aku suruh,” dia lalu ketawa. “Aku tanya Deon kalian rafting dimana, terus aku suruh Jeka ikut rafting kesitu. Aku nggak ngira dia bakal sama mama papa nya loh, aku kira dia bakal datang sendiri.”

“Oh, jadi Deon juga bagian dari rencana kamu.”

“Hehe, maaf ya sayang.”

Menuju pagi Jatinangor ternyata lumayan dingin, dan untungnya kak Cetta ngasih jaketnya untuk dia pake. Kak Cetta sekarang pakai piercing, kayak janjinya yang bilang dia akan pakai kalau ketemu gue. Kak Cetta selalu nepatin janjinya, dan hal itu membuat gue tenang waktu dia bilang nggak akan kemana-mana, karena artinya kak Cetta akan benar-benar selalu bersama gue.

“Selamat ulang tahu ya, Iasha. Aku punya banyak banget harapan dan do'a baik untuk kamu, dan semua udah aku langitkan ke Tuhan untuk kamu. Semoga Tuhan bisa berbaik hati sama aku untuk ngabulin dan kasih kamu hal-hal baik kayak yang aku minta. Maaf kamu harus lewatin hari-hari buruk sebelumnya, tapi setelah ini kita usahain semua hal-hal baik ya, sayang. Semoga ramai, sepi, hancur, bahagia, sedih kecewa, kita tetap sama-sama.”

Kalimat kak Cetta barusan rasanya ingin gue rekam untuk selalu gue dengar kalau hari gue melelahkan. Senyum kak Cetta sekarang rasanya ingin gue abadikan kalau hari gue mulai hancur.

“Makasih kak Cetta udah selalu ada disamping aku di ramai, sepi, hancur bahagia, kecewa sedih.”

Kak Cetta tersenyum. “Aku boleh peluk, nggak?”

AAAAAAAAAA kalau dia izin begini sambil ngeliat gue dan senyum gue rasanya ingin menyublim tau nggak. Jadi gue memukul dia untuk menutupi salah tingkah gue. “Ih, kenapa sih izinnya begitu.”

“Hahaha, boleh peluk nggak sayang?”

“Boleh.”

Lalu setelahnya gue menemukan gue berada di pelukan hangan kak Cetta. Pelukannya erat sangat erat seakan dia benar-benar nggak akan melepaskan gue.

“Aku punya kado untuk kamu.”

Mendengar itu senyum gue semakin merekah. “Apa tuh?”

Dan gue masih di dalam pelukannya saat dia menjawab. “Kamu ingat nggak janji aku soal when you trust me enough?”

Gue terdiam sesaat untuk mengingat janji kak Cetta soal itu. Lalu gue teringat foto pantai yang kak Cetta kirimkan untuk gue dan dia berjanji untuk membawa gue kesana, when i trust him enough.

“Kamu udah percaya sama aku kan, Sha?”

“Selalu percaya sama kamu, kak Cetta.”

Lalu dia tersenyum. “Aku udah izin ke mamah untuk bawa kamu ke Pulau Seribu tiga hari, dan mamah kamu ngijinin. Bapak sama ibu juga ngijinin, sekarang kamu ijinin aku buat ajak kamu kesana nggak?”

“Berdua?”

Dia lalu mengangguk. “Iya berdua, tapi kalau kamu nggak nyaman kita bisa ajak anak-anak yang mau ikut.”

Gue lalu tersenyum. “Aku percaya kok sama kesucian kamu.”

Kak Cetta merespon dengan tawa dan kembali mengeratkan pelukannya. Gue nggak pernah tau bertambah umur akan sebahagia ini rasanya.

Waktu gue keluar dari kamar gue, langsung terdengar begitu banyak ucapan selamat ulang tahun untuk gue. Gue mengerjapkan mata begitu melihat banyak orang yang sedang berdiri di depan kamar gue, lalu pandangan gue jatuh pada cowok nyebelin yang sekarang lagi senyum kayak orang nggak punya dosa sambil megangin kue ulang tahun.

“Abis nangis, ya?” dia bahkan masih bisa jailin gue. “Lagi galau ya? Kenapa? Berantem sama pacarnya ya?”

Gue tidak menjawab, hanya memukul lengan kak Cetta sebagai gantinya. Kak Cetta hanya membalas dengan kekehan.

“Ditiup dulu nih, nanti meleleh.”

Gue menuruti kak Cetta, memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangan gue untuk make a wish. Ada banyak harapan gue untuk umur baru gue, tapi dari semuanya gue hanya ingin berharap semua hidup gue akan selalu baik-baik saja. Gue yakin kesedihan akan selalu ada di dalam hidup, tapi walau begitu gue tetap ingin hidup gue baik-baik aja.

Setelah gue meniup lilin, semua tepuk tangan terdengar.

“Selamat ulang tahun, anak mamah.” Mamah langsung memeluk gue, mencium gue setelah gue meniup lilin.

“Makasih, Mamah. Makasih ya udah lahirin aku.”

Lalu selanjutnya ada Ibu yang memeluk gue. “Selamat bertambah umur, cah ayu, sayangnya ibu. Bahagia selalu, semoga semuanya dipermudah ya untuk Iasha.”

“Makasih, Ibu.”

Lalu selanjutnya bapak yang memeluk gue. Rasanya canggung tapi gue senang. Karena setelah sekian lama, walaupun bapak memang buka papah gue, tapi menerima pelukan hangat dari dia membuat gue sangat senang.

“Sugeng ambal warsa, anak bapak.” gue nggak tahu apa artinya tapi gue yakin itu ucapan ulang tahun. “Semoga bisa semakin berguna sebagai manusia, semakin cantik, semakin bahagia, semakin lancar semuanya. Do'a bapak selalu ada buat, cah ayu.”

Ulang tahun gue kali ini nggak seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya gue rayakan dengan Mamah dan mbak Dian. Tapi tahun ini ramai banget, nggak hanya kak Cetta, bapak dan Ibu yang ada di hadapan gue sekarang. Ada Deon, Gahar, Juna, Arga, Nunu, Bima, Yasa, Jeka, Hakim, mbak Yah, Pak Irwan, dan juga standee Vara karena Vara masih di Lombok.

Kita semua lagi di ruang keluarga untuk makan soto yang ternyata udah disiapin mamah, gue nggak tahu kapan mamah nyiapinnya.

“Ini siapa yang ngide bikin standee Vara sih?” tanya gue heran, gue masih nggak bisa berenti ketawa liat standee Vara.

“Gue,” jawab Gahar setelah menyuapkan sotonya. “Biar cewek gue nggak kelewat.”

“Tan, rumahnya ada kamar kosong disewain nggak?” Juna yang lagi goleran tiba-tiba nanya. “Aku kayaknya betah deh dsini.”

“Buat a' Juna mah mau gratis juga ada. Sok aja, dirumah juga sepi.” as always mamah.

“Sha,” nggak lama setelahnya Yasa muncul dari pintu membuat gue menoleh karena dia memanggil gue. Gue melongo melihat dia yang berjalan masuk karena apa yang dia bawa sekarang. “Nih, hadiah ulang tahun.”

“HAHAHAHAHAHHAHAHA BANGKE, gue udah nunggu-nunggu ini dari tadi.” tawa Deon langsung menggelegar.

“Ini buat gue, bang?”

Yasa mengangguk dengan bangga. Yang Yasa bawa adalah ayam jago yang berada di kandang. Gue nggak tau apa motivasinya dia kasih gue kado ayam jago.

“Anjir, itu sepanjang jalan tadi ribut banget.” Hakim langsung protes. “Lo aneh-aneh aja dah, Sa. Ini mau lo terima, Sha? Kayak lamaran aja anjir ngasihnya ayam jago.”

Gahar bahkan sampai tersedak mendengar itu. “Yang lamaran aja sekarang nggak ada yang ngasih ayam, jir.”

“Kan maksud gue tuh biar sruntul ada temennya. ” bela Yasa.

“Darimana anjir anjing temenan sama ayam.” Nunu langsung protes.

“Ya dari sekarang, makanya gue kasih ini.” Yasa lalu menunjuk Juna yang dari tadi anteng goleran karena kekenyangan. “Lo nggak mau kasih kado lo sekarang, Jun?”

“Ih, aneh-aneh lagi ya pasti?” gue langsung meatap Juna curiga saat dia menyeringai lebar dan keluar dari rumah. Gue lalu menatap kak Cetta yang duduk disebelah gue, dia nggak banyak omong dari tadi, cuma ikut ketawa doang. “Dia ngado apa, kak?”

“Liat aja, tuh.” katanya lalu menunjuk kearah pintu.

Dan saat itu lah semuanya tertawa waktu Juna masuk kedalam sambil membawa kadonya. Dan gue juga ikut ketawa karena gue sama sekali nggak mengira kalau dia akan memberi gue itu. Yang dia bawa sekarang adalah roti buaya, cukup besar bahkan sampai dia sendiri kewalahan.

“SIALAANNNN, Juna orgil.” Nunu yang bahkan baru hari ini kenal Juna langsung ketawa dibuatnya.

“Nih, buat lo, Sha. Met ultah, ye.”

“Makasih, bang.” gue nggak bisa menahan tawa gue saat menerima roti buaya dari Juna.

Malam itu rumah gue ramai banget, ada mamah, bapak dan ibu yang lagi ngobrol di ruang makan. Ada gue, kak Cetta, dan yang lainnya di ruang keluarga lagi ketawa-ketawa nggak jelas. Gue nggak pernah nyangka hidup gue akan seramai ini dan ada banyak orang yang sayang sama gue. Semuanya mungkin nggak bakal begini kalau gue nggak kenal kak Cetta.

“Cah ayu,” gue menoleh begitu mendengar suara bapak yang sedang menghampiri gue. Bapak membawa dua benda yang cukup besar, gue nggak tau itu apa. Jadi gue menghampiri bapak kebingungan. “Ini hadiah untuk Iasha dari bapak. Semoga suka ya, sayang.”

Gue langsung membuka pemberian bapak, disaksikan oleh yang lain dan kak Cetta yang berdiri disebelah gue. Ternyata bapak ngasih gue dua lukisan yang bapak lukis sendiri. Yang satu lukisan gue seorang diri, dan yang satu lagi lukisan gue bersama kak Cetta. Gue nggak pernah nerima hadiah seberarti ini sebelumnya sampai gue rasanya pengen nangis. Malam ini hati gue penuh banget.

“Bapak, makasih banyak ya.”

“Sama-sama, Iasha. Semoga suka, ya. Di lain waktu kita jadwalkan ngelukis bersama ya, Iasha. Jangan berenti ngelakuin apa yang kamu suka, bapak, ibu, dan mamah kamu akan selalu dukung Iasha ngelakuin apapun yang Iasha suka. Hdiup masih terlalu panjang Iasha untuk nggak melakukan apa yang kamu suka. Jadi lakuin aja, kalau ditengah jalan hancur berantakan, tinggal disusun lagi pelan-pelan. Kalau kamu mulai nggak sanggup sendiri, cari bantuan. Semua ada dibelakang untuk ngebantu kamu, cah ayu.”

Gue menghabiskan seumur hidup gue bertanya-tanya bagaimana rasanya kasih sayang dari seorang papah. Setiap pulang sekolah gue selalu iri dengan teman-teman gue yang dijemput papahnya. Setiap ada konten ayah dan anak di TikTok gue nggak pernah suka melihatnya. Gue selalu marah setiap mamah harus bekerja dua kali lipat untuk menghidupi gue sendirian.

Tapi sekarang gue merasakan hangatnya kasih sayang itu. Dipelukan bapak sekarang rasanya membuat gue jadi aman. Ini yang selama ini gue cari-cari.

“Happy birthday ya, Sha.” setelah semua obrolan itu akhirnya Jeka mendekati gue. Dari tadi dia nggak banyak omong, sama kayak kak Cetta.

“WADOOOOHHHH.” dan seperti dugaan, Hakim langsung heboh begitu melihat Jeka mendekati gue.

“Tenang, tenang, Cetta nya udah gue pegangin.” yang ini Nunu.

“Apa sih anjir.” kak Cetta langsung berontak saat dipeluk Nunu, gue hanya bisa tertawa melihat itu.

“Orgil,” kata Jeka melihat teman-temannya yang heboh sendiri. “Happy-happy ya sama Cetta, kalaupun sendiri juga tetap bahagia ya, Sha.”

“Makasih, Je. Kamu juga happy-happy ya, sama Rara Rara itu.”

Mendengar itu Jeka langsung menatap kak Cetta yang nyengir lebar. “Lo kan pasti yang ngasih tau?”

“Sorry, Jek, rahasia diantara pasangan itu nggak boleh

Malam itu, beberapa nginap dirumah gue, beberapa juga dirumah Jekan dan Deon. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan gue bersama kak Cetta masih duduk di bale-bale yang berada di halama depan rumah. Gue dan kak Cetta nggak banyak kesempatan ngobrol tadi, jadi kita baru punya waktu sekarang. Ada Sruntul yang berada dipangkuan gue, dan dipangkuan kak Cetta ada Srintil. Lucu rasanya orang dulu asing untuk gue sekarang jadi orang yang penting di hidup gue.

“Sruntul udah makin gede ya.” suara kak Cetta memecahkan keheningan.

“Iya, he grow up with us, kak. Kalau mau ngingat awal-awal hubungan aku sama kamu, aku tinggal liat Sruntul aja.” gue lalu menatap kak Cetta. “Kamu belum jelasin by the way kenapa kamu marah-marah nggak jelas.”

Kak Cetta tertawa setelah itu. “Ya gitu, sengaja ngerjain kamu. Sampe nangis ya? Padahl aku kira aku nggak galak banget tau. Maaf ya sayang.”

“Kamu tuh nggak pernah begitu, kak. Makanya aku kaget waktu kamu marah begitu, kayak bukan kamu banget.”

“Maaf ya, sayangku.”

“Terus itu Jeka bisa rafting juga gimana sih? Aku masih nggak ngerti deh.”

“Itu aku suruh,” dia lalu ketawa. “Aku tanya Deon kalian rafting dimana, terus aku suruh Jeka ikut rafting kesitu. Aku nggak ngira dia bakal sama mama papa nya loh, aku kira dia bakal datang sendiri.”

“Oh, jadi Deon juga bagian dari rencana kamu.”

“Hehe, maaf ya sayang.”

Menuju pagi Jatinangor ternyata lumayan dingin, dan untungnya kak Cetta ngasih jaketnya untuk dia pake. Kak Cetta sekarang pakai piercing, kayak janjinya yang bilang dia akan pakai kalau ketemu gue. Kak Cetta selalu nepatin janjinya, dan hal itu membuat gue tenang waktu dia bilang nggak akan kemana-mana, karena artinya kak Cetta akan benar-benar selalu bersama gue.

“Selamat ulang tahu ya, Iasha. Aku punya banyak banget harapan dan do'a baik untuk kamu, dan semua udah aku langitkan ke Tuhan untuk kamu. Semoga Tuhan bisa berbaik hati sama aku untuk ngabulin dan kasih kamu hal-hal baik kayak yang aku minta. Maaf kamu harus lewatin hari-hari buruk sebelumnya, tapi setelah ini kita usahain semua hal-hal baik ya, sayang. Semoga ramai, sepi, hancur, bahagia, sedih kecewa, kita tetap sama-sama.”

Kalimat kak Cetta barusan rasanya ingin gue rekam untuk selalu gue dengar kalau hari gue melelahkan. Senyum kak Cetta sekarang rasanya ingin gue abadikan kalau hari gue mulai hancur.

“Makasih kak Cetta udah selalu ada disamping aku di ramai, sepi, hancur bahagia, kecewa sedih.”

Kak Cetta tersenyum. “Aku boleh peluk, nggak?”

AAAAAAAAAA kalau dia izin begini sambil ngeliat gue dan senyum gue rasanya ingin menyublim tau nggak. Jadi gue memukul dia untuk menutupi salah tingkah gue. “Ih, kenapa sih izinnya begitu.”

“Hahaha, boleh peluk nggak sayang?”

“Boleh.”

Lalu setelahnya gue menemukan gue berada di pelukan hangan kak Cetta. Pelukannya erat sangat erat seakan dia benar-benar nggak akan melepaskan gue.

“Aku punya kado untuk kamu.”

Mendengar itu senyum gue semakin merekah. “Apa tuh?”

Dan gue masih di dalam pelukannya saat dia menjawab. “Kamu ingat nggak janji aku soal when you trust me enough?”

Gue terdiam sesaat untuk mengingat janji kak Cetta soal itu. Lalu gue teringat foto pantai yang kak Cetta kirimkan untuk gue dan dia berjanji untuk membawa gue kesana, when i trust him enough.

“Kamu udah percaya sama aku kan, Sha?”

“Selalu percaya sama kamu, kak Cetta.”

Lalu dia tersenyum. “Aku udah izin ke mamah untuk bawa kamu ke Pulau Seribu tiga hari, dan mamah kamu ngijinin. Bapak sama ibu juga ngijinin, sekarang kamu ijinin aku buat ajak kamu kesana nggak?”

“Berdua?”

Dia lalu mengangguk. “Iya berdua, tapi kalau kamu nggak nyaman kita bisa ajak anak-anak yang mau ikut.”

Gue lalu tersenyum. “Aku percaya kok sama kesucian kamu.”

Kak Cetta merespon dengan tawa dan kembali mengeratkan pelukannya. Gue nggak pernah tau bertambah umur akan sebahagia ini rasanya.

Waktu gue keluar dari kamar gue, langsung terdengar begitu banyak ucapan selamat ulang tahun untuk gue. Gue mengerjapkan mata begitu melihat banyak orang yang sedang berdiri di depan kamar gue, lalu pandangan gue jatuh pada cowok nyebelin yang sekarang lagi senyum kayak orang nggak punya dosa sambil megangin kue ulang tahun.

“Abis nangis, ya?” dia bahkan masih bisa jailin gue. “Lagi galau ya? Kenapa? Berantem sama pacarnya ya?”

Gue tidak menjawab, hanya memukul lengan kak Cetta sebagai gantinya. Kak Cetta hanya membalas dengan kekehan.

“Ditiup dulu nih, nanti meleleh.”

Gue menuruti kak Cetta, memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangan gue untuk make a wish. Ada banyak harapan gue untuk umur baru gue, tapi dari semuanya gue hanya ingin berharap semua hidup gue akan selalu baik-baik saja. Gue yakin kesedihan akan selalu ada di dalam hidup, tapi walau begitu gue tetap ingin hidup gue baik-baik aja.

Setelah gue meniup lilin, semua tepuk tangan terdengar.

“Selamat ulang tahun, anak mamah.” Mamah langsung memeluk gue, mencium gue setelah gue meniup lilin.

“Makasih, Mamah. Makasih ya udah lahirin aku.”

Lalu selanjutnya ada Ibu yang memeluk gue. “Selamat bertambah umur, cah ayu, sayangnya ibu. Bahagia selalu, semoga semuanya dipermudah ya untuk Iasha.”

“Makasih, Ibu.”

Lalu selanjutnya bapak yang memeluk gue. Rasanya canggung tapi gue senang. Karena setelah sekian lama, walaupun bapak memang buka papah gue, tapi menerima pelukan hangat dari dia membuat gue sangat senang.

“Sugeng ambal warsa, anak bapak.” gue nggak tahu apa artinya tapi gue yakin itu ucapan ulang tahun. “Semoga bisa semakin berguna sebagai manusia, semakin cantik, semakin bahagia, semakin lancar semuanya. Do'a bapak selalu ada buat, cah ayu.”

Ulang tahun gue kali ini nggak seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya gue rayakan dengan Mamah dan mbak Dian. Tapi tahun ini ramai banget, nggak hanya kak Cetta, bapak dan Ibu yang ada di hadapan gue sekarang. Ada Deon, Gahar, Juna, Arga, Nunu, Bima, Yasa, Jeka, Hakim, mbak Yah, Pak Irwan, dan juga standee Vara karena Vara masih di Lombok.

Kita semua lagi di ruang keluarga untuk makan soto yang ternyata udah disiapin mamah, gue nggak tahu kapan mamah nyiapinnya.

“Ini siapa yang ngide bikin standee Vara sih?” tanya gue heran, gue masih nggak bisa berenti ketawa liat standee Vara.

“Gue,” jawab Gahar setelah menyuapkan sotonya. “Biar cewek gue nggak kelewat.”

“Tan, rumahnya ada kamar kosong disewain nggak?” Juna yang lagi goleran tiba-tiba nanya. “Aku kayaknya betah deh dsini.”

“Buat a' Juna mah mau gratis juga ada. Sok aja, dirumah juga sepi.” as always mamah.

“Sha,” nggak lama setelahnya Yasa muncul dari pintu membuat gue menoleh karena dia memanggil gue. Gue melongo melihat dia yang berjalan masuk karena apa yang dia bawa sekarang. “Nih, hadiah ulang tahun.”

“HAHAHAHAHAHHAHAHA BANGKE, gue udah nunggu-nunggu ini dari tadi.” tawa Deon langsung menggelegar.

“Ini buat gue, bang?”

Yasa mengangguk dengan bangga. Yang Yasa bawa adalah ayam jago yang berada di kandang. Gue nggak tau apa motivasinya dia kasih gue kado ayam jago.

“Anjir, itu sepanjang jalan tadi ribut banget.” Hakim langsung protes. “Lo aneh-aneh aja dah, Sa. Ini mau lo terima, Sha? Kayak lamaran aja anjir ngasihnya ayam jago.”

Gahar bahkan sampai tersedak mendengar itu. “Yang lamaran aja sekarang nggak ada yang ngasih ayam, jir.”

“Kan maksud gue tuh biar sruntul ada temennya. ” bela Yasa.

“Darimana anjir anjing temenan sama ayam.” Nunu langsung protes.

“Ya dari sekarang, makanya gue kasih ini.” Yasa lalu menunjuk Juna yang dari tadi anteng goleran karena kekenyangan. “Lo nggak mau kasih kado lo sekarang, Jun?”

“Ih, aneh-aneh lagi ya pasti?” gue langsung meatap Juna curiga saat dia menyeringai lebar dan keluar dari rumah. Gue lalu menatap kak Cetta yang duduk disebelah gue, dia nggak banyak omong dari tadi, cuma ikut ketawa doang. “Dia ngado apa, kak?”

“Liat aja, tuh.” katanya lalu menunjuk kearah pintu.

Dan saat itu lah semuanya tertawa waktu Juna masuk kedalam sambil membawa kadonya. Dan gue juga ikut ketawa karena gue sama sekali nggak mengira kalau dia akan memberi gue itu. Yang dia bawa sekarang adalah roti buaya, cukup besar bahkan sampai dia sendiri kewalahan.

“SIALAANNNN, Juna orgil.” Nunu yang bahkan baru hari ini kenal Juna langsung ketawa dibuatnya.

“Nih, buat lo, Sha. Met ultah, ye.”

“Makasih, bang.” gue nggak bisa menahan tawa gue saat menerima roti buaya dari Juna.

Malam itu rumah gue ramai banget, ada mamah, bapak dan ibu yang lagi ngobrol di ruang makan. Ada gue, kak Cetta, dan yang lainnya di ruang keluarga lagi ketawa-ketawa nggak jelas. Gue nggak pernah nyangka hidup gue akan seramai ini dan ada banyak orang yang sayang sama gue. Semuanya mungkin nggak bakal begini kalau gue nggak kenal kak Cetta.

“Cah ayu,” gue menoleh begitu mendengar suara bapak yang sedang menghampiri gue. Bapak membawa dua benda yang cukup besar, gue nggak tau itu apa. Jadi gue menghampiri bapak kebingungan. “Ini hadiah untuk Iasha dari bapak. Semoga suka ya, sayang.”

Gue langsung membuka pemberian bapak, disaksikan oleh yang lain dan kak Cetta yang berdiri disebelah gue. Ternyata bapak ngasih gue dua lukisan yang bapak lukis sendiri. Yang satu lukisan gue seorang diri, dan yang satu lagi lukisan gue bersama kak Cetta. Gue nggak pernah nerima hadiah seberarti ini sebelumnya sampai gue rasanya pengen nangis. Malam ini hati gue penuh banget.

“Bapak, makasih banyak ya.”

“Sama-sama, Iasha. Semoga suka, ya. Di lain waktu kita jadwalkan ngelukis bersama ya, Iasha. Jangan berenti ngelakuin apa yang kamu suka, bapak, ibu, dan mamah kamu akan selalu dukung Iasha ngelakuin apapun yang Iasha suka. Hdiup masih terlalu panjang Iasha untuk nggak melakukan apa yang kamu suka. Jadi lakuin aja, kalau ditengah jalan hancur berantakan, tinggal disusun lagi pelan-pelan. Kalau kamu mulai nggak sanggup sendiri, cari bantuan. Semua ada dibelakang untuk ngebantu kamu, cah ayu.”

Gue menghabiskan seumur hidup gue bertanya-tanya bagaimana rasanya kasih sayang dari seorang papah. Setiap pulang sekolah gue selalu iri dengan teman-teman gue yang dijemput papahnya. Setiap ada konten ayah dan anak di TikTok gue nggak pernah suka melihatnya. Gue selalu marah setiap mamah harus bekerja dua kali lipat untuk menghidupi gue sendirian.

Tapi sekarang gue merasakan hangatnya kasih sayang itu. Dipelukan bapak sekarang rasanya membuat gue jadi aman. Ini yang selama ini gue cari-cari.

“Happy birthday ya, Sha.” setelah semua obrolan itu akhirnya Jeka mendekati gue. Dari tadi dia nggak banyak omong, sama kayak kak Cetta.

“WADOOOOHHHH.” dan seperti dugaan, Hakim langsung heboh begitu melihat Jeka mendekati gue.

“Tenang, tenang, Cetta nya udah gue pegangin.” yang ini Nunu.

“Apa sih anjir.” kak Cetta langsung berontak saat dipeluk Nunu, gue hanya bisa tertawa melihat itu.

“Orgil,” kata Jeka melihat teman-temannya yang heboh sendiri. “Happy-happy ya sama Cetta, kalaupun sendiri juga tetap bahagia ya, Sha.”

“Makasih, Je. Kamu juga happy-happy ya, sama Rara Rara itu.”

Mendengar itu Jeka langsung menatap kak Cetta yang nyengir lebar. “Lo kan pasti yang ngasih tau?”

“Sorry, Jek, rahasia diantara pasangan itu nggak boleh

Malam itu, beberapa nginap dirumah gue, beberapa juga dirumah Jekan dan Deon. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, dan gue bersama kak Cetta masih duduk di bale-bale yang berada di halama depan rumah. Gue dan kak Cetta nggak banyak kesempatan ngobrol tadi, jadi kita baru punya waktu sekarang. Ada Sruntul yang berada dipangkuan gue, dan dipangkuan kak Cetta ada Srintil. Lucu rasanya orang dulu asing untuk gue sekarang jadi orang yang penting di hidup gue.

“Sruntul udah makin gede ya.” suara kak Cetta memecahkan keheningan.

“Iya, he grow up with us, kak. Kalau mau ngingat awal-awal hubungan aku sama kamu, aku tinggal liat Sruntul aja.” gue lalu menatap kak Cetta. “Kamu belum jelasin by the way kenapa kamu marah-marah nggak jelas.”

Kak Cetta tertawa setelah itu. “Ya gitu, sengaja ngerjain kamu. Sampe nangis ya? Padahl aku kira aku nggak galak banget tau. Maaf ya sayang.”

“Kamu tuh nggak pernah begitu, kak. Makanya aku kaget waktu kamu marah begitu, kayak bukan kamu banget.”

“Maaf ya, sayangku.”

“Terus itu Jeka bisa rafting juga gimana sih? Aku masih nggak ngerti deh.”

“Itu aku suruh,” dia lalu ketawa. “Aku tanya Deon kalian rafting dimana, terus aku suruh Jeka ikut rafting kesitu. Aku nggak ngira dia bakal sama mama papa nya loh, aku kira dia bakal datang sendiri.”

“Oh, jadi Deon juga bagian dari rencana kamu.”

“Hehe, maaf ya sayang.”

Menuju pagi Jatinangor ternyata lumayan dingin, dan untungnya kak Cetta ngasih jaketnya untuk dia pake. Kak Cetta sekarang pakai piercing, kayak janjinya yang bilang dia akan pakai kalau ketemu gue. Kak Cetta selalu nepatin janjinya, dan hal itu membuat gue tenang waktu dia bilang nggak akan kemana-mana, karena artinya kak Cetta akan benar-benar selalu bersama gue.

“Selamat ulang tahu ya, Iasha. Aku punya banyak banget harapan dan do'a baik untuk kamu, dan semua udah aku langitkan ke Tuhan untuk kamu. Semoga Tuhan bisa berbaik hati sama aku untuk ngabulin dan kasih kamu hal-hal baik kayak yang aku minta. Maaf kamu harus lewatin hari-hari buruk sebelumnya, tapi setelah ini kita usahain semua hal-hal baik ya, sayang. Semoga ramai, sepi, hancur, bahagia, sedih kecewa, kita tetap sama-sama.”

Kalimat kak Cetta barusan rasanya ingin gue rekam untuk selalu gue dengar kalau hari gue melelahkan. Senyum kak Cetta sekarang rasanya ingin gue abadikan kalau hari gue mulai hancur.

“Makasih kak Cetta udah selalu ada disamping aku di ramai, sepi, hancur bahagia, kecewa sedih.”

Kak Cetta tersenyum. “Aku boleh peluk, nggak?”

AAAAAAAAAA kalau dia izin begini sambil ngeliat gue dan senyum gue rasanya ingin menyublim tau nggak. Jadi gue memukul dia untuk menutupi salah tingkah gue. “Ih, kenapa sih izinnya begitu.”

“Hahaha, boleh peluk nggak sayang?”

“Boleh.”

Lalu setelahnya gue menemukan gue berada di pelukan hangan kak Cetta. Pelukannya erat sangat erat seakan dia benar-benar nggak akan melepaskan gue.

“Aku punya kado untuk kamu.”

Mendengar itu senyum gue semakin merekah. “Apa tuh?”

Dan gue masih di dalam pelukannya saat dia menjawab. “Kamu ingat nggak janji aku soal when you trust me enough?”

Gue terdiam sesaat untuk mengingat janji kak Cetta soal itu. Lalu gue teringat foto pantai yang kak Cetta kirimkan untuk gue dan dia berjanji untuk membawa gue kesana, when i trust him enough.

“Kamu udah percaya sama aku kan, Sha?”

“Selalu percaya sama kamu, kak Cetta.”

Lalu dia tersenyum. “Aku udah izin ke mamah untuk bawa kamu ke Pulau Seribu tiga hari, dan mamah kamu ngijinin. Bapak sama ibu juga ngijinin, sekarang kamu ijinin aku buat ajak kamu kesana nggak?”

“Berdua?”

Dia lalu mengangguk. “Iya berdua, tapi kalau kamu nggak nyaman kita bisa ajak anak-anak yang mau ikut.”

Gue lalu tersenyum. “Aku percaya kok sama kesucian kamu.”

Kak Cetta merespon dengan tawa dan kembali mengeratkan pelukannya. Gue nggak pernah tau bertambah umur akan sebahagia ini rasanya.

292.

“Ta, jangan gegabah lah.”

“Lo kalau nggak mau ikut ya diem aja disini, nggak usah ngelarang gue. Lo pikir gue bakal dia aja kalau tau perempuan di lecehin begitu sama dia? Perempuannya juga pacar gue, Ga.”

“Lo tau di dalam banyak anak delapan belas, Ta.”

“Lo liat gue peduli nggal?” Arga diem saat gue berkata demikian. “Minggir anjing.”

Gue langsung mendobrak salah satu pintu kontrakan yang kata Ucok adalah tempat dimana Bimo tinggal. Ngebayangin Iasha yang nerima chat nggak senonoh dari Bimo ngebuat hati gue sakit, ngeliat gimana Bimo ngomong seenaknya soal Iasha di grup sampahnya begitu ngebuat gue emosi.

Jadi, saat akhirnya Bimo terlihat di depan mata gue, gue langsung mencengkram bajunya, memaksa dia untuk berdiri dan keluar bersama gue, mengabaikan teriakan dari kating-kating yang sedang nongkrong di kontrakan Bimo.

“WOY!” Bimo menyingkirkan tangan gue dari kerah bajunya. “Apa-apaan sih lo, anjing?!”

Melihat wajahnya, bagaimana dia memelototi gue malah memnacing emosi gue. Nggak tau malu dia masih bisa melotot dihadapan gue setelah ngelecehin perempuan dengan ketikannya yang sampah itu.

“Lo yang apa-apaan anjing! Bangsat lo, ngomong apa lo soal Iasha?!”

Dia sempat bingung awalnya, tapi setelah gue menyebut nama Iasha sepertinya dia mengerti karena saat ini dia menyeringai. Melihat itu gue langsung melayangkan hantaman gue ke wajahnya.

“Apa-apaan lo?!” salah satu teman Bimo langsung menarik gue.

“Lepas, gue nggak ada urusan sama lo.”

“Berani lo sama senior?”

“Senior?” Gue menunjuk Bimo. “Sampah kayak begitu lo bilang senior? Orang yang sexualize perempuan di grup chatnya lo bilang senior? Orang yang nggak bisa ngehargain perempuan, jadiin perempuan objek seksual dia, ngomong sampah soal perempuan, lo bilang orang begitu senior?”

“Bro,” bahkan disaat begini bisa-bisanya Bimo masih ketawa. “Gue kan ngomong fakta soal cewek lo. Udah lah ngaku aja, nggak usah sok suci disini. Paling juga udah lo pake kan cewek lo itu?”

Mendengar itu, gue langsung mempercepat langkah gue untuk datang menghampiri dia dan kembali melayangkan hantaman gue ke mukanya yang kayak tai itu. Teman-temannya mencoba untuk melerai, tapi entah tenaga dari mana gue tetap bisa menghajar dia habis-habisan.

“Bangsat, anjing lo! Sampah mulut lo, anjing!”

“Ta, udah, Ta.” satu-satunya yang berhasil menarik gue adalah Arga, gue ditahan oleh dia. Dari jarak sejauh ini gue bisa melihat seberantakan apa wajah Bimo sekarang.

Nggak lama datang salah satu kating yang belakangan sering gue lihat bareng Bimo. Gue nggak yakin dia angkatan berapa, tapi yang gue tahu dia jauh diatas gue.

“Beran-beraninya lo mukulin senior lo. Lo tau, waktu lo naro tangan lo dibadan dia itu artinya lo nggak akan aman kan?” Dia lalu menampar gue. “Junior sok keras ya lo.”

Gue kembalikan tamparan dia. Keras, sangat keras. Balasan karena membela orang sampah kayak Bimo.

“Silahkan, bikin hidup gue nggak tenang. Hajar gue, keroyok gue kalau lo ketemu gue dijalan, habisin gue. Lakuin aja apapun yang bisa ngembaliin rasa malu dan ego lo yang hancur itu. Gue nggak takut, senior-senior sampah kayak lo semua nggak cukup untuk ngebuat gue takut. Ancam gue pakai ancaman sampah lo itu, kita liat hasilnya gimana nanti.”

Gue lalu menatap Bimo yang masih terduduk di tempatnya. Wajahnya yang berantakan membuat gue tertawa, sebenarnya nggak sepadan dengan apa yang dia lakukan ke Iasha.

“Semoga perempuan-perempuan di sekitar lo, di dunia ini, nggak akan ketemu sama cowok sampah kayak lo, Bim. Semoga semua perempuan di dunia ini punya tempat aman dari cowok biadab kayak lo. Ibu lo, saudara perempuan lo, pacar lo, anak perempuan lo nanti, semoga nggak akan dipertemukan sama cowok yang nggak bisa ngehargain mereka kayak lo.”

278.

“Halo,”

“Ya, halo?” suaranya kedengaran bingung waktu dia akhirnya buka suara.

“Saya udah dibawah ya, Kak.”

“Ini siapa ya, pak? Saya perasaan gak lagi pesan apapun.”

“Oh, ini saya, kekasih hati mbak.”

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya gue mendengar suara tawa dia menari ditelinga gue, membuat gue mau tidak mau ikut tertawa bersama dia.

“Kakak, iihhh, aku kira siapa.” Gue selalu suka dengan cara dia memanggil gue, kedengaran sangat manis ditelinga gue.

“Aku sudah dibawah ya, sayang.”

“Oke, aku kebawah sekarang.”

Begitu sambungan telepon dimatikan, gue langsung mengembalikan ponsel yang gue pinjam kepada pemiliknya. Pak Rudi yang berdiri disebelah gue saat ini sedang tersenyum geli. Mungkin dalam hatinya berkata, gini amat remaja jatuh cinta.

“Makasih ya, pak.”

“Ada-ada aja mas Cetta ini. Untung teh Iasha angkat teleponnya.”

Gue membalas dengan cengiran. “Biasa lah pak, biar kaget dianya.”

Nggak lama setelahnya gue melihat Iasha berjalan menghampiri gue. Gue suka bagaimana dia berlari kecil setiap menghampiri gue dengan senyum lebarnya.

“Kamu pinjem hape pak Rudi tadi?” tanya dia begitu berdiri dihadapan gue.

“Iya, iseng aja.”

Gue sebenarnya bisa aja telepon Iasha dengan ponsel gue, tapi kayaknya terlalu biasa kalau gue melakukan itu. Jadi tadi gue sengaja pinjam ponsel pak Rudi untuk mengabari Iasha kalau gue sudah sampai.

“Aku udah beli mangganya.” ucap gue begitu kita berdua sudah berada didalam mobil.

Iasha melihat ke kursi penumpang dibelakang, dimana ada mangga yang sudah beli tadi.

“Makasih, tapi kenapa nggak beli bareng aja?”

“Keburu bapak laper nanti kalau beli mangga dulu, macet juga, jadi tadi sekalian searah jemput kamu makanya aku beli duluan.”

Iasha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban. Gue tau cewek gue ini selalu cantik saat apapun, walau kadang tingkahnya suka ajaib. Tapi malam ini, kalau boleh jujur, adalah tercantiknya dia selama gue kenal Iasha. Dress hitam yang dia pakai sekarang seakan memang diciptakan untuk gue kagumi begitu melekat ditubuhnya.

“Can i hold your hand?” dia menoleh saat mendengar pertanyaan gue, lalu gue bisa lihat pipinya merona. Gue suka, selalu suka apapun soal Iasha. Lalu dia akan memberikan tangannya untuk gue genggam.

Terima kasih kepada bapak karena membelikan gue mobil matic sehingga gue tetap bisa genggam tangan Iasha walaupun lagi nyetir.

“Aku deg-degan,” katanya membuat gue terkekeh.

“Kalau gak deg-degan berarti mati dong. Jangan lah, kan udah janji buat hidup seratus tahun lagi.”

“Ih, bukan begitu.” dia memukul lengan gue dengan tangannya yang bebas. “Kalau aku mendadak jadi patung gimana?”

“Malin kundang dong?”

“Isshh, kamu mah bercanda mulu.”

Gue lagi-lagi tertawa. Gue elus punggung tangannya, berharap semoga yang gue lakukan bisa beri dia nyaman.

“Ssstt, udah ah gak papa. Kan ada aku, nanti aku temanin, kalau makan aku duduk disamping kamu, kalau pipis nanti aku tungguin di depan kamar mandi, kalau lagi ngobrol aku juga disamping kamu. Tenang ya, kita nggak lagi mau ke konferensi meja bundar kok ini.”

Dan dia tertawa, nggak hanya melegakan bagi dia, tetapi juga untuk gue karena akhirnya dia bisa tertawa. Gue ngerti apa yang dia takutin, gue juga tau hubungan kita mungkin terlalu dini untuk gue bawa dia ketemu bapak dan ibu. Tapi gue pengen Iasha juga disayangi sama orang-orang yang sayang gue, mendapat hal baik dari orang-orang baik disekitar gue.

Dunia gue sangat baik kepada gue selama gue hidup, jadi gue juga ingin memberikan hal tersebut kepada Iasha. Semua hal yang baik untuk Iasha.

“Kak, kata bang Bimo nanti aku wawancara narsumnya di Matraman, kamu tau nggak itu dimana?”

Gue menoleh sekilas untuk menatap dia. “Tau, emang wawancara siapa?”

“Katanya sih kenalan bang Bimo, mantan pengguna narkoba gitu.”

“Oh, di Matraman emang banyak kasus narkoba sih. Tapi udah dikabarin kapannya?”

“Belum, katanya mau dipastiin dulu.”

“Yaudah, nanti kalau udah ada kabarnya kasih tau aku ya. Nanti kalau bisa aku temenin.” Iasha hanya menjawab dengan anggukan.

Setelah tiga puluh menit perjalanan, gue dan Iasha sampai di depan komplek perumahan tempat gue tinggal. Seperti biasa, gue akan selalu menyempatkan untuk menurunkan kaca mobil untuk menyapa babeh Udin yang malam ini lagi tugas buat jaga.

“Malam mas Cetta.”

“Malam, beh. Udah makan belum tuh? Udah ngopi aja.”

“Ya udah dong, mas. Istri gue mah kaga pernah sekip bekelin makan.” babeh Udin lalu melihat Iasha yang duduk disebelah gue. “Wedeeehh, setelah sekian purnama ada juga tuh yang dibawa kerumah.”

Gue menoleh untuk mendapati Iasha yang tersenyum malu-malu, lalu gue kembali menatap babeh yang lagi menyeruput kopinya. “Cantik ya, beh?”

“Nggak diragukan selera mas Cetta mah.” katanya sambil mengacungkan jempol.

“Yoi lah, abis gue jemput nih dari Kayangan.”

Babeh tertawa cukup keras mendengar jawaban gue. Lain dengan Iasha yang memukul lengan gue cukup keras. “Kak, apa sih.”

Gue kembali menatap babeh. “Namanya Iasha, beh. Ntar ya gue kenalin kalau main kesini lagi. Mau makan dulu sama ibu bapak.”

“Oke-oke, salam buat bapak ya, mas.”

Gue merespon dengan acungan jempol lalu kembali menginjakkan gas untuk menuju rumah gue.

“Kamu akrab banget ya sama babeh tadi?”

“Iya, kalau gabut aku join ngopi bareng dia soalnya.”

Begitu sampai di depan rumah, dan begitu gue sudah memarkirkan mobil gue, gue menatap Iasha yang sedang mengatur nafasnya. Begitu kita berdiri bersebelahan di depan pintu, gue kembali menggenggam tangannya.

“It's okay,” gue mengelus punggung tangannya. “We're gonna be okay, sayang.” dia tersenyum lalu menjawab dengan anggukan. “Eh, ini boleh kan aku pegang tangannya?”

“Ah,” satu yang harus kalian tau, Iasha kalau salting pasti mukul gue. Kayak sekarang. “Kamu mah nanya mulu.”

Gue tertawa, “Kita masuk sekarang, ya?” saat dia menjawab dengan anggukan barulan gue menarik dia untuk memasuki rumah gue.

Orang pertama yang menyambut gue dan Iasha adalah pak Irwan yang sedang membersihkan sepatunya. Begitu menangkap kehadiran gue dan Iasha, dia tersenyum penuh arti.

“Asiik, dibawa juga nih akhirnya.” Pak Irwan lalu berdiri dihadapan gue. “Mbak Iasha, ya?”

Gue menoleh, membiarkan Iasha untuk berinteraksi langsung dengan pak Irwan, supir ibu dan bapak.

“Hehe, iya pak, aku Iasha.”

Setelah menjawab tangan, pak Irwan kembali menatap gue lalu mengacungkan dua jempolnya yang gue balas dengan acungan jempol juga. Setelah sesi perkenalan itu, gue membawa Iasha untuk masuk lebih dalam kerumah gue.

“Ibu bapak, ini tamu kehormatannya sudah datang.”

Lalu terdengar suara gerudukan dari dapur dan lantai dua. Nggak lama ibu muncul dari dapur dan bapak muncul ditangga, masih dengan cerutu ditangannya.

“Ya ampun, cah ayu ku.” Ibu jadi orang pertama yang menghampiri Iasha lalu memeluk Iasha. Gue sendiri langsung sadar diri dan menyingkir menjauh, membiarkan ibu dan bapak menikmati waktunya dengan Iasha.

“Ayune, ya ampun. Ibu udah pingin sekali ketemu lagi, untung aja mau diajak mas Cetta pulang kerumah.”

“Ekhem,” suara bapak menginterupsi obrolan ibu dan Iasha.

“Sha, ini bapak.”

Bapak lalu menaruh cerutunya sebelum melangkah lebih dekat pada Iasha. Bapak mengulurkan tangannya yang nggak lama disambut oleh Iasha.

“Bambang...” ada jeda beberapa lama sebelum bapak kembali melanjutkan kalimatnya. “Bambang gentolet,”

Iasha hanya mengerjap nggak mengerti, sementara ibu langsung memukul lengan bapak. “Pak, ojo guyon wae.”

Bapak lalu tertawa, “Bercanda, bercanda. Nama bapak Bambang, panggilnya bapak aja yo, cah ayu.”

“Hehehe, Iasha, pak.”

Bapak lalu menatap gue bingung. “Loh, bukane sasageyo ya, mas?”

Iasha memelototi gue, sementara gue hanya bisa nyengir.

“Hehehe, bukan, pak. Itu panggilan akal-akalan kak Cetta aja. Nama aku Iasha.”

“Oalah, Iasha. Padahal bagusan Sasageyo loh.”

Setelah acara perkenalan dan basa-basi Ibu yang sangat ingin mengenal Iasha lebih jauh, akhirnya kita berempat duduk di meja makan.

“Iasha katanya mas Cetta bisa ngelukis ya?” tanya bapak disela-sela kegiatan mengupas kepitingnya.

“Nggak bisa banget sih, pak. Cuma hobi aja.”

“Bapak juga melukis Iasha, siapa tau kapan-kapan bisa melukis bareng.” Ibu lalu memberikan daging kepiting ke piring Iasha. “Makan yang banyak ya, cah ayu.”

“Iasha tadi belin ibu sama bapak mangga tuh, aku simpen di kulkas tadi.”

“Walah, padahal nggak usah repo-repot loh, sayang. Kamu datang aja ibu udah senang sekali.”

Iasha tersenyum. “Kata kak Cetta ibu sama bapak suka mangga, aku juga suka mangga. Jadi aku beli beberapa.”

“Makasih ya, cah ayu.” Bapak lalu memberikan capit kepiting yang sudah dia hancurkan cangkangnya ke piring Iasha. “Makan yang banyak ya, Iasha. Hati-hati sama cangkangnya, biar bapak sama Cetta aja yang buka.”

Setelah makan dan berbagai obrolan antara bapak, ibu dan Iasha, akhirnya gue mempunyai waktu dengan Iasha. Gue dan Iasha saat ini duduk di bale-bale yang berada di depan rumah.

“Senang nggak?” tanya gue.

“Senang banget. Makasih ya kak udah bawa aku ke rumah. Aku senang banget ada disini. Sempet terharu dikit tadi bapak ngupasin kepitingnya buat aku, terus ibu ngasih aku daging kepiting punya dia ke piring aku.”

“Padahal aku juga ngupasin kepiting buat kamu.”

“Hehehe, makasih juga buat mas Cetta.”

Gue hanya bisa melongo saat dia memanggil gue mas karena gue belum terbiasa saat panggilan itu keluar dari mulut Iasha. Lalu gue merasakan telinga gue memanas, sudah gue yakini kalau saat ini telinga gue memerah.

“Ihh, gitu aja salting. Telinga kamu merah tuh.”

“Abis, kamu panggil mas, sih.”

Iasha lalu tertawa, membuat gue juga ikut tertawa bersamanya.

“Tapi serius, makasih ya kak udah bawa aku ke rumah kamu. I never feel this loved before, sampai aku rasanya pengen nangis. Bapak kamu, ibu kamu, kamu, semuanya baik banget sama aku.”

“Sama-sama, sayang. Kamu bakal akan selalu disayang selagi aku hidup, jadi siap-siap aja terima hujanan sayang dari aku, ibu, bapak, dan semuanya yang sayang sama kamu, ya.”

Iasha menjawab dengan anggukan. Matanya yang menatap gue membuat gue langsung tahu saat dia mengatakan dirinya bahagia, dia benar-benar bahagia. Sorot mata Iasha adalah buku terbuka yang bisa gue baca dengan mudah malam ini.

“Tapi aku mau tanya deh,” katanya membuat gue menoleh. “Cah ayu itu apa sih?”

“Cah ayu?” gue terkekeh. “Cah ayu itu artinya cantik, sama ayak neng geulis kalau di Sunda. Tapi kalau buat ibu, bukan cuma cantik artinya, tapi juga sayang.” Gue lalu membelai rambutnya. “Semuanya sayang sama kamu disini, Sha.”

221.

Gue keluar dari kamar begitu liat mobil Kak Cetta yang parkir di depan rumah gue. Untung Mamah udah tidur sekarang, jadi gak ada yang berisik heboh kalau tau Kak Cetta datang.

Jujur gue sebenernya masih males ketemu Kak Cetta. Ditambah chat kita yang di DM itu, gue makin gedek. Tapi effort dia buat datang ke Jatinangor untuk minta maaf secara langsung ke gue, gak bisa gue tolak begitu aja.

Begitu gue buka pintu pagar udah ada dia yang berdiri di samping mobilnya sambil ngeliatin gue. Gue awalnya gak semarah ini, tapi setelah DM itu dan ngeliat mukanya sekarang gue jadi marah banget. Tapi setelah dia natap gue dengan tatapan yang penuh rasa bersalah, entah lah, gue jadi agak luluh dikit.

“Sha,”

“Lo bisa bawa motor gak?” dia keliatan bingung waktu gue tanya. Tapi gak lama kemudian dia jawab dengan anggukan. “Ambil motor itu, Kak. Ngobrolnya di taman aja.”

Terus gue arahin Kak Cetta untuk ambil motor Mbak Dian yang ada di garasi, setelahnya kita ke taman karena kalau ngobrol di depan rumah gue takut ganggu Mamah dan Mbak Dian yang udah tidur.

Begitu sampai taman, kita berdua malah diam-diaman selama beberapa menit. Kak Cetta sendiri dari tadi cuma ngeliatin langit yang lagi banyak bintangnya hari ini.

“Maaf ya, Sha. Gue salah banget udah ngomong kayak gitu ke lo.”

“Yang mana?”

Dia keliatan kaget waktu gue nanya begitu, keliatan dari cara dia ngeliat gue.

“Soal Jeka, yang gue bilang lo sengaja jalan sama dia buat ngebales gue. Harusnya gue gak segoblok itu buat mikir sampe saba.”

“Iya, bener.” Lagi-lagi dia keliatan kaget.

“Gue beneran gak sama Andira hari ini, Sha. Gue terakhir ketemu dia kemarin malam, abis itu udah, bahkan gue gak ada komunikasi lagi sama dia.” Gak lama dia ngelurin handphone nya dan ngasih liat gue roomchat dia dengan nomor yang gak dia simpan, disitu terakhir chatnya memang kemarin.

“Yaudah, kan gue udah bilang kalau gak papa.”

“Tapi lo masih marah, Sha.”

“Ya terus gimana, Kak? Lo emang nyebelin. Lo tau nggak gue nungguin dari pagi, gue bahkan bangun pagi takutnya lo ngajak keluar pagi-pagi. Taunya lo malah ngasih kabarnya jam enam sore, terus habis itu malah nuduh gue yang nggak-nggak.”

“Iya, maaf, Sha. Lo boleh marah kok.”

“Yaudah, gue udah bilang lo udah minta maaf proper, sekarang juga. Jadi yaudah apa lagi yang mau di sampein? Lagian gue marah atau gak bukan urusan lo kan, lo juga sebenarnya gak harus nyamperin gue begini buat minta maaf.”

“I need to, Sha. Gue gak mau ngebiarin lo marah sendirian tanpa lo tumpahin ke gue, karena gue emang pantes di marahin.”

“Kak, gue tuh gak ada hak apapun buat marah sama lo.”

“Iasha,” tiba-tiba suara dia kedengaran serius. “Gue nggak anggap hubungan lo sama gue cuma sebatas hubungan adik dan kakak tingkat. Maksud gue deketin lo dari awal udah jelas, gue suka sama lo dan gue mau punya hubungan yang lebih dari ini. Gue mungkin keliatan becanda terus jadi lo gak bisa percaya sama perasaan gue, tapi percaya deh Sha, kalau emang harus bercanda bukan lo orangnya, kalau emang bercanda gue gak mungkin ada di depan lo sekarang, datang dari Jakarta ke Jatinangor buat lo. Jadi marah aja, Sha. Gue mau lo marahin gue, jadi gue bisa baikin dan kita gak pisah sia-sia tanpa gue coba. Perasaan gue udah terlalu gede banget jadi gue gak akan rela ngelepasin lo gitu aja tanpa harus gue usahakan.”

Gue cuma bisa melongo waktu dengar dia ngomong begitu. Jujur gue gak nyangka akan ada saatnya gue dengar semua pengakuan Kak Cetta soal perasaannya buat gue.

“Perasaan gue terlalu besar buat lo Sha untuk cuma jadiin lo teman doang. Jadi kalau emang ini harus berakhir, gue gak mau berakhir jadi teman. Jadi biarin gue baikin ya, Sha?”

“Lo…”

Dia ngangguk terus senyum. “Gue mau ngabisin banyak waktu sama lo, Sha. Jadi orang yang lo cari pertama kali kalau lo butuh. Orang yang bisa lo marahin kalau gue but salah tanpa ngebuat lo bertanya-tanya hak lo apa. Orang yang nemenin lo sama Sruntul. Bukan jadi teman lagi kayak kemaren. Pacarin gue ya, Sha, biar lo bisa marahin gue sekarang.”

GUE BENERAN NGGAK TAU HARUS BERKATA APA SEKARANG. Yang gue lakuin cuma ngeliatin dia tanpa berkata apapun. Lalu nggak lama setelahnya dia manggil nama gue, buat gue akhirnya tersadar.

“Lo tuh,” Gue mukul dada dia, dan dia cuma ngebiarin gue ngelakuin itu sambil senyum. Dan setelahnya gue mulai ngeluarin semua amarah gue. “Gue tuh nggak suka kalau nggak dikabarin begitu. Lo tau kan, tapi malah lo lakuin. Terus lo malah DM gue begitu, nuduh gue begitu. Lo jahat tau gak kak, gue udah nungguin lo dari pagi tapi lo malah gituin gue. Lo jahat banget. Gue males sama lo.”

Gue masih mukulin dada dia, terus sekarang beralih ke lengan dia. Sementara Kak Cetta cuma ngeliatin gue sambil senyum. Gue rasanya mau menyublim sekarang juga begitu liat cara dia natap gue.

“Maaf ya, Iasha.” Gue hanya mengangguk. “Jadi mau ya? Gue diizinin gak?” Gue cuma natap dia dalam diam.

Kak Cetta masih senyum, tapi gue tau dia gugup karena gue nggak kunjung menjawab. Sampai akhirnya ketika gue mengangguk sebagai jawaban, senyum dia tambah merekah.

Setelah diam beberapa menit, gue dan Kak Cetta memutuskan untuk pulang karena sekarang jam juga udah menunjukkan pukul tiga pagi.

“Yah, di depan udah belokan rumah lo, Sha. Gue belum pengen pisah lagi. Kita muterin ini tiga kali dulu ya sebelum balik.”

“Boleh,”

Ada bunderan sebelum menuju rumah gue, dan gue bersama Kak Cetta muterin itu selama tiga kali karena baik gue ataupun dia belum mau berpisah pagi ini.

“Pelukan dong Sha, biar kayak orang pacaran beneran.”

“Apa sih, Kak.” Gue memukul punggung dia dan dia ketawa.

“Beneran, boleh gak?”

Gue nggak menjawab tapi setelahnya gue melingkarkan tangan gue disekitar pinggang dia. Setelahnya dia ketawa, ngebuat gue ikut ketawa.

“Sekali puteran lagi ya.”

“Kak udah tiga kali loh.”

“Belum mau pisah.”

Gue cuma bisa ketawa doang. Kayaknya Pak Bagus kalau liat kita yang dari tadi muterin bunderan ini mungkin bingung kali ya.

Belum puas ngebuat gue salah tingkah. Sekarang Kak Cetta ngarahin salah satu kaca spionnya kearah muka gue dan gue juga bisa ngeliat muka dia dari kaca spion. Begitu tatapan kita berdua ketemu, kita sama-sama ketawa terus langsung ngalihin pandangan bersamaan juga.

“Lo nginep dimana Kak?”

“Dirumah Jeka,”

“Soal Jeka…”

“Gue nggak masalah kok Sha kalau lo masih mau temenan sama Jeka, asal tau batasan. Gue nggak mau batasin lingkungan pertemanan lo, lo masih bisa ngelakuin semua yang biasa lo lakuin sebelum jadi pacar gue.”

“Makasih, Kak. Tapi gue tetap bakal bilang ke dia kalau gue sekarang sama lo.”

“Emang sama gue ngapain, Sha?”

Gila ya ini orang, tau banget cara ngisengin gue. “Dih apaan sih lo.”

“Gue serius nanya loh, emang lo sama gue ngapain?”

“Yaaa, pacaran kan.”

“Asik, udah jadi pacarnya Iasha sekarang. Satu jenjang lebih dekat menjadi husbu.”

“Kak Cetta sumpah lo bisa stop norak nggak sih.”

Malam itu gue dan Kak Cetta muterin bunderan sebanyak 15 kali, atau mungkin lebih, gue nggak ngitung karena keasikan nikmatin waktu gue sama dia.

Begitu kita sekarang di depan rumah gue, gue dan Kak Cetta berdiri berhadapan tanpa mengatakan apapun dan hanya ada senyum di wajah kita. Lalu gue mengalihkan wajah gue karena merasa salah tingkah. Begitu juga dengan Kak Cetta yang keliatan merah muka dan telinganya.

“Sha,”

“Iya, Kak?”

“Boleh nggak..” ada jeda cukup lama sebelum dia kembali melanjutkan ucapannya. “Gue peluk lo sebelum balik?”

Mendengar itu gue dan Kak Cetta setelahnya sama-sama langsung memalingkan wajah. Lalu setelahnya gue dan dia sama-sama melangkah mendekat lalu gue ditarik kedalam pelukannya. Gue bisa merasakan nafas dia di ceruk leher gue dan gue bisa merasakan eratnya pelukan yang dia berikan.

“Daah, Iasha.”

“Daaah, Kak.”

“Besok balik bareng gue aja ya?”

“Oke,”

“Besok gue kesini lagi.”

“Mau ngapain??”

“Izin sama Mama lo buat macarin anaknya.”

“Ih nggak usah.”

“Nggak boleh gitu, harus izin dulu.”

“Yaudah deh terserah lo aja.”

Kak Cetta cuma jawab dengan tertawa, begitu juga dengan gue selanjutnya. Kita berdua masih dalam posisi saling memeluk satu sama lain sampai sekarang.

“Gue pulang ya, Sha.”

“Iya, Kak. Hati-hati ya.”

“Iya, besok ketemu lagi ya, Sha.”

“Iya, Kak.”

“Pulang ya, Sha.”

“Iya, Kak.”

Tebak apa, kita berdua bahkan nggak ada yang melepaskan pelukan selama percakapan itu terjadi. Hal itu membuat gue dan Kak Cetta sama-sama ketawa. Lalu akhirnya gue jadi orang pertama yang melepaskan pelukan karena kalau begini terus yang ada sampai jam tujuh pagi juga Kak Cetta gak bakal pulang.

“Hati-hati ya, Kak.”

Dia masuk kedalam mobil, begitu mesinnya nyala, Kak Cetta nurunin kaca mobilnya. Dia lalu melambaikan tangannya dan tersenyum.

“Daaah, sayang.”

Selagi gue gila dengan apa yang dia ucapkan barusan, Kak Cetta malah langsung pergi begitu aja. Emang kebiasaan.

33.

“Oy, Iasha,” gue yang awalnya lagi ketawa-ketiwi bareng Gahar, Deon dan Vara langsung bete begitu liat Cetta datang ngampirin kita berdua. “Ikut gue sini bentar.”

“Hah? Mau ngapain Kak?”

“Udah ikut aja napa,”

Kalau nggak lagi makrab mungkin gue udah nolak mentah-mentah. Kenapa sih senior-senior di makrab tuh seketika langsung jadi nyebelin tingkat maksimal, jadi rese mampus. Apalagi Cetta, dia udah rese jadi tambah rese karena makrab ini.

“Mau ngapain sih, Kak?” tanya gue lagi karena gue dibawa ke villa tempat panitia makrab. Ada banyak pasang mata senior yang ngeliatin begitu gue masuk kedalam villa ngebuat gue nggak nyaman banget.

“Duduk dulu bentar disini,” katanya Cetta sambil nunjuk sofa dan habis itu dia hilang entah kemana.

Gue cuma bisa plonga plongo doang sambil nungguin Cetta yang nggak tahu ngapain. Sampai akhirnya dia balik lagi dan duduk di samping gue.

Dia nggak ngomong apa-apa, ngebuat gue jadi bingung sendiri. Apalagi dia sibuk sendiri sama handphone nya.

“Gue ngapain deh Kak sebenernya disini?”

Bukannya ngejawab dia malah ngasih gue handphone nya. “Nih, pegang.”

Gue dengan bodohnya malah nurut tanpa tau kenapa dia ngasih handphone nya. Begitu gue lihat, ternyata handphone nya menampilkan panggilan video dengan nama kontak “mama iasha” gue otomatis langsung natap dia.

“Kok video call sama Mama gue?”

“Mama lo mau tau kabar lo.”

Nggak lama setelahnya panggilan video tadi diangkat sama Mama. Mama gue langsung kelihatan sumringah begitu lihat muka gue.

“Halo adek, gimana makrabnya?”

Gue ngelirik Cetta yang lagi merhatiin gue. Gue sebenarnya pengen jujur kalau makrab ini menyiksa gue, cuma bisa berabe kalau gue ngomong di samping Cetta. Apalagi dia Koor komisi disiplin, bisa habis nanti gue waktu jurit malam.

“Ya biasa aja, nggak yang gimana-gimana,” jawab gue. “Mama udah pulang kerja belum itu?”

“Habis telepon kamu baru Mama pulang, dek.” gue hanya mengangguk sebagai jawaban. “Mas Cetta,” tiba-tiba Mama manggil Cetta yang ngebuat Cetta jadi mendekat dan muncul di layar handphone.

“Iya, Tante?”

“Titip Iasha ya mas.”

“Oh siap Tan, aman kok Iasha disini.” gue langsung memutar bola mata gue jengah mendengar itu. Liat aja nanti malam kalau dia kerjain gue, gue aduin Mama gue.

“Adek jangan lupa makan ya,” Mama kembali ngomong ke gue.

“Iya, Ma nggak lupa.”

“Iasha makannya dikit tuh, Tan. Tadi nggak di habisin.”

Gue langsung melotot menatap Cetta yang tiba-tiba mengadu. Mama gue sangat strict kalau soal makanan, gue bisa dimarahin habis-habisan kalau dia tau gue buang-buang makanan.

“Apaan dah lo?” Gue kembali menatap Mama di handphone. “Nggak, Ma. Kak Cetta bohong.”

“Awas aja ya Iasha makannya dibuang-buang. Mas Cetta tolong awasin makannya Iasha ya, suruh makan yang banyak.”

“Siap, Tan.” Cetta lalu menoyor kepala gue pelan. “Tuh, makan yang banyak.”

“Apaan sih?” Ini kenapa gue sama Cetta jadi akrab begini sih? “Ma, udah ah aku mau ngumpul lagi sama temen aku.”

“Yaudah, hati-hati ya, dek. Jaga kesehatan. Mas Cetta, tante titip Iasha ya.”

“Oke, Tan. Saya jagain kok Iasha.”

Lalu sambungan telepon dimatikan. Gue langsung memberikan ponsel milik Cetta. Dia lalu menoyor kepala gue lagi dan lagi. Ini orang kenapa deh.

“Tuh, Mama lo nitip lo ke gue, jadi lo harus nurut sama gue.” katanya dengan senyum licik. Kampret banget kehidupan kuliah gue kayaknya.

Nggak lama setelahnya ada Kak Juna yang datang dan berdiri di depan kita berdua.

“Lo berdua ngapain duduk sampai dempet-dempetan begitu? Lagi cari kehangatan di satu sama lain apa gimana?” Dia lalu ketawa sendiri dan pergi begitu aja.

Gue dan Cetta lalu saling lihat-lihatan. Dan ternyata emang jarak duduk kita dekat banget sampai bahu kita bersentuhan. Gue dan dia sama-sama berdehem lalu gue berdiri untuk kembali ke villa peserta.

“Makasih ya, Kak. Gue izin balik ke villa lagi.”

“Ya, hati-hati, Sha.”

Mendadak gue dan Cetta jadi canggung banget. Mana tadi gue nggak sengaja lihat telinga Cetta jadi merah banget. Dia salah tingkah atau gimana sih?