radianteclipse

Truth Be Told

Sudah menghabiskan sekitar dua puluh menit untuk Giandra dan Kayana menjelaskan konsep seminar yang mereka adakan kepada mama Gathra

Sebenarnya tanpa di minta pun mama Gathra pun akan setuju jika Giandra yang memintanya untuk datang. Mama Gathra sedari dulu ingin sekali mencoba untuk menjadi lebih dekat dengan Giandra, ia mencoba segala hal, namun tetap saja Giandra masih memberi batas antara mereka.

“Kalau sekiranya Tante gak ada waktu, nanti aku coba sama yang lain buat cari pembicara lain.” kata Giandra lalu menutup laptopnya yang tadinya menampilkan garis besar acara.

“Bisa kok, Gian. Tante belakangan ini juga lagi agak lowong.” jawab mama Gathra dengan segera.

“Makasih ya Tante.” kata Kayana.

“Tadi tema nya penghukuman pada pelaku kekerasan anak dan perempuan ya?” tanya mama Gathra yang mengundang anggukan kepala dari Giandra dan Kayana.

“Nanti PPT nya bakal tante kirim ke Gian aja ya.”

Setelah itu mama Gathra pamit untuk ke kamarnya karena kebetulan ia juga baru pulang dari kantor saat Giandra dan Kayana sampai.

Gathra yang sedari tadi memerhatikan mereka dari ruang makan langsung berlari menghampiri saat keduanya tengah bersiap untuk pergi.

“Kay, tunggu dulu. Gue mau ngomong.”

Kayana dengan panik langsung berdiri di belakang Giandra yang sebelumnya lebih dulu berdiri. Giandra yang paham akan situasinya langsung memasang badan melindungi Kayana.

“Bang gue mau ngomong sama Kayana.” kata Gathra. “Please, talk to me.” sambung cowok itu sambil menatap Kayana yang bersembunyi di belakang badan Giandra.

Giandra sedikit menolehkan kepalanya menghadap Kayana. “Mau ngomong sama Gathra?”

Pertanyaan Giandra di jawabi oleh gelengan kepala oleh Kayana. Giandra kembali menatap Gathra, kali ini salah satu tangannya menggenggam tangan Kayana.

“Nanti aja, dia lagi gak mau ngomong sama lo.”

“Kay, please.” Gathra melangkah membuat Giandra dan Kayana otomatis mundur menjauh.

Giandra menahan Gathra dengan satu tangannya lagi. “Respect her, Gathra. Dia gak mau ngomong sama lo.”

“Bentar aja, bang.”

“Gathra.” suara Giandra kali ini terdengar lebih serius. “Don't act like an asshole. Respect her. Your mom is watching.” kata Giandra.

Mama Gathra yang sedari tadi berdiri di tangga karena mendengar suara ribut Gathra akhirnya mendekat pada anaknya.

“Gathra.” panggil mama nya. “Jangan di paksa kalau dia gak mau.”

“Tapi aku perlu-”

“Gathra Adrian, mama sudah cukup jelas ngedidik kamu untuk menghargai keputusan perempuan apapun itu bentuknya.” kata mama Gathra.

Gathra menghela nafas lalu menatap Kayana yang masih bersembunyi di balik badan Giandra.

“Oke, i'll talk to you then.” kata Gathra ke Giandra.

“I like her too, i know it's too late to say this. But i just want to let her know, that i like her too.”

Giandra menghela nafas. Kayana bisa merasakan genggaman tangan cowok itu menguat dari sebelumnya.

“Who's said that to you?” tanya Giandra.

“Gak perlu tau.”

“Siapa yang bilang, Gathra?”

“Fine. Grace told me. Gue juga gak tau dia tau hal ini dari siapa. Dia cuma bilang kayaknya Kayana suka sama gue.”

“Ian,” Giandra menoleh begitu mendengar suara lirih Kayana memanggil namanya. “Bisa pergi sekarang gak?”

“Oke,” Giandra lalu kembali menatap Gathra. “Gak usah maksa Kayana ngomong sama lo kecuali dia memang mau. I warn you.”

“Aku balik dulu, Tante.” kata Giandra berpamitan pada mama Gathra sebelum pergi.

Keduanya lalu pergi meninggalkan kediaman Giandra. Gathra hanya bisa menatap punggung Kayana yang di rangkul oleh Giandra.

Sejak kapan mereka berdua sedekat itu, pikir Gathra.

Di dalam mobil perjalanan ke rumah Kayana, keduanya hanya terdiam. Hanya ada lagu milik Jeff Bernat yang mengalun merdu di mobil Giandra. Kayana sendiri tidak tahu harus bagaimana setelah mendengar perkataan Gathra. Ia merasa bersalah pada Giandra karena menuduh cowok itu.

Kayana lalu melirik Giandra saat mobil cowok itu memasuki pagar perumahan tempat Kayana tinggal.

“Di block aja kalau gak mau di ganggu.”

“Hah?”

Giandra melirik Kayana sekilas. “Gathra. Kalau gak mau di ganggu sama dia, block aja.” kata cowok itu.

Mobil Giandra lalu berhenti di halaman rumah Kayana. Cowok itu tidak mengatakan sepatah katapun saat Kayana mengucapkan terima kasih dan turun dari mobilnya.

Mobil Giandra tidak bergerak sampai Kayana masuk dalam rumah. Dan masih tidak bergerak saat cewek itu mengintip lewat jendela dan memutuskan untuk mengirim pesan singkat.

“Maaf, Ian.”

Who Are You When Nobody's Watching

Kayana sudah berdiri selama lima belas menit di depan unit apartemen Giandra. Cewek itu masih berusaha memencet bel tetapi Giandra tidak kunjung membukakan pintu.

Giandra memang memberikan kode unit apartemen nya, tetapi Kayana merasa tidak enak bila ia harus nyelonong masuk begitu saja.

Karena sudah terlalu lama dan khawatir jika sebenarnya terjadi apa-apa dengan Giandra di dalam, Kayana memutuskan untuk memasukkan kode yang di berikan Giandra.

“Permisi, gue udah mencet bel sampe mampus tapi gak lo bukain. Pokoknya gue gak lancang.” kata Kayana sambil memasukkan angka demi angka.

Kayana menghela nafas kasar begitu pintu bisa terbuka. Ia berjalan dengan perlahan sambil melihat ke sekitar.

Apartemen Giandra sangat gelap, penerangannya minim sekali, udaranya juga sangat menusuk kulit Kayana. Ada lagu dari Zayn Malik yang mengalun merdu dari pojok ruangan. Suaranya cukup samar dan tidak menggangu, malah mungkin cukup nyaman untuk membuat orang yang mendengar jadi jatuh tertidur.

Cewek itu lalu menemukan Giandra yang tertidur pulas terbungkus oleh selimut. Melihat itu Kayana hanya bisa menghela nafas lalu beralih menuju dapur. Ia menyalakan lampu dapur sebagai penerangan.

Karena lampu dapur menyala, Kayana jadi bisa melihat lebih jelas apartemen Giandra. Apartemen cowok itu di dominasi oleh warna hitam dan abu-abu. Ada kasur yang Giandra tiduri di pojok ruangan, tidak ada sofa sama sekali di apartemen ini membuat ruangan menjadi lebih luas. Hanya ada karpet bulu di tengah ruangan dan meja berkaki pendek.

Kayana menggeleng pelan lalu memanaskan bubur yang ia beli di microwave. Begitu selesai cewek itu lalu menaruh bubur tersebut di meja dan melangkah mendekat pada Giandra.

“Bangun,” Kayana menepuk lengan Giandra pelan. “Makan dulu bentar.”

Dapat Kayana rasakan kalau tubuh Giandra memang panas. Ia jadi merasa bersalah.

Cowok itu lantas mengernyit saat Kayana menyalakan lampu yang membuat ruangan menjadi lebih terang. Butuh waktu lima menit untuk Giandra akhirnya bangun dan duduk di meja kecil di ruang tengah.

“Dari tadi?” tanya Giandra.

Kayana hanya mengangguk. Cewek itu masih duduk di sisi kanan tempat tidur Giandra sementara Giandra sedang memakan buburnya.

“Apartemen lo kosong banget.” kata Kayana dengan mata yang menjelajah isi apartemen Giandra.

Giandra menelan bubur yang ia makan. “Iya, gak suka banyak furniture. Bikin sumpek, lagian gue juga tinggal sendiri.” jawab Giandra.

Giandra tidak banyak berbicara sedari tadi, ia hanya diam dan menikmati bubur yang di bawakan oleh Kayana. Setelah makan cowok itu lalu meminum obat yang sebelumnya sudah Kayana siapkan.

Giandra sebenarnya tidak menyangka Kayana akan benar-benar datang ke apartemennya, di lihat dari bagaimana kepribadian cewek itu. Tetapi melihat Kayana yang sekarang tengah duduk di tepi kasurnya, Giandra jadi tersenyum.

“Dih? Lo kenapa?” tanya Kayana saat menyadari Giandra tersenyum saat menatap cewek itu.

Giandra hanya menggeleng, cowok itu lantas bangkit dan menaruh piring dan gelas kotor di tempat pencucian piring.

Giandra kembali menghampiri Kayana dengan segelas jus jeruk di tangannya. Ia lalu memberikannya kepada cewek itu dan langsung Kayana terima.

“Gue baru tau kalau lo ternyata abang nya Gathra.” kata Kayana membuka percakapan.

Giandra ikut bergabung duduk di samping Kayana, cowok itu memakai jaket yang tergeletak di kasurnya.

“Gue juga baru tau kalau ternyata gue punya adek Gathra.”

Perkataan Giandra mengundang tanda tanya di kepala Kayana. Cewek itu lalu menoleh untuk menatap Giandra yang hanya menatap dengan pandangan mengawang kearah jendela.

“Gue baru tau waktu lulus SMA kalau ternyata Gathra adek gue.”

Saat Giandra mulai bercerita, lagu dari turntable berganti menjadi It's You milik Zayn Malik. Ini adalah salah satu dari sekian banyak lagu favorit yang selalu Giandra putar.

“Jadi mama lo?”

“Gak sempet tau. Karena gue tau nya pun seminggu setelah mama gue meninggal.” jawab Giandra.

Kala itu Giandra merasa dunia sangat tidak adil baginya. Di saat ia kehilangan orang yang sangat ia sayangi, ia harus di hadapkan oleh kenyataan bahwa ternyata papa nya memiliki istri selain mama nya dan anak selain dirinya. Awalnya Giandra sempat tidak terima dan berontak, tetapi papa nya tidak memberi respon apapun yang mana membuat Giandra akhirnya capek sendiri.

“Lo apa kabar?” tanya Giandra menatap Kayana dengan lekat.

“Gini-gini aja.” jawab Kayana.

Giandra mengenal Kayana jauh sebelum Gathra mengenal Kayana. Giandra dan Kayana dahulu sekolah di SMA yang sama, yang mana Kayana adalah adik kelas dari Giandra. Ada beberapa peristiwa yang membuat mereka dekat sampai harus kembali berjauhan seperti orang asing.

Tetapi Kayana maupun Giandra sama-sama tidak mau mengingat apapun itu soal masa lalu yang mereka lalui. Mereka pun sudah sepakat untuk bersikap tidak saling mengenal satu sama lain di luar. Tetapi sekarang, saat tidak ada orang lain mengawasi, hanya ada mereka, semua kesepakatan itu menjadi pengecualian.

“Mau liat mini library gue gak?” tanya Giandra karena menyadari jika hadir kecanggungan di antara mereka.

Giandra berdiri lalu mengajak Kayana dimana mini library itu berada ketika cewek itu mengangguk setuju. Giandra membuka kamarnya yang mana langsung muncul kucing peliharaan Giandra yang membuat Kayana menjerit kaget.

“Sorry,” Giandra meringis. “It's okay, dia jinak kok.” Giandra lalu menggendong kucingnya dan meletakkan kucing itu di couch yang berada di pojok ruangan.

Saat Kayana masuk, bau khas dari buku menguar. Di dalam kamar itu, hanya ada satu rak buku kecil yang mana tidak dapat menampung semua koleksi buku Giandra. Selebihnya buku-buku milik Giandra di biarkan tertata sedemikian rupa di lantai. Di kamar itu juga ada sofa dan beberapa canvas serta peralatan menggambar lainnya. Di pojok ruangan juga ada kulkas mini yang bisa Kayana tebak berisi soft drink. Ada juga lemari transparan yang berisi pakaian milik Giandra

“Sorry berantakan.” kata Giandra lalu membereskan beberapa buku yang berserak.

“Kenapa gak pakai rak?”

“Males beli dan ngerakitnya. Jadi gitu aja deh, lagian gue bukan tipe orang yang baca buku lebih dari sekali kayak lo.” jelas cowok itu.

Kayana lalu berdiri di salah satu lukisan abstrak dengan kata-kata yang bertuliskan 'who are you when nobody's watching' dari Stephen Fry.

Cewek itu cukup lama menatap lukisan tersebut sampai akhirnya Giandra menyodorkan salah satu buku yang ia punya. Kayana menerima buku yang Giandra berikan, itu adalah salah satu buku yang ingin Kayana baca.

“It ends with us?” tanya Kayana.

“Iya, baca deh. Bagus.”

Kayana hanya mengangguk. Ia lalu menatap punggung Giandra yang kini sibuk merapikan buku-buku yang masih berserak.

Giandra tampak berbeda hari ini. Entah karena ia sedang sakit atau memang ia seperti ini jika tidak banyak orang yang 'melihat' dirinya.

Giandra tampak lebih tenang dari biasanya. Tapi entah mengapa hal ini cukup membuat Kayana terganggu.

Under The Rain

Giandra membunyikan klakson mobilnya begitu ia melihat Kayana yang berdiri di selasar fakultas hukum. Cewek itu berjengkit kaget, tetapi saat Giandra menurunkan kaca mobilnya, ia malah melengos membuang muka.

“Masuk cepet, hujannya makin deres.” Teriak Giandra dari dalam mobil karena suaranya teredam oleh derasnya hujan.

Giandra keluar dari mobil dan berlari menghampiri Kayana karena cewek itu tidak kunjung masuk. Begitu cowok itu berdiri di samping Kayana, ia mengeluarkan handphonennya lalu ia tunjukkan pada Kayana.

Kayana membaca layar handphone yang menampilkan chat Giandra dengan papa nya, yang mana isi percakapan itu adalah ternyata Gathra sudah berada di rumah dari lima belas menit yang lalu. Kayana menghela nafas, cewek itu lalu melangkah tetapi langsung ditahan oleh Giandra.

“Mau pulang naik apa? Hujan, Kay.” kata Giandra.

Memang sedari tadi siang langit sangat gelap dan saat sore hari hujan turun dengan derasnya, bahkan di ikuti oleh beberapa petir.

“Naik gocar.”

“Sama gua aja.”

“Gua mau pulang ke Senayan.”

“Yaudah, gue juga mau balik ke rumah Senayan. Searah kan?”

Kayana menghela nafas, cewek itu akhirnya mengalah dan masuk kedalam mobil Giandra. Lagipula mungkin akan susah untuk mendapatkan gocar di jam segini apalagi cuacanya sedang tidak baik. Jadi bersama Giandra mungkin ide yang bagus, atau mungkin juga tidak.

Giandra lantas mengecilkan AC mobil saat dilihat Kaya mengeratkan jaketnya.

Bau mobil Giandra sedikit berbeda dengan Gathra. Mobil Gathra di dominasi oleh bau kopi karena pewangi yang cowok itu gunakan. Sedangkan bau mobil Giandra di dominasi oleh bau tembakau serta parfum yang mungkin cowok itu pakai. Mobil Giandra rapi, tidak seperti Gathra yang mobilnya berantakan di bagian kursi penumpang.

Kayana terkekeh saat mendengar musik yang Giandra putar.

“Jangan hina selera musik gue.” kata Giandra saat cowok itu menyadari bahwa Kayana tertawa.

“Gue gak bilang apa-apa dari tadi?”

“Lo ketawa barusan.”

Musik yang Giandra putar adalah How Deep is Your Love milik Bee Gees. Cowok itu memang menyukai musik-musik yang sudah berumur.

“Gathra jangan di andelin.” kata Giandra membuat Kayana yang sedari tadi menatap kearah luar jendela mobil berganti menatap cowok itu heran.

Hari ini Giandra menggunakan hoodie yang juga di lapisi oleh jaket denim. Mungkin karena sudah tahu bahwa akan turun hujan, cowok itu jadi memakai baju berlapis. Tetapi anehnya cowok itu memakai celana pendek yang hanya sepanjang lutut saja.

“Di bukan orang yang bisa lo jadiin one call away saat lo butuh.” sambung cowok itu.

“Bukan urusan lo.” kata Kayana.

Giandra tidak menjawab apapun. Sampai saat mereka masuk ke jalan tol, tiba-tiba mobil terasa oleng yang mana membuat Giandra langsung menghentikan mobil tersebut sebelum terjadi kejadian yang tidak mengenakkan.

“Kenapa?” tanya Kayana dengan wajah khawatirnya.

“Lo gak papa?” Giandra malah balik bertanya. “Kayaknya ban nya bocor. Gue periksa dulu.”

Kayana baru saja ingin berbicara tetapi Giandra sudah langsung keluar dari mobil. Cowok itu memeriksa keempat ban mobilnya di bawah guyuran hujan yang deras. Mungkin ada setelah lima menit kemudian Giandra lalu mengetuk jendela mobil Kayana. Cewek itu lalu menurunkan jendela mobilnya setengah.

“Ban belakang bocor, Kay.” ujar Giandra sedikit berteriak. “Lo di mobil aja, gue mau ganti ban dulu. Jangan keluar ya, ujannya gede banget.”

“Lo gak ada payung?”

Giandra menggeleng pelan. “Gak ada, udah tunggu aja, bentar juga selesai.”

Lagi-lagi saat Kayana ingin berbicara, cowok itu sudah berjalan kearah belakang mobil dan membuka bagasi. Giandra lalu menurunkan ban cadangan yang selalu tersedia dan beberapa peralatan untuk mengganti ban.

Kayana hanya menatap lewat kaca spion dengan seksama, derasnya hujan membuat Giandra basah kuyup. Cowok itu sedikit kesusahan karena derasnya hujan yang menghalangi pandangannya. Kayana ingin turun tetapi ia mengurungkan niatnya, karena ia sendiri tidak bisa membantu apapun.

Setelah setengah jam Giandra berkutat dengan ban mobilnya, akhirnya cowok itu selesai. Kayana terkejut saat ia melihat Giandra membuka seluruh atasan yang ia kenakan dan hanya menyisakan celana pendek basah berwarna krem yang ia pakai.

Cowok itu lalu kembali duduk di kursi kemudi. Kayana hanya bisa membuang muka saat mendapati Giandra yang sekarang bertelanjang dada.

“Bisa minta tolong ambilin tas gue gak?” tanya Giandra.

Kayan berdehem sebelum menjawab. “Dimana?” Kayana balik bertanya tanpa menatap Giandra sama sekali.

“Tuh di bawah kaki lo.”

Kayana segera mengambil tas ransel hitam yang berada dekat dengan kakinya. Ia langsung memberikan tas itu kepada Giandra, tanpa menatap cowok itu sama sekali. Giandra terkekeh melihat tingkah Kayana.

“Udah.” ucap cowok itu.

“Apanya?”

“Gue udah pake baju.” Giandra terkekeh. “Gak usah salting begitu.”

Mendengar itu Kayana sedikit mencuri pandang untuk memastikan yang di katakan Giandra benar. Saat mengetahui ternyata benar Giandra sudah memakai kaos yang berwarna putih polos, Kayana menghela nafas lalu bersandar pada kursi penumpang.

“Lo ngapain sih hujan-hujanan gitu?” tanya Kayana sewot.

“Ya masa mau di biarin aja ban mobilnya bocor. Nanti kalau di paksa jalan terus di jalan kita kenapa-napa gimana?”

Kayana tidak menjawab, ia hanya membuang muka menatap kearah jendela.

Giandra lalu kembali menjalankan mobilnya, kali ini dengan kecepatan yang rendah karena hujan semakin deras dan jarak pandangnya semakin pendek.

Giandra melirik Kayana yang saat ini sedang melepaskan jaket yang ia kenakan dan hanya menyisakan sweater yang cewek itu pakai. Jaket tersebut cewek itu letakkan di pangkuannya, dapat di lihat Kayana juga beberapa kali mencuri pandang pada Giandra.

“Nih,” Kayana menyodorkan jaket miliknya. “Pakai, ntar masuk angin.”

Giandra menoleh sesaat untuk melihat ekspresi Kayana. Tetapi cewek itu hanya berekspresi datar dengan pandangan yang lurus kedepan.

“Perhatian amat.” Giandra mengambil jaket yang Kayana berikan. Kebetulan cowok itu juga merasa kedinginan.

“Gak usah geer. Kalau lo mati nanti ngerepotin banyak orang.”

Giandra tidak menjawab apapun, ia hanya tersenyum dan semakin memelankan mobil yang ia kendarai. Rasanya tidak ingin cepat sampai di tempat tujuan.

Stay Away

Giandra tersenyum simpul begitu netranya mendapati Kayana sedang berjalan sendirian kearahnya. Cewek itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedari tadi tatapannya jatuh kepada handphone yang berada di tangan cewek itu.

Dan benar saja, saat mendapati Giandra yang sedang makan siomay yang barusan ia beli, Kayana langsung balik badan memutar arah.

Giandra dengan sigap berdiri dan mengejar cewek itu. Begitu Giandra berhasil menyamakan langkahnya dengan Kayana, cowok itu tersenyum simpul.

“Gak jadi beli siomay nya?”

“Gak pengen beli siomay.”

“Terus sekarang mau kemana?”

“Apa deh? Kepo banget.”

Giandra terkekeh. Cowok itu berjalan cepat lalu dengan tangkas merentangkan tangannya di hadapan Kayana, menghadang cewek itu agar berhenti berjalan.

“Gue denger lo naksir sama adek gue.”

Kayana melotot begitu mendengar perkataan Giandra. Tahu darimana cowok itu kalau Kayana naksir dengan Gathra.

“Got you.” Giandra tersenyum menyebalkan. “Lo tuh kebaca banget, tau gak sih, Kay?”

Kayana mendengus sebal. Ia lalu memasukkan handphonenya kedalam saku celananya.

“Lo tuh siapa deh? Tiba-tiba sok tau soal gue begini.”

Giandra dengan santai memakan siomay miliknya. Mengunyah siomay tersebut sebelum menjawab pertanyaan Kayana.

“Giandra Edriel Sastragala. Kurang jelas apa lagi? Komdis lo waktu ospek kemaren. Gak usah pura-pura gak tau deh.”

Jawaban dari Giandra sangat tidak terduga. Kayana hanya bisa menatap cowok itu tidak percaya. Sumpah deh, kalau harus ada orang yang harus Kayana jauhi, pasti Giandra orangnya.

“Tuh liat tuh,” Giandra menunjuk satu titik membuat Kayana ikut memandang kearah yang Giandra tunjuk.

Ternyata yang Giandra maksud adalah Gathra yang sedang duduk berdua dengan Grace, teman sekelas Kayana.

“Tuh cowok yang lo taksir lagi haha hihi sama cewek lain.”

Kayana tidak menjawab. Ia lalu melewati Giandra begitu saja, namu Giandra tida tinggal diam. Cowok itu turut berjalan beriringan dengan Kayana. Masih dengan siomay di tangan dan di dalam mulutnya.

“Lo tuh sadar gak sih kalau lagi sama Gathra jadi kayak kucing yang habis di kasih whiskas?”

Kayana melirik sinis kearah Giandra. “Maksud lo apa ngomong begitu?”

“Keliatan banget naksirnya. Tanya aja sama satu kampus, sekali liat juga mereka bakal tau kalau lo naksir Gathra.” kata Giandra sedikit hiperbola.

Kayana berhenti berjalan. Cewek itu tiba-tiba berjongkok membuat Giandra sedikit panik dan langsung memegang lengan Kayana yang mana langsung di tepis oleh cewek itu.

“Kenapa? Lo sakit hati sampai mau pingsan?”

“Lebay banget.”

Giandra lalu memberikan air mineral yang memang selalu ia bawa di dalam tasnya. Tahu kalau cewek itu sedang merasa gerah dan kehausan, dilihat dari ekspresinya.

Karena air mineral yang ia ulurkan tidak kunjung di terima oleh Kayana, Giandra berdecak sebal.

“Yaelah, gak gue racunin.” kata Giandra.

Bukannya menerima, Kayana malah berdiri dan lanjut berjalan menjauhi Giandra.

“Jangan ikutin gue.” Kata Kayana saat mendapati Giandra ikut berjalan di sampingnya.

Cowok itu masih dengan santainya berjalan di sisi Kayana sambil mengunyah siomay.

“Gue bilang jangan ngikutin gue!” Kayana berseru geram.

“Gue gak ngikutin lo.” Giandra mengangkat bahunya. “Gua mau ke kelas.”

Dapat Giandra lihat kalau wajah Kayana bersemu merah. Cowok itu lantas terkekeh lalu jalan mendahului Kayana. Setelah beberapa langkah di depan Kayana cowok itu lantas berhenti dan membalikkan badannya.

“Jangan naksir Gathra.” kata Giandra lalu memasukkan kembali siomay kedalam mulutnya. “Mending sama gue.” kata cowok itu tersenyum simpul lalu kembali melangkahkan kakinya.

Kayana mendengus sebal. Giandra benar-benar jenis cowok yang harus Kayana hindari kalau ia menginginkan hidup yang damai.

Distraction

“Dingin?” tanya Aksa.

Brisia terkekeh lalu mengangguk seraya merapatkan jaket yang ia pakai. Padahal ia memakai hoodie di balik jaket yang ia kenakan sekarang.

Sekarang mereka tangah duduk di salah satu bangku di kios langganan Aksa. Cowok itu bilang kios ini adalah langganan Aksa karena menjual soerabi yang sangat enak. Brisia sudah mencoba dan cewek itu mengakui kalau apa yang di katakan Aksa benar, soerabinya enak.

“Sering kesini?” tanya Brisia. Mereka sudah cukup lama berdiam diri dengan pikiran masing-masing di kepala.

“Banget. Tapi biasanya sendiri atau engga sama bang Jevan.”

“Iya, bang Jevan cerita kalau lo pernah ngajak dia kesini.”

Aksa terkekeh lalu melirik Brisia yang terbatuk. Cowok itu lantas mengulurkan boto minum yang berisi teh hangat yang sedari tadi ia pegang.

“Makasih.” kata Brisia lantas langsung menegak teh hangat yang di berikan Aksa.

“Gue suka tempat ini. Di saat lagi waktunya sepi, disini selalu ramai.” kata Aksa membuat Brisia mengedarkan pandangannya.

Memang, untuk ukuran tempat umum, tempat ini sangat ramai. Apalagi mengingat sekarang masih jam tiga pagi.

“Kalau datang kesini bisa jadi distraksi waktu kepala lagi ribut.” Aksa menatap Brisia. “Jam segini, saat waktunya istirahat, kadang kepala malah bekerja maksimal.”

Brisia mengangguk. Cewek itu paham betul apa yang dimaksud Aksa. Karena saat sepi menyerang, terkadang hal-hal yang tidak terpikirkan malah memenuhi kepala.

“Gue sebenernya gak suka tempat ramai. Tapi kadang gue perlu berada di tempat ramai. Cuma buat distraksi.”

“Tapi selain sama abang biasanya kan lo datang sendiri?”

Aksa mengangguk. Cowok itu tidak pernah membawa teman-temannya yang lain ke Pasar Kue Subuh ini, kecuali Jevan. Untuk alasan tertentu, terkadang Aksa tidak begitu menunjukkan dirinya kepada teman-teman terdekatnya.

“Walau duduk sendiri, tapi liat orang lain lalu-lalang aja cukup jadi distraksi buat gue.”

Aksa menatap Brisia lalu tersenyum. “Jadi kalau kepala lo lagi berisik, bilang aja ke gue. Gua tau tempat-tempat yang bisa bikin lo lupa sama ribut yang ada di kepala lo.”

Protective

Setelah wawancara yang hanya memakan waktu selama dua puluh menit, Aksa, Brisia dan Jevan memutuskan untuk mencari makan malam di dekat kantor Jevan.

Awalnya Aksa ingin segera pamit, tetapi Jevan memaksa untuk makan malam bersama dahulu. Aksa juga tidak punya alasan yang cukup bagus untuk menolak. Jadilah ia bergabung dengan Brisia dan Jevan, makan pecel ayam yang katanya favorit Brisia.

“Lo balik ke Depok, Sa?” tanya Jevan.

“Enggak, bang. Kayaknya mau ke Bintaro.” Jawab Aksa, karena hari ini papa nya meminta ia untuk pulang.

“Masih sering bolak-balik Bintaro-Depok?”

Aksa menggeleng lalu terkekeh. “Sekarang bolak-baliknya Pondok Indah-Depok, bang.”

Brisia hanya menyimak obrolan mereka, tidak ada niatan untuk ikut masuk kedalam obrolan.

Cewek itu sebenarnya sedikit penasaran dengan Aksa. Aksa ini kepribadiannya terlihat sangat tertutup dan cukup terbuka secara bersamaan. Terkadang cowok itu selalu diam jika ditanya soal pribadinya, tetapi terkadang ia juga tidak segan-segan untuk bercerita soal pengalaman pribadinya yang menurut Brisia sangat menarik.

Beberapa kali ia sempat mendengar kalau ternyata Ibu dari Aksa adalah salah satu komisioner dari Komnas Perempuan.

“Mama lo masih di Komnas?” tanya Jevan lagi. Kali ini Brisia mendengarkan dengan seksama obrolan mereka.

“Masih, tahun kemarin waktu acara Krimfair mama gue isi seminarnya.”

Jevan hanya mengangguk paham. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka makan sambil sesekali di selingi oleh obrolan ringan dari Aksa dan Jevan, Brisia juga sesekali menimpali jika Jevan atau Aksa bertanya pada mereka.

Setelah selesai makan Aksa langsung pamit untuk pulang karena papa nya sudah meminta cowok itu untuk segera pulang. Jevan dan Brisia juga memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua mereka alih-alih ke Depok, karena ternyata besok Brisia juga tidak ada kelas.

“Tuh kalau temenan sama Aksa aman.” kata Jevan yang sedang fokus menyetir.

Tadi Brisia sempat meminta kepada Jevan untuk tidak melewati jalan tol karena ia tidak ingin cepat sampai dirumah. Jevan pun menuruti kemauan adiknya.

“Karena mama nya kerja di Komnas Perempuan?” tanya Brisia.

Jevan mengangguk yang mana membuat Brisia terkekeh. “Abang tau sendiri mama gimana. Orang yang baiknya kayak kak Omar aja dia gak percaya.”

Jevan tidak merespon apapun. Memang mama mereka sangat protektif terhadap Brisia, mama sukar percaya dengan laki-laki yang mendekati Brisia. Begitu juga dengan Omar yang Brisia maksud.

Omar adalah tetangga mereka dahulu. Awalnya Brisia dan Omar berteman biasa, sampai akhirnya mama tahu dan setelah itu melarang Brisia untuk berteman dengan Omar.

Jevan tahu apa yang dilakukan mama adalah demi kebaikan Brisia, mama juga menghindari kejadian yang tidak mengenakkan seperti di masa lalu. Tetapi melihat Brisia yang sudah mau memasuki umur dua puluh tahu, Jevan rasa sudah cukup sifat protektif mama selama ini.

Namu baik Jevan, Brisia, maupun papa, tidak ada yang bisa membantah mama.

“Sabar aja, ada waktunya mama percaya sama kamu kok.” kata Jevan sedikit melirik ke Brisia yang duduk di sebelahnya.

“Gak papa kok abang, aku cukup senang sama keadaan aku sekarang.” Brisia lalu menoleh menatap Jevan. “Nih berkat abang aku jadi boleh tinggal sendiri di Depok.”

Jevan hanya tersenyum, tangannya terulur untuk mengusap kepala adiknya.

“Lagian kan kata papa yang penting nurut dan jujur sama mama.” sambung Brisia.

“Iya, tapi kalau pun ada sesuatu yang gak bisa membuat kamu jujur ke mama, abang harap kamu bisa jujur ke abang.” kata Jevan membuat Brisia mengangguk paham.

First Encounter

Brisia sedikit terkejut saat mendapati Aksa yang berdiri di pintu masuk dan sedang mengobrol dengan salah satu satpam.

Brisia sendiri tidak pernah bertemu Aksa sebelumnya, karena Aksa kerap kali skip kelas untuk urusan organisasi. Sehingga Brisia berasumsi kalau Aksa merupakan tipe cowok yang berdandan rapi dan suka mengenakan kemeja untuk baju sehari-harinya.

Tapi dilihat sekarang bagaimana cowok itu tengah mengenakan ripped jeans dan baju kaos yang berwarna senada yaitu hitam, Brisia sedikit terkejut.

“Brisia?” tanya Aksa begitu mendapati Brisia hanya diam berdiri memerhatikan Aksa.

Brisia tersenyum simpul lalu mendekat pada Aksa.

“Baru ini ya kita ketemu?” Aksa kembali bertanya dan Brisia hanya menjawab dengan anggukan.

Dari tempat Brisia berdiri, gadis itu bisa mencium wangi parfum Aksa yang menguar.

Aksa mengulurkan tangannya saat Brisia sendiri sibuk dengan pikirannya. Karena tidak kunjung membalas uluran tangan Aksa, cowok itu kembali menarik tangannya dengan senyum kikuk.

“Eh, sorry, Sa. Just out of my zone.” kata Brisia berusaha untuk tidak membuat Aksa salah paham.

“Gak papa.” Aksa lalu menoleh ke satpam yang sebelumnya ia ajak bicara. “Pak Joko, duluan dulu ya.”

“Siap, den. Hati-hati ya, eneng nya di jagain.”

Aksa terkekeh. “Aman pak.”

Ketika cowok itu melangkahkan kakinya lebih dulu keluar dari tower apartemen mereka, Brisia secara refleks langsung mengikuti cowok itu dari belakang.

“Sini, Brisia. Jangan di belakang gue gitu.” kata Aksa yang membuat Brisia langsung mensejajarkan dirinya dengan cowok itu.

Mereka berjalan mungkin selama lima menit tanpa obrolan sama sekali. Sesampainya di tempat makan yang Aksa maksud, cowok itu langsung nyelonong masuk ke arah dapur yang mana membuat Brisia sedikit terheran.

Brisia memilih untuk mencari tempat duduk, tetapi saat baru saja cewek itu mendudukkan dirinya Aksa memanggil Brisia.

“Sini pesen dulu, Brisia.” kata Aksa yang membuat Brisia kembali berdiri menghampiri nya.

Begitu Brisia berdiri di samping Aksa, hal pertama yang ia dengar adalah.

“Widih, Den Aksa udah gak sendiri nih makannya.”

Aksa hanya terkekeh. “Iya, udah ada temennya dong sekarang.” Aksa menolehkan kepalanya kearah Brisia. “Mau pesen apa? Indomie kuah apa goreng? Tapi disini yang paling enak mie nyemek.” kata Aksa.

“Lo pesen apa?” tanya Brisia.

“Mie nyemek.”

“Yaudah gue samain aja.”

Aksa lalu menganggukkan kepalanya. “Jadi mie nyemeknya dua ya, A'. Aku pedes kayak biasa.” Aksa kembali menatap Brisia. “Lo pedes apa biasa?”

“Pedes aja.”

“Brisia juga pedes, A' Jamal.”

A' Jamal yang di maksud Aksa hanya mengangkat jempolnya lalu mulai sibuk menyiapkan bahan untuk pesanan mereka.

Aksa mengajak Brisia untuk duduk di salah satu meja di dekat tempat mereka berdiri tadi.

“Udah kenal lama?”

“Dua tahun, dari maba.”

“Oh, makanya akrab ya?”

Aksa hanya tertawa menanggapi pertanyaan Brisia. Setelah mereka hanya mengobrol ringan, topiknya hanya seputar perkuliahan dan beberapa isu kejahatan yang terjadi belakangan ini.

Sampai akhirnya pesanan mereka datang, mereka berdua tanpa bicara menikmati makanan masing-masing.

“Kalau mau makan enak hubungin gue aja.” kata Aksa setelah mereka selesai menghabiskan makanan masing-masing.

Brisia hanya menatap Aksa dengan penuh tanya.

“Gue tau makanan enak sekitar sini. Siapa tau lo butuh teman makan juga, gue bisa temenin kalau lo ga keberatan.”

Brisia hanya tertawa menanggapi perkataan Aksa. Keduanya kemudian sepakat untuk kembali ke apartemen karena baik Aksa maupun Brisia mengatakan bahwa ada beberapa tugas yang harus di selesaikan.

“Enak kan?” Aksa bertanya begitu mereka sudah di dalam lift.

“Apanya?”

“Mie-nya tadi. Enak kan, Brisia?”

“Oh enak kok, makasih udah nemenin.”

Aksa tersenyum bersamaan dengan denting lift berbunyi yang mana menunjukkan kalau mereka sudah berada di lantai unit Aksa.

“Sama-sama, Brisia.” Aksa melangkah keluar dari lift lalu kembali membalikkan badannya menghadap Brisia. “Makasih juga udah mau diajak makan bareng.”

Brisia hanya tersenyum. Pintu lift lalu terutup. Selama di dalam lift Brisia masih tidak bisa melunturkan senyumnya.

Brisia masih tersenyum karena dia menyadari kalau tidak ada teman-temannya yang memanggil nama dia dengan Brisia sebelumnya. Karena teman-temannya kebanyakan manggil dia dengan Sisi.

Dan satu lagi, Brisia suka bagaimana Aksa berusaha untuk mengakrabkan diri tanpa harus bertanya ini itu soal kehidupan pribadi Brisia.

Self Defense

Brisia sedikit terkejut saat mendapati Aksara di depan pintu unitnya. Cowok itu tadinya bertanya apakah Jevan sudah datang atau belum. Saat Brisia menjawab kalau Jevan sudah datang, tidak ada balasan lagi dari Aksa. Dan ternyata cowok itu kini berdiri di depan pintu unit apartemennya dengan kantong plastik yang ia tenteng menggunakan tangan kanannya.

“Mau ketemu abang?” tanya Brisia.

“Iya,” Aksara terkekeh. “Udah lama gak ketemu.”

Brisia tertawa, cewek itu lalu melangkah keluar dari unit apartemennya dan menutup pintu lalu bersandar pada pintu tersebut.

“Abang lagi siap-siap. Kita kebawah aja duluan, nanti dia nyusul.”

Aksara menggaruk tengkuknya. “Oh, yaudah kalau gitu.”

Sesampainya di work space, sudah ada Januar dan Kale yang duduk disana dengan handphone di tangan masing-masing.

Brisia dan Aksa segera menyusul dan bergabung duduk dengan mereka. Kale dan Januar sempat menyapa Brisia, tidak banyak obrolan di antara mereka karena mereka pun sebenarnya tidak terlalu akrab.

“Anya beneran gak ikut?” tanya Aksa sambil mengeluarkan berbagai macam jajanan dari kantong plastik yang ia bawa.

Januar yang duduk di sebelahnya langsung mengambil salah satu snack dan membukanya. Cowok itu sempat menawarkan pada Brisia tetapi ia tolak dengan gelengan.

“Gak tau deh, kayaknya nyusul. Tadi Janu udah tanya, anaknya masih wawancara sama Dekan.” jelas Kale.

Brisia hanya menyimak obrolan mereka bertiga, namun sesekali Aksa bertanya kepada Brisia. Cowok itu sepertinya berusaha untuk membawa Brisia juga masuk kedalam obrolan. Karena di setiap kesempatan jika mereka sedang berdiskusi sesuatu, Aksa pasti akan menanyakan pendapat Brisia.

Tidak lama setelah itu Jevan akhirnya menampakkan batang hidungnya. Yang pertama kali menyambut dengan heboh adalah Aksa. Cowok itu langsung bangkit menghampiri Jevan yang mana membuat Jevan terkekeh lalu menepuk pundak Aksa.

“Sorry lama. Ini kalian berempat doang?” tanya Jevan. Cowok itu lalu menoleh menatap adiknya. “Kata kamu ada lima orang?”

“Iya, si Anya gak bisa ikut.” jawab Brisia singkat.

Jevan mengangguk pelan. Ketika tatapan Jevan bertemu dengan Januar, cowok itu lantas tersenyum jahil.

“Widih, si bos.” kata Jevan.

Januar dulu salah satu adik tingkat yang lumayan dekat dengan Jevan setelah Aksa. Waktu jaman Jevan baru lulus dan belum punya kerjaan, Jevan kerap kali bertemu dengan Januar dan Aksa yang sering nongkrong di sekretariat Mapala. Di beberapa kesempatan juga mereka bertiga pernah naik ke gunung Rinjani bersama.

“Jangan gitu dong, bang. Malu gua.”

Jevan tertawa, pandangannya lalu beralih kepada Kale yang berada di sebelah Januar.

“Ketua angkatan FISIP bukan?”

Kale tertawa. “Dih gak usah pura-pura deh lo.” kata Kale.

Brisia lumayan terkejut mengetahui ternyata Jevan cukup akrab dengan teman-teman sekelompoknya. Soalnya Jevan sudah lulus bahkan setahun sebelum Brisia menjadi mahasiswa.

“Aneh ya?” tanya Aksa yang menyadari kalau Brisia hanya menatap mereka dengan heran.

“Iya, gue kira yang kenal sama Abang cuma lo doang, Sa.” kata Brisia.

“Kalau sama gue dan Januar karena dulu pas pengukuhan Mapala yang natar itu bang Jev, jadi lumayan akrab. Kalau sama Kale, mereka berdua ini sama-sama ketua angkatan, jadi ya mungkin karena itu saling kenal.”

Brisia mengangguk paham. Cewek itu sebelumnya tidak tahu kalau Jevan dahulu adalah ketua angkatan, karena Jevan memang tidak pernah cerita.

“Yaudah, di mulai aja kali ya? Biar cepat kelarnya. Gue sama Brisia mau ke Pondok Indah abis ini.” kata Jevan.

Sesi wawancara lalu di mulai. Jevan mulai menjelaskan bagaimana kronologi kejadian tasnya yang di dalam mobil sewaktu itu di curi.

Yang kebagian tugas sebagai pewawancara adalah Aksa, karena cowok itu sendiri yang mengajukan diri. Brisia, Kale dan Januar hanya menyimak dalam diam.

Brisia baru tersadar kalau Aksa ternyata tipe orang yang ingin tahu banyak hal, terlihat dari dia yang beberapa kali menanyakan hal-hal yang menyimpang dari tema mereka. Tetapi diluar itu semua berjalan lancar. Walau di beberapa kesempatan Aksa dan Jevan saling melempar candaan dan tertawa.

“Makasih ya bang udah mau nyempetin waktu buat di wawancara.” kata Kale begitu mereka selesai dengan sesi wawancara.

“Santai aja, gue juga bantu mempermudah tugas adek gue ini.” kata Jevan dengan kekehan.

Mungkin selama lima belas menit mereka sedikit mengobrol ringan. Membahas kejadian dahulu yang masih mereka ingat dan tertawa sesekali. Brisia hanya mendengarkan sambil sesekali mengecek handphonennya. Sampai akhirnya Jevan yang pertama inisiatif untuk menyudahi obrolan.

“Udah dulu kali ya? Gue sama Brisia mau pergi nih soalnya.” kata Jevan.

Kale lalu melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Ia menepuk jidatnya, baru ingat kalau sore ini ia harus ke pet grooming sebelum tutup untuk mengambil peliharaan adiknya.

“Gue duluan pamit juga, mau ambil kucing.” kata Kale lalu berdiri.

Januar yang duduk di sebelah Kale lantas juga ikut berdiri karena ia dan Kale tadinya berangkat bersama.

“Gue juga ya, nebeng Kale soalnya.” kata Januar.

Setelah berpamitan dengan Kale dan Januar, Brisia, Aksa dan Jevan juga ikut berdiri. Jevan lebih dulu berjalan kearah lift karena Aksa menahan Brisia.

“Kenapa?” tanya Brisia sedikit panik karena Jevan sudah tidak terlihat lagi oleh pandangannya.

“Ini,” Aksa mengeluarkan self defense kit dari kantongnya lalu ia berikan pada Brisia. “Denger bang Jevan tadi bikin gue ngeri sendiri. Terus di Kutek sempet ada begal, maaf, payudara. Jadi kayaknya lo harus punya ini.”

Brisia mengerjap lalu mengambil self defense kit yang Aksa berikan. Ia tidak mengira Aksa akan seperhatian ini kepadanya. Tapi jujur, Brisia sama sekali tidak prasangka apapun soal sikap baik Aksa ini.

“Gue bisa mukul orang, tapi gak cukup kuat untuk berantem. Jadi papa gue bilang buat beli self defense kit untuk jaga-jaga.” Aksa menjelaskan. “Di bawa terus ya, Brisia.”

“Makasih, Sa.”

“Iya.” Aksa mengangguk. “Gue duluan ya. Ada urusan juga.” kata Aksa.

Brisia hanya mengangguk dan selanjutnya mendapati Aksa berjalan menjauh kearahnya.

Sebelumnya Brisia sendiri tidak pernah punya teman laki-laki yang dekat dengannya. Jadi ia bertanya-tanya, apakah yang seperti ini wajar?

First Encounter

Brisia sedikit terkejut saat mendapati Aksa yang berdiri di pintu masuk dan sedang mengobrol dengan salah satu satpam.

Brisia sendiri tidak pernah bertemu Aksa sebelumnya, karena Aksa kerap kali skip kelas untuk urusan organisasi. Sehingga Brisia berasumsi kalau Aksa merupakan tipe cowok yang berdandan rapi dan suka mengenakan kemeja untuk baju sehari-harinya.

Tapi dilihat sekarang bagaimana cowok itu tengah mengenakan ripped jeans dan baju kaos yang berwarna senada yaitu hitam, Brisia sedikit terkejut.

“Brisia?” tanya Aksa begitu mendapati Brisia hanya diam berdiri memerhatikan Aksa.

Brisia tersenyum simpul lalu mendekat pada Aksa.

“Baru ini ya kita ketemu?” Aksa kembali bertanya dan Brisia hanya menjawab dengan anggukan.

Dari tempat Brisia berdiri, gadis itu bisa mencium wangi parfum Aksa yang menguar.

Aksa mengulurkan tangannya saat Brisia sendiri sibuk dengan pikirannya. Karena tidak kunjung membalas uluran tangan Aksa, cowok itu kembali menarik tangannya dengan senyum kikuk.

“Eh, sorry, Sa. Just out of my zone.” kata Brisia berusaha untuk tidak membuat Aksa salah paham.

“Gak papa.” Aksa lalu menoleh ke satpam yang sebelumnya ia ajak bicara. “Pak Joko, duluan dulu ya.”

“Siap, den. Hati-hati ya, eneng nya di jagain.”

Aksa terkekeh. “Aman pak.”

Ketika cowok itu melangkahkan kakinya lebih dulu keluar dari tower apartemen mereka, Brisia secara refleks langsung mengikuti cowok itu dari belakang.

“Sini, Brisia. Jangan di belakang gue gitu.” kata Aksa yang membuat Brisia langsung mensejajarkan dirinya dengan cowok itu.

Mereka berjalan mungkin selama lima menit tanpa obrolan sama sekali. Sesampainya di tempat makan yang Aksa maksud, cowok itu langsung nyelonong masuk ke arah dapur yang mana membuat Brisia sedikit terheran.

Brisia memilih untuk mencari tempat duduk, tetapi saat baru saja cewek itu mendudukkan dirinya Aksa memanggil Brisia.

“Sini pesen dulu, Brisia.” kata Aksa yang membuat Brisia kembali berdiri menghampiri nya.

Begitu Brisia berdiri di samping Aksa, hal pertama yang ia dengar adalah.

“Widih, Den Aksa udah gak sendiri nih makannya.”

Aksa hanya terkekeh. “Iya, udah ada temennya dong sekarang.” Aksa menolehkan kepalanya kearah Brisia. “Mau pesen apa? Indomie kuah apa goreng? Tapi disini yang paling enak mie nyemek.” kata Aksa.

“Lo pesen apa?” tanya Brisia.

“Mie nyemek.”

“Yaudah gue samain aja.”

Aksa lalu menganggukkan kepalanya. “Jadi mie nyemeknya dua ya, A'. Aku pedes kayak biasa.” Aksa kembali menatap Brisia. “Lo pedes apa biasa?”

“Pedes aja.”

“Brisia juga pedes, A' Jamal.”

A' Jamal yang di maksud Aksa hanya mengangkat jempolnya lalu mulai sibuk menyiapkan bahan untuk pesanan mereka.

Aksa mengajak Brisia untuk duduk di salah satu meja di dekat tempat mereka berdiri tadi.

“Udah kenal lama?”

“Dua tahun, dari maba.”

“Oh, makanya akrab ya?”

Aksa hanya tertawa menanggapi pertanyaan Brisia. Setelah mereka hanya mengobrol ringan, topiknya hanya seputar perkuliahan dan beberapa isu kejahatan yang terjadi belakangan ini.

Sampai akhirnya pesanan mereka datang, mereka berdua tanpa bicara menikmati makanan masing-masing.

“Kalau mau makan enak hubungin gue aja.” kata Aksa setelah mereka selesai menghabiskan makanan masing-masing.

Brisia hanya menatap Aksa dengan penuh tanya.

“Gue tau makanan enak sekitar sini. Siapa tau lo butuh teman makan juga, gue bisa temenin kalau lo ga keberatan.”

Brisia hanya tertawa menanggapi perkataan Aksa. Keduanya kemudian sepakat untuk kembali ke apartemen karena baik Aksa maupun Brisia mengatakan bahwa ada beberapa tugas yang harus di selesaikan.

“Enak kan?” Aksa bertanya begitu mereka sudah di dalam lift.

“Apanya?”

“Mie-nya tadi. Enak kan, Brisia?”

“Oh enak kok, makasih udah nemenin.”

Aksa tersenyum bersamaan dengan denting lift berbunyi yang mana menunjukkan kalau mereka sudah berada di lantai unit Aksa.

“Sama-sama, Brisia.” Aksa melangkah keluar dari lift lalu kembali membalikkan badannya menghadap Brisia. “Makasih juga udah mau diajak makan bareng.”

Brisia hanya tersenyum. Pintu lift lalu terutup. Selama di dalam lift Brisia masih tidak bisa melunturkan senyumnya.

Brisia masih tersenyum karena dia menyadari kalau tidak ada teman-temannya yang memanggil nama dia dengan Brisia sebelumnya. Karena teman-temannya kebanyakan manggil dia dengan Sisi.

Dan satu lagi, Brisia suka bagaimana Aksa berusaha untuk mengakrabkan diri tanpa harus bertanya ini itu soal kehidupan pribadi Brisia.

First Encounter

Brisia sedikit terkejut saat mendapati Aksa yang berdiri di pintu masuk dan sedang mengobrol dengan salah satu satpam.

Brisia sendiri tidak pernah bertemu Aksa sebelumnya, karena Aksa kerap kali skip kelas untuk urusan organisasi. Sehingga Brisia berasumsi kalau Aksa merupakan tipe cowok yang berdandan rapi dan suka mengenakan kemeja untuk baju sehari-harinya.

Tapi dilihat sekarang bagaimana cowok itu tengah mengenakan ripped jeans dan baju kaos yang berwarna senada yaitu hitam, Brisia sedikit terkejut.

“Brisia?” tanya Aksa begitu mendapati Brisia hanya diam berdiri memerhatikan Aksa.

Brisia tersenyum simpul lalu mendekat pada Aksa.

“Baru ini ya kita ketemu?” Aksa kembali bertanya dan Brisia hanya menjawab dengan anggukan.

Dari tempat Brisia berdiri, gadis itu bisa mencium wangi parfum Aksa yang menguar.

Aksa mengulurkan tangannya saat Brisia sendiri sibuk dengan pikirannya. Karena tidak kunjung membalas uluran tangan Aksa, cowok itu kembali menarik tangannya dengan senyum kikuk.

“Eh, sorry, Sa. Just out of my zone.” kata Brisia berusaha untuk tidak membuat Aksa salah paham.

“Gak papa.” Aksa lalu menoleh ke satpam yang sebelumnya ia ajak bicara. “Pak Joko, duluan dulu ya.”

“Siap, den. Hati-hati ya, eneng nya di jagain.”

Aksa terkekeh. “Aman pak.”

Ketika cowok itu melangkahkan kakinya lebih dulu keluar dari tower apartemen mereka, Brisia secara refleks langsung mengikuti cowok itu dari belakang.

“Sini, Brisia. Jangan di belakang gue gitu.” kata Aksa yang membuat Brisia langsung mensejajarkan dirinya dengan cowok itu.

Mereka berjalan mungkin selama lima menit tanpa obrolan sama sekali. Sesampainya di tempat makan yang Aksa maksud, cowok itu langsung nyelonong masuk ke arah dapur yang mana membuat Brisia sedikit terheran.

Brisia memilih untuk mencari tempat duduk, tetapi saat baru saja cewek itu mendudukkan dirinya Aksa memanggil Brisia.

“Sini pesen dulu, Brisia.” kata Aksa yang membuat Brisia kembali berdiri menghampiri nya.

Begitu Brisia berdiri di samping Aksa, hal pertama yang ia dengar adalah.

“Widih, Den Aksa udah gak sendiri nih makannya.”

Aksa hanya terkekeh. “Iya, udah ada temennya dong sekarang.” Aksa menolehkan kepalanya kearah Brisia. “Mau pesen apa? Indomie kuah apa goreng? Tapi disini yang paling enak mie nyemek.” kata Aksa.

“Lo pesen apa?” tanya Brisia.

“Mie nyemek.”

“Yaudah gue samain aja.”

Aksa lalu menganggukkan kepalanya. “Jadi mie nyemeknya dua ya, A'. Aku pedes kayak biasa.” Aksa kembali menatap Brisia. “Lo pedes apa biasa?”

“Pedes aja.”

“Brisia juga pedes, A' Jamal.”

A' Jamal yang di maksud Aksa hanya mengangkat jempolnya lalu mulai sibuk menyiapkan bahan untuk pesanan mereka.

Aksa mengajak Brisia untuk duduk di salah satu meja di dekat tempat mereka berdiri tadi.

“Udah kenal lama?”

“Dua tahun, dari maba.”

“Oh, makanya akrab ya?”

Aksa hanya tertawa menanggapi pertanyaan Brisia. Setelah mereka hanya mengobrol ringan, topiknya hanya seputar perkuliahan dan beberapa isu kejahatan yang terjadi belakangan ini.

Sampai akhirnya pesanan mereka datang, mereka berdua tanpa bicara menikmati makanan masing-masing.

“Kalau mau makan enak hubungin gue aja.” kata Aksa setelah mereka selesai menghabiskan makanan masing-masing.

Brisia hanya menatap Aksa dengan penuh tanya.

“Gue tau makanan enak sekitar sini. Siapa tau lo butuh teman makan juga, gue bisa temenin kalau lo ga keberatan.”

Brisia hanya tertawa menanggapi perkataan Aksa. Keduanya kemudian sepakat untuk kembali ke apartemen karena baik Aksa maupun Brisia mengatakan bahwa ada beberapa tugas yang harus di selesaikan.

“Enak kan?” Aksa bertanya begitu mereka sudah di dalam lift.

“Apanya?”

“Mie-nya tadi. Enak kan, Brisia?”

“Oh enak kok, makasih udah nemenin.”

Aksa tersenyum bersamaan dengan denting lift berbunyi yang mana menunjukkan kalau mereka sudah berada di lantai unit Aksa.

“Sama-sama, Brisia.” Aksa melangkah keluar dari lift lalu kembali membalikkan badannya menghadap Brisia. “Makasih juga udah mau diajak makan bareng.”

Brisia hanya tersenyum. Pintu lift lalu terutup. Selama di dalam lift Brisia masih tidak bisa melunturkan senyumnya.

Brisia masih tersenyum karena dia menyadari kalau tidak ada teman-temannya yang memanggil nama dia dengan Brisia sebelumnya. Karena teman-temannya kebanyakan manggil dia dengan Sisi.

Dan satu lagi, Brisia suka bagaimana Aksa berusaha untuk mengakrabkan diri tanpa harus bertanya ini itu soal kehidupan pribadi Brisia.