radianteclipse

Keraton Residence

Selene tertawa begitu melihat Prabu keluar dari mobilnya, bersandar di kap mobil menunggu Selene yang baru saja keluar dari kosnya.

“cepet amat.”

“lewat tol, lagian udah jam segini mah tol juga ga padet banget.”

Selene hanya mengangguk lalu masuk kedalam mobil yang sebelumnya pintunya sudah di buka oleh Prabu.

“tiba-tiba banget ke Bali nya? atau udah plan dari lama?” tanya Selene melirik Prabu yang fokus menyetir.

Prabu melirik Selene lalu tersenyum simpul. “Selene, mau di buka gak?”

“hah apanya?” bertanya, sedikit terkejut dengan pertanyaan Prabu yang ambigu.

“ini, mobil saya convertible. mau di buka gak?” Prabu terkekeh geli melihat wajah Selene yang terlihat shock.

“oh, bisa om? coba dong.”

Prabu lalu membuka atap mobilnya, ia lalu melirik Selene yang menatap kagum atap mobil Prabu yang terbuka.

“widih keren, saya kira ini tadi tuh mobil sedan biasa.”

“memang sedan biasa aja.”

“mana ada, bohong banget.”

Prabu tertawa, ia lalu memelankan mobilnya guna menikmati semilir angin.

“mau pakai topi?” tanya Prabu saat melihat rambut Selene yang berantakan di karenakan angin.

“gak, lebih kece begini gak sih? berasa main character di film-film New York gitu.”

Prabu hanya tertawa lalu kembali melajukan mobilnya membuat Selene sedikit memekik. kebetulan tol malam ini sedikit lenggang, membuat perjalanan mereka berdua hanya memakan waktu sebentar.

Mereka akhirnya sampai di basemen Keraton Residence. Selene langsung merapikan rambutnya yang udah berasa gimbal banget. Prabu yang melihat itu hanya tertawa lalu menyodorkan sisir yang memang selalu ada di mobilnya.

“sisirnya Hera ya? ogah saya pake.”

Prabu lalu menarik sisir yang ia sodorkan ke Selene tadi lalu menggantinya dengan topi milik Prabu.

“yaudah pakai topi saya aja nih. nanti di benerin di unit aja rambut kamu.”

keduanya lalu memasuki apartemen, keduanya menunggu di depan lift. Selene sibuk menutupi rambutnya dengan topi milik Prabu, sedangkan Prabu sibuk dengan handphonenya.

“Om masih suka kontakan sama Hera?” tanya Selene sedikit melirik ke handphone yang di pegang Prabu.

Prabu lalu memperlihatkan handphonenya kepada Selene.

“udah gak pernah. ini Jeremy yang chat saya.”

“oh si kak Jeremy.” Selene nyengir. “dia tinggal disini juga om?”

“iya, beda lantai.”

Bertepatan Prabu menjawab, pintu lift juga terbuka. keduanya lalu masuk dan Prabu langsung memencet tombol lantai enam belas dimana unit apartemen Prabu berada.

“by the way Selene, kamu kenapa manggil Jeremy kak?”

“kan lebih tua.”

“saya sama Jeremy seumuran. terus kenapa saya di panggilnya om?”

Selene nyengir. “abis vibesnya kak Jeremy tuh masih kayak anak muda. terus vibesnya om tuh.” Selene menatap Prabu dari ujung kepala sampai kaki.

“kenapa emang vibes saya?”

“ya kayak om-om.”

Prabu mendengus sebal. ia lalu melangkah keluar dari lift saat pintu lift terbuka. Selene hanya mengekor Prabu dari belakang.

“nih unit saya.” kata Prabu lalu menempelkan access card-nya.

“kece ya ni apartemen.”

“biasa aja.”

Selene hanya mendengus sebal dan tidak menjawab, memilih untuk mengekor Prabu yang lebih dulu masuk ke unit apartemennya.

“OM.”

Prabu langsung membalikkan tubuhnya mendengar Selene memekik kaget.

“apa? kenapa, Sel?”

“INI APARTEMEN SEGINI GEDE BENERAN TINGGAL SENDIRI?”

“ya Tuhan, saya kira apaan.” Prabu menghela nafas. “iya sendiri. sebenarnya saya sebelumnya gak tinggal disini.”

“terus dimana?” tanya Selene lalu mendudukkan dirinya di salah satu sofa milik Prabu.

“di Anandamaya. terus karena kata Jeremy disini lebih oke, saya pindah deh kesini.”

“ya no wonder sih, emang apartemen yang ini kece banget.” jawab Selene.

“yaudah ayo sini.” Prabu menarik tangan Selene untuk berdiri.

“ih kemana?”

“katanya mau bantuin packing. gimana sih?”

Selene lalu berdiri mengikuti Prabu dengan malas-malasan. Begitu sampai di walk-in-closet nya Prabu, Selene hanya menggeleng kepala.

“paan dah isinya baju mau layat semua.” Selene berdecak sebal.

“yang ini gak hitam.” Prabu membuka salah satu lemarinya yang berisi baju lebih colorful.

“tapi om tuh ke Bali gak buat kerja kan?” tanya Selene sambil melihat-lihat baju yang berada di lemari Prabu. “apa nih bajunya Prada, Gucci, sama LV semua. yang H&M gak ada?”

“ini tuh kunjungan mandatory aja ke orang tua saya. saya jarang beli baju di H&M, not my taste.” jawab Prabu.

Selagi Selene menyiapkan baju milik Prabu, Prabu juga menyiapkan beberapa printilan yang ingin ia bawa. seperti dasi, sepatu, jam tangan, sandal, topi, dan kacamata.

“lain kali kalau kamu mau ikut gak papa kok, Sel.”

“dih ngapain banget saya ikut. ” Selene lalu memberikan beberapa baju ke Prabu. “dikit aja, om pasti belanja disana.”

“kok tau?”

“keliatan, dari gimana baju-baju om yang mostly masih aja price tag-nya.” jawab Selene sembari menyodorkan baju Prabu yang memang masih baru.

“okay.” Prabu lalu membawa semua baju yang telah Selene pilih ke ruang tengah.

“kamu mau apa?” tanya Prabu begitu mereka berdua telah duduk di ruang tengah.

saat ini Selene sedang melipat baju Prabu dan memasukkan kedalam koper.

“apanya?”

“saya kan ke Bali. pulangnya kamu mau dibawain apa?” tanya Prabu.

“gak usah, emang saya siapa minta dibawain ini itu.” jawab Selene.

“kamu Selene. udah gak papa, mau minta apa?”

“apa aja deh.”

“okay beneran apa aja ya.”

Selene hanya mengangguk. terjadi keheningan diantara keduanya beberapa menit sampai akhirnya Selene angkat bicara lagi.

“saya putus sama Javier.”

“oh wow, really?”

“iya.” Selene lalu memberikan kopernya ke Prabu untuk di resleting oleh Prabu.

“good for you, Selene. kamu bisa dapat yang lebih better dari dia.”

“iya, makanya saya kayaknya mau download tinder deh.”

Prabu langsung menghentikan aktivitasnya begitu mendengar perkataan Selene.

“what? you must be joking.”

“enggak lah, daripada galau mending saya cari cowok baru.”

“kan saya cowok, Selene.”

“YA MASA SAYA SAMA OM PRABU?”

Prabu terkekeh lalu menyingkirkan koper yang membatasi antara Selene dan dirinya.

“ya emang kenapa? udah deh, daripada kamu download tinder yang gak jelas gitu mending kamu tunggu saya pulang dari Bali.”

Selene tidak menjawab apapun, ia sibuk menilik wajah Prabu. takutnya Prabu sekarang lagi bercanda, soalnya Selene jadi agak geer dikit.

“Selene,” Prabu meraih tangan Selene. “besok kan saya flight sore. daripada saya bolak-balik jemput kamu, mending kamu nginap disini malam ini.”

Selene masih tidak menjawab. kali ini cukup kaget karena posisi Prabu begitu dekat dengannya.

“mau gak? malam ini aja. kamar saya kosong dua kok.”

Arjuna Rawindra

Arjuna Rawindra, dulu biasanya di panggil Ajun sama keluarga tapi beranjak dewasa yang punya nama protes. jadi sekarang di panggil Juna, a' juna, atau kak Juna.

Arjuna ini kalau kata mama si social butterfly. Juna si mood maker keluarga, atau teman-teman tongkrongannya.

Arjuna ini tipe anak yang gak neko-neko, beda banget sama Abang Jevian. dari kecil dia pasti dapat barang lungsuran dari Jevian, tapi dia gak pernah protes.

buka mama gak mau beliin, karena kadang barang yang Jevian minta tuh terlalu banyak sampe-sampe baru di pakai sekali Jevian udah gak mau pake lagi, jadi minta yang baru gitu.

dulu waktu awal kuliah aja Juna dapat MacBook lungsuran dari Jevian. padahal Bastian udah ngotot mau beliin yang baru, tapi kata Juna gak papa, MacBook Jevian masih bagus.

Juna lahir di Bogor, karena waktu itu lagi acara nikahan adiknya Papa. tapi ya setelah itu tetap aja Juna besarnya juga di Kalimantan.

Arjuna gak punya kesukaan yang spesifik, soalnya Juna tipe yang happy-go-luck life gitu.

kalau ditanya Juna suka musik? Juna suka. suka buku? suka juga. suka traveling bareng Damar? suka banget malah dia ngikut. kalau ngeband bareng Malvin? malah Juna pernah gantiin posisi Lanang waktu perform di salah satu SMA.

tapi Arjuna gak cocok kalau disuruh nge-wine bareng sama Jevian. soalnya Jevian kalau nge-wine pasti bakal deep talks, dan Juna bukan tipe orang yang bisa begitu.

Arjuna ini tipe orang yang menganut prinsip you only live once, jadi Arjuna memang selalu ngelakuin apa yang dia bisa lakuin.

simple nya, Arjuna good at living his life.

Arjuna juga tipe yang all out kalau pacaran, cuma kadang gengsinya aja gede. love language dia tuh sending meme of his girlfriend face.

diliat aja dari cara dia pacaran sama Adhisti. kalau dari luar mungkin ya keliatannya gak ada yang special dari cara pacaran mereka. bahkan mereka jarang banget date yang proper.

tapi setiap Adhisti butuh Juna ataupun sebaliknya, mereka bakal selalu ada. Arjuna bahkan pernah langsung nyusul ke Bandung jam sembilan malam waktu Adhisti bilang dia lagi demam dan dirumah dia sendiri karena orangtuanya ke Banten.

atau soal cuma Adhisti yang bisa ngajak ngobrol Juna waktu Juna lagi di fase depresinya.

iya, Arjuna punya Bipolar Disorder faktor genetik dari mama. mulai terlihat waktu dia SMA kelas sebelas setelah dia putus dari pacarnya.

Arjuna juga dulu sempet dapat pacar yang abusive. tapi karena bantuan Jovian, Arjuna akhirnya bisa lepas dari cewek itu.

sama kayak saudara yang lain, Arjuna juga di pilih papa soal prodi S1. dan beruntungnya prodinya emang prodi yang Arjuna incar.

Arjuna S1 di teknik mesin. begitu lulus dia juga langsung lanjut S2 di teknik mesin juga.

setelah lulus S2 jujur Arjuna gak tau mau ngapain, mungkin dia bakal kembali ke Balikpapan untuk minta kerjaan ke Papa.

untuk saudara yang paling deket sama Arjuna itu Damar. walaupun keliatannya kayak tom and jerry, aslinya mereka deket banget. mereka bahkan sering staycation bareng diluar kota kalau ada kesempatan.

tapi tetep aja, Brisia selalu jadi nomor satu di hati Arjuna. apapun yang Arjuna lakuin pasti Brisia bakal di inget.

kalau belanja inget buat beliin Brisia, kalau beli makan inget buat beliin Brisia. atau kalau lagi di luar kota sama Damar bakal selalu inget apa yang Brisia titipin untuk oleh-oleh.

baru-baru ini Arjuna lagi ngomongin masalah hubungan dia sama Adhisti.

Arjuna pengen lebih serius, tapi Adhisti masih merasa perlu mengejar karirnya.

13.21

hari ini Aletta dan Bastian resmi bertunangan. acaranya di gelar di rumah Aletta secara sederhana.

“selamat, ye.” Jevian menyenggol bahu Bastian setelah acara tukar menukar cincin selesai.

acara ini sebenarnya hanya acara keluarga saja, tapi ada beberapa teman dekat dari keluarga Rawindra dan Aletta yang datang.

bahkan acara yang di mulai jam sepuluh tadi sudah selesai sebelum adzan dzuhur.

“kapan nyusul?” tanya Adara yang sedari tadi berdiri di samping Jevian.

“bentar, masih sibuk ambil hati bang Brian.”

“hah? mau nyusul bareng bang Brian?”

“hedeh.”

Malvin yang sedari tadi mendengar percakapan keduanya hanya tertawa. ia sengaja daritadi nempel ke Jevian karena menghindari Jovian.

hari ini secara resmi juga Jovian mengenalkan pacarnya kepada keluarga. papa mama awalnya sempat kaget, tapi akhirnya beliau sangat welcome ke Bella.

“itu yang lu taksir?” Damar tiba-tiba nimbrung berdiri di samping Malvin.

“udah jangan di ingetin. lu jadi mas kaga peka banget sama adeknya.” samber Jevian sembari merangkul bahu Malvin protektif.

“ya nanya doang.” Damar mengangkat bahunya acuh. “paling bentar lagi mereka nyusul. tuh liat aja mama suka banget sama Bella.”

Malvin menatap Jovian dan Bella yang sedang berbincang dengan kedua orangtuanya dan orangtua Aletta.

tidak lama Brisia dan Hendery datang menyusul mereka.

“a juna kemana? di cariin papa tuh di suruh antar mama ke Benhil.” ucap Brisia.

sedari tadi Brisia dan Hendery mencari keberadaan Arjuna dan Adhisti yang tidak terlihat dimana-mana.

“Juna lagi di kamar Aletta. dia gak bilang obatnya habis jadi ya gitu tiba-tiba jadi lemes gamau ketemu orang.” jelas Bastian.

“lah kenapa gak bilang? kasih tau papa dek.” Damar menyahut sewot. “atau ga gua sama Juna pulang deluan dah.”

“yaudah ini juga bentar lagi pulang.” jawab Bastian lalu pergi menghampiri papa nya untuk memberitahu keadaan Arjuna.

“emang a Juna kenapa, Si?” tanya Hendery yang sedari tadi bingung mendengar percakapan para Rawindra.

“aa' tuh punya bipolar genetik gitu. emang mood nya bisa berubah gitu, Heng.” jelas Brisia.

“lama gak kalau begitu?”

“gak tau, gak nentu juga. tapi bisa sampe seminggu kalau dia gak minum obat.”

Hendery hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Brisia.

“obat aa' habis emang, Si?” tanya Malvin.

“lah gak tau, kontrol kan biasanya sama elu.”

“gua udah kontrol kemaren lusa, Si. waktu itu ngajak aa' katanya dia mau sama Adhisti.” jelas Malvin.

gak lama kemudian papa mama beserta Bastian datang menghampiri Brisia, Malvin dan Hendery.

“Abang mana?” tanya mama karena tidak melihat Jevian.

“gak tau sama kak Dara.” jawab Malvin lalu langsung nyelonong pergi begitu melihat Jovian jalan menghampiri mereka.

“berantem dia sama si Jo?” tanya papa ke Brisia.

“iya, biarin aja dulu. ntar juga meledak sendiri.” jawab Brisia yang di respon dengan anggukan oleh papa.

tidak lama kemudian Damar, Adhisti, dan Juna datang. Juna langsung nyelonong pergi gitu aja tanpa menyapa yang lain seperti biasa, mukanya juga udah datar banget. sementara Damar dan Adhisti menjelaskan keadaan Juna ke papa dan mama.

“lagi bete dia?” tanya mama.

“iya, ma. tadinya ngeluh pusing doang, tau-tau nanya kamar ke kak Tian terus jadi gamau ketemu orang-orang jadinya. dia sempet chat aku minta pulang cuma aku bilang masih pada repot, jadi dia tambah bete gitu.” jelas Adhisti.

“gak ngamuk tapi kan?”

“enggak, kalau gitu mah yang ada anaknya diem terus tidur mulu.” jawab Damar. “yaudah aku aja yang antar sama Disti. kalian disini aja sampe acara selese.”

papa mengangguk lalu menepuk bahu Damar. “kamu kabarin papa ya mas kalau aa' kenapa-napa.”

Damar hanya mengangguk dan menyusul Juna sudah memasuki mobil terlebih dahulu. Adhisti pun juga turut pamit untuk menemani Arjuna.

“emang turunan dari siapa, Si?” tanya Hendery berbisik ke Brisia.

“dari mama.” jawab Brisia.

Jovian yang baru saja bergabung dengan Jevian beserta para cewek.

“kenapa tuh Malvin?” tanya Jovian yang melihat Malvin sedang jongkok sambil mencabuti rumput.

“bete sama lu.” jawab Bastian yang langsung dapat cubitan di lengan dari mama.

Jovian langsung terdiam lalu melirik Bella yang berdiri di sebelahnya.

“aku mau antar calon pacar dulu yaa.” pamit Jevian yang langsung di hadiahi pukulan pelan di lengan oleh Dara.

“gercep bener, abang.” celetuk Brisia.

“ya harus gerak cepet ya bang jadi cowok tuh.” sahut sang papa tersenyum wibawa kearah Jevian.

Jevian tersenyum jumawa begitu mendapat lampu hijau dari papa, sedangkan Adara hanya bisa menggaruk tengkuknya kikuk.

“emang abang mau pacarin Adara, dek?” tanya mama berbisik ke Brisia.

“kayaknya sih iya, abang aja suka banget ke kak Dara.” jawab Brisia.

“emang kenapa, ma?” tanya Jovian ikut nimbrung berbisik.

“gak tau, tapi mama kurang srek kalau abang sama Adara. mending sama yang dulu dia bawa ke Balikpapan itu.” jawab mama membuat Jovian dan Brisia saling beradu pandang.

waduh, berat nih.

21.49

Bastian menarik nafas, mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu kamar mama papanya.

Hari ini Bastian ingin memberitahukan segalanya soal Aletta pada mama papa. Semoga keputusan ini gak akan membuat Bastian menyesal nantinya.

Begitu ia merasa siap, Bastian mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Dari dalam ada suara mama yang menyahut untuk menyuruh langsung masuk.

Begitu Bastian membuka pintu kamar kedua orang tuanya, hawa dingin dari AC langsung menyeruak. Typical papa yang suka dingin-dingin di kamar.

“Kenapa, Yan?” Tanya mama yang lagi rebahan di samping papa. Keduanya sedang menonton televisi.

“Ada yang mau aku omongin.” Bastian mendudukkan dirinya di pinggir kasur.

Papa yang mendengar perkataan Bastian langsung mendudukkan dirinya. Sepertinya apa yang mau di bicarakan Bastian serius.

“Tutup dulu pintunya, nanti Juna sama Sisi nguping.” Titah sang papa.

Bastian terkekeh tapi tetap menuruti perintah sang papa.

“Kenapa? Sini duduk diatas aja?” Mama menepuk tempat kosong yang berada di sebelahnya.

Bastian menuruti mama nya, ia lalu duduk di tengah-tengah kedua orangtuanya.

“Ma,”

“Kenapa, Kakak?”

“Mama pengen punya cucu berapa?”

Mama terlihat berfikir sebelum menjawab pertanyaan Bastian. Cukup lama sampai membuat Bastian gugup.

“Mama sih terserah anak mama aja mau punya anak berapa. Mama mah gak mau nuntut kalian. Tapi kalau papa sih gak tau.”

Mama melirik papa yang sedari tadi masih menonton televisi.

“Papa gak mau nuntut soal anak ke kalian. Terserah istri kalian aja mau punya anak apa enggak. Gak punya cucu juga gak papa. Lagian anak papa udah banyak, tingkahnya juga pada masih kayak anak umur lima tahun.” Jawab papa masih dengan pandangan yang tertuju ke televisi.

“Kenapa emang? Aletta gamau punya anak ya?” Mama mengelus pundak Bastian. “Gak papa kakak, kamu gak bisa maksa Aletta. Kalau gak mau yaudah, itu hak dia kan.”

Papa mengangguk setuju. “Iya, be a gentleman dong, Bas. Kayak yang papa ajarin. Kalau sama cewek ga boleh banyak mau.”

Bastian tersenyum begitu mendengar perkataan kedua orang tuanya. Cukup lega, karena dua hari kemaren Bastian benar-benar tidak tenang tentang masalah ini.

“Iya aku gak maksa Aletta kok.” Bastian mengulas senyum menatap mama. “Aletta gak bisa hamil, ma.”

“Kok?”

“Dulu waktu masih kuliah dia suka pendarahan berat gitu selama datang bulan. Bahkan sampai berbulan-bulan sampai ganggu aktivitas dia. Bahkan sampai sering di opname karena pingsan. Sampe akhirnya Aletta udah gak tahan, jadi dia jalanin prosedur histerektomi.”

“Kamu udah tau dari lama?” Tanya papa.

“Bahkan aku yang nungguin operasi dia, pa.”

“Kamu gak papa tapi kan?” Papa kembali bertanya.

“Aku gak papa, asal Aletta sehat aku gak papa. Aku bisa adopsi anak kalau memang Aletta pengen punya anak. Aku gak akan nuntut apapun dari Aletta, pa. Asal dia sehat aku udah seneng.”

Mama dan papa mengusap bahu Bastian bangga.

“Jadi gak papa kan? Walau Aletta gak bisa hamil?”

“Kok tanya mama papa? Kan yang jadi suami Aletta kamu. Harusnya mama sama papa yang nanya, kamu gak papa walaupun Aletta gak bisa kasih kamu anak?” Jelas si mama.

“Aku nikahin Aletta bukan karena mau punya anak. Aku mau hidup sama dia.”

“Lu denger, Jun?”

“Kaga, mas. Malvin denger gak?”

“Enggak sumpah, pada ngomongin apa dah? Sisi denger gak?”

“Idih pada budek ya lu?”

“Emang lu denger dek?”

“Enggak a'.”

Itu tadi percakapan Damar, Arjuna, Malvin dan Brisia yang daritadi nguping di depan kamar mama papa.

Keraton Residence

“Yaudah aku pulang ya, sel.”

Selene hanya tersenyum mengantar kepergian Javier. Javier pulang lebih dulu, bilangnya sih ada something urgent di rumah.

Setelah Javier pergi dengan mobilnya, Hendery menyusul Selene yang masih berdiri di pagar rumahnya.

“Liat gak sih lu tadi?” Tanya Hendery.

“Liat.” Selene berjalan kembali masuk kedalam rumah di ikuti oleh Hendery. “Hera minta di antar balik.”

“Emang Selene tolol. Udah liat Hera ngechat kaga marah juga.”

“Daripada lu bacot mending anter gua ke keraton residence.”

Hendery langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar apa yang Selene katakan barusan.

“Ngapain lu kesana?” Tanya Hendery dengan kerutan di dahinya.

“Ambil card holder gua, ada di om Prabu soalnya.”

Hendery membelalakkan matanya lalu memukul lengan Selene dengan dramatis.

“Sel, bagus harusnya emang gadun kaya raya nan cakep tuh jangan di tolak.”

Selene menepis tangan Hendery lalu mengambil tasnya. “Apasih gak jelas. Orang gak ada hubungan apa-apa juga.”

“Ada apa-apa juga gak papa.” Hendery tersenyum sambil menaik turunkan alisnya.

“Mau anter gak lu?” Tanya Selene galak yang langsung dijawab oleh anggukan dan senyum antusias dari Hendery.

Selama di perjalanan ke Keraton Residence mereka berdua habiskan dengan gosipin kakak tingkat yang katanya lagi hamil diluar nikah tapi tetep nekat kuliah.

Sesampainya di Keraton Residence, Selene dan Hendery langsung turun dari mobil. Mereka berdiri tepat di depan bangunan megah Keraton Residence. Keduanya mengadahkan kepalanya untuk melihat betapa megahnya bangunan tersebut.

“Woooaahhh, gua sebelumnya selalu liat ini apartemen dari internet. Mau kesini takut dikira pengemis, anjir.” Kata Hendery sambil menatap bangunan itu kagum.

Selene menutup mulutnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk memukul lengan Hendery.

“Sumpah, Heng. Gua juga sebelumnya cuma liat ini di google. Bagus banget aslinya.” Kata Selene.

Selene lalu dengan cepat menelpon Prabu untuk segera turun menghampirinya. Masih dengan posisi kepala yang mengadah Selene berbicara dengan Prabu di telpon.

“Halo, om. Saya udah di bawah nih. Bisa samper saya gak? Woaaahhh, ini keren banget asli om.”

“Haha, iya halo Selene. Saya kebawah sebentar.” Terdengar suara grasak-grusuk di sebrang sana, lalu bunyi beep yang mana berarti Prabu sudah keluar dari unitnya.

“Kamu sama siapa?” Tanya Prabu.

“Sama Aheng, om. Heng mau foto di situ gak? Keren kayaknya.”

Prabu hanya tertawa mendengar percakapan Selene dengan seseorang yang bernama Aheng.

“Om saya mau foto-foto dulu. Saya matiin, bye.”

Lalu sambungan telepon langsung di matikan secara sepihak oleh Selene.

Selene dan Hendery sempat mengambil beberapa foto baru kemudian Prabu terlihat.

Saat mendapati keberadaan Prabu Selene cukup terkejut. Soalnya setiap ketemu Prabu pasti laki-laki itu mengenakan setelan jas. Dan malam ini Prabu hanya mengenakan celana selutut dan kaos polos hitam serta kacamata yang bertengger di hidungnya.

“Mau masuk?” Tanya Prabu.

“Gak usah, om.”

Selene menggeleng yang langsung di sikut oleh Hendery yang berdiri di sebelahnya.

“Masuk aja Sel, kapan lagi lu masuk ke apartemen mahal.”

“Haha, tuh kata temen kamu masuk aja.”

Prabu menatap Selene yang masih sibuk menatap sekeliling dengan kagum. Ia lalu tersenyum simpul saat menyadari sedari tadi mulut Selene terbuka karena masih terkesima.

“By the way, siapanya Selene?” Tanya Prabu ke Hendery.

Hendery langsung mengulurkan tangannya dengan senyum wibawa.

“Ich bin Hendeeerrrrry.”

Mendengar itu Selene langsung memukul punggung Hendery.

“Aheng ih malu-maluin.” Selene lalu menatap Prabu. “Ini Dery om, dulunya teman saya, tapi sekarang jadi saudara soalnya kakak dia nikah sama kakak saya.”

Prabu tersenyum lalu menyambut uluran tangan Hendery. “Saya Prabu.” Katanya singkat.

“Om siapanya Selene, deh?”

Prabu beralih menatap Selene yang sedari tadi hanya memerhatikan mereka berdua.

“Siapa ya, Sel?”

“Bukan siapa-siapa.” Selene lalu nengadahkan tangannya. “Mana card holder saya.”

“Oh iya, ini. Masih lengkap kok dalamnya.”

“Oke, makasih ya om maaf ngerepotin.”

“By the way om, tinggal sama siapa tuh disitu?” Hendery bertanya sambil menunjuk bangunan di hadapannya.

“Sendiri sih saya.”

“Gak ada yang nemenin?” Tanya Selene.

“Gak ada, paling asisten rumah tangga datang seminggu sekali. Asisten pribadi saya datang dua hari sekali. Selain mereka ya gak ada.”

“Keluarga om?”

“Mama papa saya ada di Bali.”

“Saudara?”

“Gak punya, saya anak tunggal. Mama papa saya juga anak tunggal. Jadi saudara jauh pun kayaknya gak ada deh.”

Hendery lalu berbisik ke Selene. “Ini mah beneran anak tunggal kaya raya.”

“Dery, saya masih bisa denger loh.” Kata Prabu lalu terkekeh kecil.

“Sengaja om, saya kan berbicara fakta aja.”

Selene lalu mendekat kearah Prabu.

“Om, kalau bosen atau perlu temen ngobrol chat saya aja gapapa. Saya balas kalau mau, tapi kalau ga saya balas berarti saya malas.”

Prabu tertawa lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Gak papa? Katanya saya berisik, nanti ganggu kamu.”

“Just in case.”

“Okay.” Prabu tersenyum simpul. “Saya boleh chat kamu kapanpun dalam konteks apapun kan? Walau gak penting?”

“Boleh deh.”

“Kenapa tiba-tiba nawarin begitu, Selene?”

“Gak tau, saya ngerasa aja kalau jadi om pasti sepi banget gak punya siapa-siapa.”

“I have a lot friends.”

“Halah teman om pasti sama kakunya sama om.”

Prabu hanya tertawa. Sedangkan Hendery hanya memerhatikan keduanya dengan senyum yang menyebalkan.

“Makasih ya, Selene.”

“Hah? Kok makasih?”

“Iya, kamu barusan peduli sama saya.”

“Idih enggak.”

“Iya, itu peduli.”

“Enggak, om.” Selene berdecak sebal. “Yaudah ah saya mau pulang. Ayo, Heng.”

“Hati-hati, Selene. Nanti kalau udah sampe kabarin saya ya.”

Selene berbalik untuk menatap Prabu dengan sengit. “Dih ngapain banget?”

“Masa yang bisa chat kapanpun cuma saya. Kamu juga bisa, dong.”

“Dih saya gak mau.”

“Mau lah. Biar simbiosis mutualisme.”

“Serah deh.”

Selene dan Hendery lalu pergi meninggalkan Prabu yang masih berdiri di pekarangan Keraton Residence.

Di sepanjang jalan Hendery masih tersenyum, saat lampu merah ia lalu menatap Selene yang sibuk dengan handphonenya.

“Cieee, acikiwir aweuaweu.”

22.44

Jadi hari ini Rawindra sekeluarga beserta para ceweknya dan teman band Malvin ke Malioboro.

Malvin gak ngerti ini papa gimana caranya bisa nyiapin segala peralatan buat ngamen dengan lengkap.

Begitu selesai ngamen mereka semua langsung pulang. Sebenarnya papa ke Malioboro juga buat ini doang, pengen pamer ke teman-temannya yang ada di Kalimantan.

Begitu sampe di villa, Rawindra sekeluarga masih ngumpul di ruang keluarga.

Kalau yang lain ada di rumah yang lain.

Jadi villa ini tuh punya temen si papa. Villa nya gede banget. Ada tiga rumah.

Rumah utama, di tempatin sama Rawindra sekeluarga. Jalan dikit sekitar dua meter ada rumah kedua yang di tempatin sama cewek-cewek yang di bawa pejantan Rawindra.

Sedangkan teman band Malvin ada di rumah bagian belakang yang sedikit lebih kecil. Mungkin hanya bisa nampung 5-6 orang.

Ruang keluarga rumah utama sekarang lagi nonton Mata Najwa sambil nyemil bakpia yang di beli mama tadi.

“Jun, diem napa kaki lu.” Damar menendang kaki Arjuna yang sedari tadi bergoyang.

Yang ditendang kakinya malah makin nambah goyangnya kayak cacing kepanasan sampe badannya juga ikut goyang.

“Sok, Bastian katanya mau ngomong. Hayu atuh ganteng.” Kata si mama yang baru saja ingat kalau Bastian mau membicarakan sesuatu yang penting.

Begitu dengar mama ngomong begitu, Malvin selaku yang memegang remote tv langsung mengecilkan volume tv agar tidak menggangu pembicaraan mereka.

Brisia yang tadinya pakai earphone juga langsung melepasnya. Begitu juga Jevian dan Jovian yang tadinya lagi mabar langsung mematikan handphonenya.

Bastian langsung menegakkan badannya lalu menatap papa nya. Papa hanya mengangguk singkat untuk mempersilahkan Bastian berbicara.

“Aku mau nikah.” Kata Bastian seketika membuat ruangan yang tadinya sepi senyap menjadi ramai.

“Sudah kuduga sih.” Kata Damar sambil mengusap dagunya.

“Ihiyyy, kakak ku sold out satu.” Kata Brisia.

“Mantab, aku bangga padamu kakak.” Ini kata Malvin.

“Suit suit, cieee ngihaaa mbeee oink oink meowww.” Kalau yang ini harus di sebut gak? Ini Arjuna.

“Lu tuh kenapa si, Jun.” Jevian yang geram langsung memukul punggung Arjuna.

Bastian berdehem membuat para adiknya langsung terdiam.

“Mungkin tahun depan atau bahkan bisa lebih cepat. Kakak minta doanya, semoga aja di perlancar.”

Jovian yang sedari tadi berdiam akhirnya pun angkat bicara. “Orang tua Aletta udah tau?”

“Udah. Mama papa pulang dari sini rencananya mau nyamper orang tua Aletta. Kalau kalian lowong juga bisa ikut.” Jawab Bastian yang langsung diangguki oleh para adiknya kecuali Jovian.

“Gak ada yang keberatan ya?” Tanya papa. “Sisi gimana? Gak papa kan?” Papa beralih ke Brisia yang sedari tadi tersenyum menatap Bastian.

“Loh kenapa nanya gitu ke aku? Ya gak papa lah. Aku udah deket sama kak Tata juga, keluarganya juga baik. Mama juga akur sama kak Tata. Jadi ya kenapa enggak kan, kak?”

Bastian hanya tersenyum lega sembari mengelus rambut adik perempuan satu-satunya itu.

“Nah sekarang papa yang mau ngomong.” Papa berdehem. “Jovian, mau sampe kapan marah sama papanya?”

“Hii, takut.” Mama terkikik geli begitu melihat wajah Jovian dan papa yang tegang.

Damar menoel lengan mamanya. “Mama nih, lagi serius juga.”

Mama hanya menyengir lalu menyandarkan tubuhnya pada Jevian yang berada di sebelahnya.

“Papa minta maaf. Lima tahun yang lalu papa belum minta maaf kan sama kamu. Jadi sekarang papa minta maaf. Papa sebenarnya gak sampai hati berantem sama kamu selama ini. Cuma papa tau kamu Jo, kamu gak bakal berhenti kalau gak papa tegasin.”

Jovian menghela nafas membuat Brisia yang duduk di sebelahnya mengusap lengan sang kakak.

Semua orang tau kalau papa dan Jovian dari dulu selalu berantem. Tapi gak ada yang menyangka kalau yang kali ini akan memakan lima tahun lamanya.

Semua ini gara-gara Jovian yang dulu jadi disc jockey waktu Jovian masih semester 5 sampai-sampai IPK Jovian turun karena sibuk menerima job sana-sini.

Kabar IPK Jovian yang turun terdengar sampai ke telinga papa, sampai papa akhirnya menyusul Jovian yang berada di Jakarta.

Malam itu mereka berdebat sampai akhirnya papa menitah Bastian yang ikut bersama beliau untuk memberhentikan segala bentuk materi untuk Jovian.

Jadi selama lima tahun Jovian sama sekali gak menerima duit dari papa. Sepersen pun, walau duit kuliah masih di bayar papa karena beliau masih ingat dengan tanggung jawabnya.

Jadi selama lima tahun Jovian sudah mengerjakan berbagai macam pekerjaan demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari yang jadi waiterss sampai kerja di pencucian mobil.

Soalnya para adiknya juga dilarang papa untuk memberikan uang pada Jovian. Walau kadang Brisia suka memberi uang ke Jovian secara diam-diam karena kasian sama si Kakak.

“Aku udah maafin papa dari lama. Lagian itu juga salah aku, bukan salah papa.” Jawab Jovian.

Papa tersenyum lega lalu menarik anak laki-lakinya tersebut kedalam pelukannya. Lima tahun, udah lama banget gak peluk Jovian. Papa sampai pengen nangis.

Dan hari ini juga, Jovian gak akan menyangka kalau papa akan lebih dulu meminta maaf dan memeluk Jovian. Dan yang paling bikin Jovian tidak menyangka kalau papa memberi dia buku tabungan yang berisi uang yang tidak papa berikan selama ini ke Jovian.

“Pake ya Jo, buat apa aja. Buat kamu seneng-seneng juga gak papa. Itung-itung ini buat nebus kesalahan papa.” Kata papa lalu menepuk pundak anaknya bangga.

Selama ini papa tahu apa saja yang dialami Jovian. Maka dari itu, papa percaya kalau anak laki-lakinya yang satu ini tidak akan mengecewakan dirinya.

Tanpa disadari ada satu barisan di belakang Jovian yang berisi Jevian, Damar, Arjuna, Brisia, dan Malvin yang mengadahkan tangannya. Ingin juga mendapat uang seperti Jovian.

“Tenang udah papa transfer ke rekening masing-masing.”

Yang lain langsung bersorak membuat mama, Jovian dan Bastian tertawa.

“Tapi papa nya di cium dulu dong.”

Kali ini mereka langsung menuruti permintaan papa tanpa harus di paksa.

Union

Hari ini seperti yang di janjikan oleh Prabu, Selene ke Union jam tiga sore.

Selene sampai bela-belain dressed up karena ketemunya di Union.

Selene langsung saja menyebutkan nama Prabu ketika ada waiters yang mendatanginya. Waiters itu langsung menggiring Selene ke tempat Prabu duduk.

“Siang, Selene.” Kata Prabu begitu melihat Selene.

Anjir, kayak ketemu sama pejabat aja gua. Batin Selene.

Selene lalu memberikan jas milik Prabu yang telah ia laundry. Prabu langsung menerima jas yang berada di dalam paper bag.

“Thank you, Selene. And this is your bag, ya. Untuk gantiin tote bag kamu yang ketumpahan kopi saya juga.”

Selene melotot begitu melihat nama yang tertera di paper bag yang Prabu berikan.

“Om, ini serius? Gila aja tote bag dua puluh ribu saya di ganti pake tas Guess?”

Mata Selene masih melotot saat Prabu malah terkekeh kecil.

“Well, it's my treat then.”

Selene menghela nafas, tetapi ia meraih paper bag tersebut dengan senyuman di wajahnya. Yakali gak di ambil, mubazir banget, begitu batinnya.

“Kamu mau pesan apa? Saya udah pesan duluan tadi kebetulan.” Kata Prabu sambil menyodorkan menunya.

“Red velvet cake boleh gak sih, om?”

“Sure.”

Prabu memanggil waiterss dan menyebutkan pesanan milik Selene.

“Jangan panggil saya om, by the way. Saya gak setua itu.” Prabu angkat bicara begitu waiterss tersebut pergi.

“Sorry sebelumnya, emang om umur berapa dah?”

“Twenty eight. Not that old, kan?”

“Still, age gap kita jauh banget om. Gak sopan, ntar.” Jawab Selene tidak setuju.

Waiterss yang datang membuat obrolan mereka terpotong. Begitu waiterss tersebut pergi setelah mengantar pesanan, Prabu memberikan tisu serta garpu dan pisau kepada Selene.

“Here,” katanya. “Emang kamu umur berapa?”

“Masih dua puluh satu.”

Prabu hanya mengangguk sambil memakan pasta miliknya. Hari ini dia belum ada makan siang, makanya sedari tadi perutnya sudah keroncongan.

“Tapi muka om tuh agak familiar tau.” Kata Selene sambil menatap wajah Prabu lamat.

“Oh ya? Mungkin kamu pernah liat saya di tinder. Banyak faker yang pakai foto saya soalnya.”

“Dih? Saya aja gak main tinder.”

Prabu mengelap mulutnya dengan tisu lalu meraih minum miliknya sebelum menjawab Selene.

“Oh, nevermind. Kamu kuliah berarti. I guess, UI?”

“Yoi,” Selene menaik turunkan alisnya sambil tersenyum bangga. “Keliatan gak sih saya tuh anak UI?”

“Bukan anak mama papa kamu?”

“Jayus banget dah.” Selene berdecih lalu lanjut memakan red velvet miliknya.

“Jurusan apa? Saya S2 juga di UI dulu.”

“Too much information, please.” Selene menginstrupsi perkataan Prabu.

Masalahnya mereka nih baru kenal, takutnya nanti Prabu malah orang jahat.

Prabu mengangkat bahunya. “Okay,” katanya santai.

“Tapi om tuh S2 di UI emang prodi apa?”

“Katanya too much information? Gimana sih?” Prabu giggling.

“Oh iya.” Selene nyengir lalu kembali memakan red velvet cakenya. “Ini bill nya sendiri-sendiri kan?”

“My treat.”

“Your treat mulu. Ntar minta balas budi pusing gua.”

Prabu tertawa. Sore ini kayaknya Prabu banyak tertawa karena Selene. Padahal tadi dia merasa capek banget.

“Kalau merasa hutang budi ya traktir balik aja, Selene. You have my number, bisa hubungi langsung.”

“Ih serius ini?”

Prabu menggeleng pelan. “Enggak kok.”

Keduanya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Prabu angkat bicara.

“Saya boleh follow twitter kamu gak? Lucu banget soalnya kalau nge-tweet.”

“Hah? Jangan lah.”

Prabu tertawa, ia lalu merogoh jasnya dan mengeluarkan handphonenya lalu ia perlihatkan layar handphonenya yang menyala pada Selene.

“Udah saya follow sih sebenarnya.”

“Ih, jangan lah om. Unfollow aja.”

“Suka-suka saya dong.” Kata Prabu segera menjauhkan handphonenya begitu Selene mencoba merebut.

“Gak bakal saya followback.”

“Ya gak papa, saya cuma mau liat tweet kamu aja.”

“Ga jelas.”

“Iya, saya juga heran sendiri ini saya kenapa, ya?”

Sabang, 19:30

Jeirandi gak bisa berhenti nyengir daritadi. Soalnya ya, gak tau kenapa Jeran jadi geer sendiri karena Athena dandan proper. Padahal emang Athena lagi pengen aja.

“Sebelah sini, Na.” Jeran narik tangan Athena untuk beralih jalan di sisi kiri Jeran agar tidak kena kendaraan yang lalu-lalang.

“Bisa makan ceker kan?” Tanya Jeran, tangannya masih bertengger di bahu Athena.

“Ribet sih kayaknya, ada yang lain gak selain ceker?”

Athena menurunkan tangan Jeran dari bahunya, yang mana membuat cowok itu menghela nafas.

“Ada, tapi di sini yang the best tuh ceker.”

“Gak bisa gua, Je. Yang lain ada apa aja emang?”

“Ada babat, kikil, daging sapi, ayam.” Jelas Jeran sambil menarik Athena memasuki salah satu stan yang cukup ramai bertuliskan 'Soto Ceker Pak Gendut.'

“Udah nyium ga? Bau surga ini tuh, Na.” Jeran tertawa kecil lalu mendekat ke abang-abang yang lagi ngeracik soto.

“Oi bang, lama tak jumpa.” Jeran menoel bahu abang tersebut membuat beliau menolehkan kepalanya menatap Jeran.

“Widih Jeirandi, bareng siapa tuh?” Si abang bertanya begitu melihat Athena yang berdiri di belakang Jeran kikuk.

“Temen.” Jawab Jeran sambil merangkul Athena. “Gua biasa ya, lu apa Na?” Jeran beralih menatap Athena yang sedang meneliti menu yang tertera.

“Babat sama kikil tuh sama gak sih?”

“Beda atuh neng, babat mah babat, kikil mah kikil.” Jawab si abang sambil terkikik.

“Sungguh jawaban yang membantu.” Jeran kembali beralih ke Athena. “Mau ayam aja ga? Atau sapi? Trial dulu jangan langsung yang hardcore.”

Athena tertawa lalu memukul lengan Jeran pelan. “Ayam deh boleh.”

“Yaudah sana duduk, gua mau bantuin si abang dulu.” Jeran menggerakkan dagunya menyuruh Athena untuk duduk duluan.

Athena kira Jeran bercanda waktu bilang mau bantu abangnya, tapi ternyata dia serius. Jeran sekarang lagi bikin minum terus mengantar pesanan minuman juga.

Jeran sempat menghapiri Athena untuk menanyakan Athena mau minum apa.

“Es jeruk aja.”

“Oke.”

Jeran tampak begitu akrab dengan pemilik kedai soto ini, mungkin benar-benar langganan disini.

Gak lama kemudian Jeran datang dengan es teh dan es jeruk di kedua tangannya. Ia mendudukkan dirinya di hadapan Athena.

“Akrab banget?”

Jeran mengambil dua sedotan yang masih terbungkus kertas lalu di bukanya dan di berikan kepada Athena salah satunya.

“Deket dong, langganan dari gua SMA.” jawab Jeran sambil mengelap meja dengan tisu.

“Mau kerupuk gak?” Tawar Jeran.

“Enggak, udah Je duduk aja. Gak usah sibuk sendiri.” Jawab Athena. Soalnya daritadi Jeran tuh gak bisa diam.

Jeran nyengir lalu menjawab, “kalau mau apa-apa bilang aja.”

Athena hanya mengangguk sebagai jawaban. Tidak lama kemudian makanan mereka datang. Jeran dengan soto cekernya dan Athena dengan soto ayamnya.

“Sebenernya enak pakai lontong, Na. Cuma kalau jam segini tuh pasti udah abis.” Kata Jeran sambil meracik sotonya.

“Rame banget ya berarti.”

Jeran mengangguk singkat, tangannya lalu terulur kearah Athena.

“Nih,”

“Apa?”

“Iket rambut. Gak bawa kan?”

Athena tertawa lalu mengambil ikat rambut yang Jeran berikan.

“Kok tau?”

Jeran hanya mengangkat bahunya. “Tau aja.”

Mereka berdua lalu sibuk dengan makanan masing-masing. Jeran soalnya bukan tipe orang yang bisa diajak ngobrol waktu lagi makan, soalnya dia tuh tipe yang menikmati makanan banget.

Athena sampe amaze sendiri waktu liat Jeran seru banget makan cekernya.

“Mwawu, Nwa? Enwak lwoh.”

Tawa Athena pecah saat melihat Jeran berbicara dengan mulut yang penuh.

“Telen dulu, Je.”

Jeran mengangguk lalu berusaha menelan makanan yang memenuhi mulutnya. “Enak kan, Na?”

“Enak kok.”

“Disini ada juga sate enak. Mau gak abis ini?”

“Je, ini aja belum habis tau.”

“Di bungkus, Na. Buat dikos. Mau ya?”

“Gak ah, takut gak kemakan.”

Jeran menyedot es teh nya sebelum menjawab Athena. “Nyemil aja kalau gitu, ya?”

“Liat ntar.”

Jeran hanya bisa mengalah. Mereka lalu sibuk lagi dengan makanan masing-masing.

Sampai 15 menit kemudian barulah mereka selesai makan.

“Begah banget asli.” Kata Jeran sambil menepuk pelan perutnya.

“Yaiyalah, kan tadi nambah.” Sahut Athena yang sibuk menyeka keringatnya.

Malam ini rasanya pengap banget. Ditambah tempat makannya cukup ramai.

“Iya, tau gitu tadi gak usah pakai nasi ya. Tapi enak banget, emang gua gak cukup satu mangkok kalau makan disini.”

Athena hanya tertawa. Tidak lama kemudian handphone Athena berbunyi.

Jeran heran saat melihat Athena yang tiba-tiba menegang.

“Bentar ya, Yudhis nelpon.”

Pantesan aja, batin Jeran.

Jeran hanya bisa mengangguk singkat membiarkan Athena berjalan menjauh untuk mengangkat telepon dari Yudhis.

Sambil menunggu Athena berbicara dengan Yudhis di telepon, Jeran mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi Joshua.

Gimana, Jo? Nongkrong sama lu dia?

Begitu pesan yang Jeran kirimkan ke Joshua.

Jevian Rawindra

Jevian Rawindra, biasanya di panggil Jev, Njep, bang Jevian atau Jeje kalau udah deket sama dia dari orok.

Yang ini anak ke empat mama papa Rawindra.

Si troublemaker, si tukang habisin duit papa.

Jevian ini tipe anak yang kalau gak di kerasin bakal seenaknya sendiri. Tapi karena udah dewasa sekarang udah tahu batasan.

Kerjaan Jevian kalau gak flexing duit papa, ya nongkrong, clubbing, atau ngewine di kamar.

Jevian ini adalah salah satu pengeruk harta papa Rawindra. Bener-bener bangkrut kalau nurutin kemauan dia.

Jevian lahir di Balikpapan, di rumah sakit Pertamina waktu hari valentine. Waktu Jevian lahir mama papa lumayan panik soalnya dia gak nangis selama 5 menit.

Jevian suka gambar, tapi dia gak mau kalau di suruh sekolah seni. Padahal lukisan dia bagus-bagus.

Selain suka gambar Jevian juga suka koleksi vinyl baru-baru ini. Cuma karena di Jakarta agak susah, jadi koleksinya baru dikit karena harus shipping dari luar negeri.

Jevian juga suka wine, suka banget. Sampe-sampe walk-in-closet di kamar Jevian di alih fungsikan sebagai wine cellar karena emang koleksi wine dia lumayan banyak.

Kalau kalian lihat playlist spotify Jevian pasti kalian bakal tahu kalau Jevian ini tipe cowok yang hopeless romantic.

Jevian tipe yang all out kalau udah pacaran sama orang yang tepat.

Oh iya, kalau bahas hubungan percintaan kayaknya Jevian sering di kira 'jago' dalam pacaran. Padahal aslinya dia jarang punya pacar yang sampai serius banget. (Kalau gebetan yang buat haha hihi sih banyak.)

Jevian juga percaya kalau love has no gender. Bahkan kalau suatu saat nanti Jevian end up suka sama cowok, dirinya sendiri juga gak bakal kaget.

Soalnya first kiss Jevian sendiri juga cowok. Adek tingkat dia lebih tepatnya.

Bisa ciuman karena kebawa suasana aja, Jevian found out that he was cute that night. (Mereka berdua lagi mabuk tapi Jevian sadar sama perbuatannya.)

Jevian juga pernah pacaran sama selebgram selama sebulan tapi berakhir putus soalnya katanya Jevian ceweknya freak. Masa Jevian liat cewek joget di tiktok aja gak boleh.

Jevian suka banget dengerin lagu-lagunya cigarettes after sex, katanya suit on me aja gitu.

Jevian lulus S1 tepat waktu (harus) dengan prodi arsitektur. Kenapa papa milih arsitektur buat Jevian? Kata papa biar bakat dia gak sia-sia.

Padahal sebenarnya Jevian pengen banget masuk teknik sipil. Tapi yaa bisa keturutan di S2.

Sekarang ini Jevian lagi sibuk nyusun tesis. Kalau lulus kayaknya dia bakal coba cari kerja di daerah Jakarta dulu. Kalau setahun masih belum kerja baru Jevian balik ke Kalimantan.

Baru-baru ini Jevian lagi deket sama Adara Andromeda, anak Hukum yang sering naik gunung sama mas Damar.

Pengennya sih pacaran, cuma abang nya Adara galak banget. Cuma ya tetap aja Jevian harus maju tak gentar.

Kita doakan aja ya semoga lancar, walau pasti gak bakal lancar soalnya Tuhan nya aja udah beda.

Tapi gak ada yang gak mungkin, kan?

Jevian Rawindra

Jevian Rawindra, biasanya di panggil Jev, Njep, bang Jevian atau Jeje kalau udah deket sama dia dari orok.

Yang ini anak ke empat mama papa Rawindra.

Si troublemaker, si tukang habisin duit papa.

Jevian ini tipe anak yang kalau gak di kerasin bakal seenaknya sendiri. Tapi karena udah dewasa sekarang udah tahu batasan.

Kerjaan Jevian kalau gak flexing duit papa, ya nongkrong, clubbing, atau ngewine di kamar.

Jevian ini adalah salah satu pengeruk harta papa Rawindra. Bener-bener bangkrut kalau nurutin kemauan dia.

Jevian lahir di Balikpapan, di rumah sakit Pertamina waktu hari valentine. Waktu Jevian lahir mama papa lumayan panik soalnya dia gak nangis selama 5 menit.

Jevian suka gambar, tapi dia gak mau kalau di suruh sekolah seni. Padahal lukisan dia bagus-bagus.

Selain suka gambar Jevian juga suka koleksi vinyl baru-baru ini. Cuma karena di Jakarta agak susah, jadi koleksinya baru dikit karena harus shipping dari luar negeri.

Jevian juga suka wine, suka banget. Sampe-sampe walk-in-closet di kamar Jevian di alih fungsikan sebagai wine cellar karena emang koleksi wine dia lumayan banyak.

Kalau kalian lihat playlist spotify Jevian pasti kalian bakal tahu kalau Jevian ini tipe cowok yang hopeless romantic.

Jevian tipe yang all out kalau udah pacaran sama orang yang tepat.

Oh iya, kalau bahas hubungan percintaan kayaknya Jevian sering di kira 'jago' dalam pacaran. Padahal aslinya dia jarang punya pacar yang sampai serius banget. (Kalau gebetan yang buat haha hihi sih banyak.)

Jevian juga percaya kalau love has no gender. Bahkan kalau suatu saat nanti Jevian end up suka sama cowok, dirinya sendiri juga gak bakal kaget.

Soalnya first kiss Jevian sendiri juga cowok. Adek tingkat dia lebih tepatnya.

Bisa ciuman karena kebawa suasana aja, Jevian found out that he was cute that night. (Mereka berdua lagi mabuk tapi Jevian sadar sama perbuatannya.)

Jevian juga pernah pacaran sama selebgram selama sebulan tapi berakhir putus soalnya katanya Jevian ceweknya freak. Masa Jevian liat cewek joget di tiktok aja gak boleh.

Jevian suka banget dengerin lagu-lagunya cigarettes after sex, katanya suit on me aja gitu.

Jevian lulus S1 tepat waktu (harus) dengan prodi arsitektur. Kenapa papa milih arsitektur buat Jevian? Kata papa biar bakat dia gak sia-sia.

Padahal sebenarnya Jevian pengen banget masuk teknik sipil. Tapi yaa bisa keturutan di S2.

Sekarang ini Jevian lagi sibuk nyusun tesis. Kalau lulus kayaknya dia bakal coba cari kerja di daerah Jakarta dulu. Kalau setahun masih belum kerja baru Jevian balik ke Kalimantan.

Baru-baru ini Jevian lagi deket sama Adara Andromeda, anak Hukum yang sering naik gunung sama mas Damar.

Pengennya sih pacaran, cuma abang nya Adara galak banget. Cuma ya tetap aja Jevian harus maju tak gentar.

Kita doakan aja ya semoga lancar, walau pasti gak bakal lancar soalnya Tuhan nya aja udah beda.

Tapi gak ada yang gak mungkin, kan?