radianteclipse

Dari Jelena

Seperti yang di katakan Jeremy, Prabu akhirnya bersedia untuk bertemu dengan Jelena.

Mungkin memang ini yang Prabu butuhkan. Jadi ia memutuskan untuk bertemu dengan Jelena di tempat biasa ia dan perempuan itu kunjungi dahulu sewaktu masih bersama.

Seperti biasa, Prabu jadi orang pertama yang datang sampai akhirnya lima belas menit kemudia Jelena datang dengan gadis kecil perempuan yang di gandengannya.

Prabu hanya menatap Jelena dengan seksama. Perempuan itu masih sama, tidak ada yang berubah dari dia bahkan setelah empat tahun lamanya mereka tidak bertemu.

Mata Prabu masih terkunci, tenggorokannya tercekat saat mendengar suara Jelena yang memanggil namanya kembali menggaung di telinganya.

“Tama, you okay?” Jelena menjentikkan jarinya tepat di wajah Prabu yang mana membuat cowok itu akhirnya tersadar.

“Oh, hi. Sorry.” katanya kikuk.

“You look shocked.” Jelena terkekeh. “Athara, say hi to uncle.” kata Jelena pada anak kecil perempuan yang kini tengah duduk di pangkuannya.

Athara hanya melambaikan tangan lalu menyengir membuat Prabu terkekeh.

“Mau di ambilin baby chair?” tanya Prabu.

“No, it's okay. Aku gak bakal lama juga, suami aku nungguin.” kata Jelena.

Prabu masih terdiam, ia sibuk menatap Athara yang duduk di pangkuan Jelena.

“My daughter, umurnya tiga tahun.” kata Jelena.

“Ah, i see.”

“How's life, Tama?”

Prabu terkekeh, hatinya sedikit berdesir saat menatap jari manis Jelena yang tersemat cincin.

“Masih gitu-gitu aja, Je. Nothing special.”

“Jangan bohong, aku tahu dari Jeremy kalau kamu udah punya pacar.”

Prabu berdecak membuat Jelena tertawa kecil.

“Jeremy and his mouth.” kata Prabu. Cowok itu lalu kembali tersenyum menatap Jelena. “You look happier.”

“All thanks to, Athara. Kalau bukan karena dia aku gak bakal se happy ini.” katanya.

Prabu hanya tertawa pelan. Terjadi keheningan diantara mereka, karena jujur Prabu tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Jelena.

“I met my husband a month before our wedding.” kata Jelena mengundang tanda tanya besar pada Prabu.

“Our?”

“Ya, aku dan kamu.” kata Jelena. “Kamu ingat kan aku sempat ke Bali selama sebulan sebelum kita akhirnya nikah karena aku ada pekerjaan disana. Aku ketemu suami aku di Bali.”

Prabu masih terdiam, tidak merespon apapun yang mana membuat Jelena kembali membuka suara.

“It was a one-night-stand. I know, aku seharusnya gak begitu di saat aku sudah jadi tunangan kamu, but i was drunk. Aku lagi suntuk sama pekerjaan aku dan saat itu kamu juga lagi sibuk sama pekerjaan kamu yang mana ngebuat aku gak punya pilihan lain selain mencari hiburan sendiri. Setelah malam itu, aku sama dia ketemu beberapa kali karena setelah dalam keadaan sober dan kita ngobrol, ternyata kita cukup nyambung.

Sebelum aku pulang ke Jakarta, aku bahkan sempat tukeran nomor handphone sama dia. Saat dia ke Jakarta juga dia sempat meminta aku untuk ketemu dia.”

“it was not a one-night-stand, then.” kata Prabu.

“Ofcourse. Tapi tentu saja waktu itu aku menolak untuk ketemu, karena yang terjadi di Bali itu menurut aku kesalahan karena kita berdua sama-sama mabuk.”

Jelena menatap anaknya yang berada di pangkuannya lalu tersenyum.

“Sampai akhirnya seminggu sebelum pernikahan kita, aku tahu kalau ternyata aku hamil anak dia. Aku cukup yakin yang aku kandung adalah anak dia karena sedari aku pulang dari Bali, aku dan kamu gak melakukan kegiatan seksual apapun.”

”.........”

“Awalnya aku pikir, mungkin gak apa-apa kalau aku sembunyiin hal ini dan tetap nikah sama kamu. Tapi aku juga gak sampai hati untuk bohong sama kamu dan nutupin soal anak yang aku kandung ternyata bukan anak kamu.” jelas Jelena.

“Itu sebabnya kamu tinggalin aku di altar?”

“I had no choice, Tama.”

“Kamu punya, Jelena. Kamu punya banyak pilihan untuk jujur sama aku. Kamu bisa jujur setelah kamu kembali dari Bali, atau seminggu sebelum kita menikah saat kamu sadar kalau kamu ternyata hamil.”

“I'm so sorry.” ucap Jelena.

Prabu menghela nafas. Ia lalu mendapati Athara yang kini menatapnya dengan senyuman polos di wajah anak itu.

Prabu marah, sangat marah. Tetapi apa yang terjadi sudah terjadi, Prabu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

“Aku gak mengharapkan apapun dari kamu, bahkan maaf kamu pun gak aku harapkan. Aku cuma mau ngejelasin alasan kenapa aku pergi waktu itu.

And Tama, kamu perlu tahu kalau ini semua bukan salah kamu. Aku jahat sama kamu, ya, aku akui. Tapi bukan berarti semua yang aku lakukan dan semua yang terjadi di masa lalu kita itu karena kamu. Jadi aku mohon, tolong benci aku aja, jangan sampai kamu benci dirimu sendiri. Tolong jangan sampai kamu susah menaruh kepercayaan ke orang lain. Gak semua orang sejahat aku, Tama.”

Prabu masih terdiam. Ia memijit keningnya karena merasa pusing. Melihat Jelena saja memberikan dampak yang cukup besar untuk Prabu, ditambah mendengar penjelasan perempuan itu.

“You're suffered enough. Udah saatnya kamu bahagia.”

Prabu menghela nafas. “It's okay, Je. Thank you udah mau menyempatkan waktu untuk ngejelasin semuanya ke aku.”

“No need to, Tama.”

Closure

Selene tidak tahu harus bagaimana setelah membaca surat yang Prabu berikan.

Terkejut? Tentu saja, ia tidak menyangka Prabu akan menulis surat seperti ini.

Dan saat gadis itu sibuk sendiri dengan pikirannya, ia di buat terkejut dengan seseorang yang kini tengah duduk di sampingnya.

Selene menoleh untuk mendapati Prabu yang tersenyum menatapnya.

Di gelap malam hari ini, Selene masih dapat melihat binar mata Prabu yang menatap kagum Selene. Prabu cukup berbeda sebelumnya, kulitnya lebih gelap dan rambutnya yang saat ini lebih panjang, belum lagi warna rambutnya yang kini berwarna rose gold.

“Hi?” Prabu akhirnya berbicara.

“Kamu kok disini?” tanya Selene heran.

“Iya disini, dari awal kamu baca suratnya. Serius banget sampe gak nyadar.” kata Prabu lalu terkekeh.

Hari ini hari ulang tahun Selene, jadi cewek itu dan keluarganya memutuskan untuk membuat acara kecil yang di datangi oleh teman-teman dekat Selene, sampai Jeremy juga datang.

Ketika gadis itu di beritahu Hendery kalau ia menerima paket, Selene keluar dan mendapati ada satu box bunga mawar putih yang di letakkan diatas ayunan kayu yang berada di halaman rumah kakaknya.

Sampai akhirnya satu pesan masuk dari Prabu dan cowok itu berkata kalau bunga tersebut dari dia.

“Aku daritadi ada di mobil Jeremy.” kata Prabu.

“Katanya kak Jeremy kamu di Bali.”

“Tadinya, tapi kan kamu wisuda, jadinya aku ke Jakarta deh.” jelas Prabu.

Selene terdiam, ia hanya menatap Prabu lalu menari senyum simpul.

“Thank you buat bunga-bunganya.”

“Aku cuma ngirim satu?”

“Gak usah bohong deh, yang waktu sidang sama wisuda itu juga bunga dari kamu kan.”

Perkataan Selene membuat Prabu terkekeh. Cowok itu tidak berbicara banyak sedari tadi, ia hanya sibuk menatap Selene yang ada di hadapannya.

“Aku kemarin ketemu sama Jelena. Inget kan Jelena yang dulu aku ceritain?” tanya Prabu yang mengundang anggukan dari Selene.

Prabu lalu menceritakan semua hal yang mereka bicarakan saat bertemu Jelena. Selene hanya menyimak sambil sesekali bertanya saat ada bagian yang tidak ia mengerti.

“Lega?” tanya Selene begitu Prabu menyudahi ceritanya.

“Lega. Thank to Jeremy yang udah ngebujuk aku buat ketemu Jelena.” Prabu terkekeh.

Selene tertawa kecil mendengar hal itu. Ada keheningan beberapa saat diantara mereka, hanya ada suara motor lalu lalang yang terdengar.

Sampai akhirnya Prabu berdehem dan bicara.

“Dan juga makasih ke Jeremy yang udah buat aku sadar kalau aku lebih butuh kamu di banding waktu sendiri.” katanya. “Can we try again?”

“Are you sure?”

“Absolutely sure. beberapa bulan ini udah cukup Selene buat aku. Aku tahu mungkin kita masih perlu waktu untuk nyembuhin diri sendiri. Tapi bisa gak kalau kita sembuhnya sama-sama? Tanpa harus pisah sama kamu. Jelena benar, i suffered enough and i deserve to be happy. That's why i need you.

Lagi pula aku pikir aku dan kamu udah berdamai sama masa lalu kita. Kamu dengan Javier dan Hera. Aku dengan Jelena. Kita udah hadapin semua yang membuat kita kayak gini.”

Selene masih terdiam sampai akhirnya Prabu dengan tidak sabar meraih tangan gadis itu untuk di genggamnya.

“Selene,”

“Depends.” Selene akhirnya berbicara. “Apa kamu sekarang udah merasa lebih baik atau belum? Aku gak akan kembali ke kamu kalau kamu sendiri masih perlu waktu untuk menata yang dulu pernah berantakan.”

“What can i do to make you trust me?”

“Trust me. That's all what can you do.”

“I will, Selene. With all my heart.”

Dari Hera

Selene melambaikan tangannya begitu Hera terlihat celingukan mencari keberadaan Selene.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, yang mana sudah tiga puluh menit setelah Javier pergi.

Sesuai janji, setelah Selene dan Javier bertemu, kini waktunya ia dan Hera bertemu. Sebenarnya Selene sudah bisa menebak apa yang mau Hera bicarakan.

“Mau pesen gak?” tanya Selene begitu Hera mendudukkan diri di hadapannya.

“Dessert aja, boleh gak sih?” Hera balik bertanya. Ia tidak ingin makan berat karena sebelum kesini ia sudah makan terlebih dahulu di rumah.

Hera lalu memanggil salah satu pelayan dan memesan dessert yang tersedia, begitu juga Selene.

“Udah nunggu lama?” tanya Hera begitu mereka selesai memesan pesanan mereka.

Selene menggeleng. “Gak begitu. Macet tadi kesini?”

“Lumayan.”

Selene hanya mengangguk. Ia menatap Hera yang tampak kikuk di hadapannya, tidak seperti Hera yang biasanya yang selalu terlihat penuh dengan kepercayaan diri. Hera bahkan sedari tadi hanya menunduk atau sesekali melempar pandangannya pada pemandangan diluar jendela.

“Sidang lu bareng Venus?” tanya Selene memecah keheningan.

“Enggak, gua di hari setelah Venus.”

Kembali hening diantara keduanya, sampai salah satu pelayan memberikan pesanan mereka barulah Hera kembali bicara.

“Selene,” kata Hera. “Maaf ya, soal Tama dan juga Javier.” Hera menunduk, menatap jari-jarinya.

“It's okay.”

“Still, gua bersalah sama lu. Dan soal putusnya lu dan Tama, gua tahu gua gak di posisi yang tepat buat ngomong ini. But i swear to god, Selene, gua sama Tama gak ada hubungan apapun. Soal dia yang meluk gua malam itu, itu cuma bentuk empati dia, gak lebih.”

Selene mengangguk. “Gua tau kok, Prabu not the type that will cheat. Gua cukup percaya dia soal itu. Tapi putusnya gua sama Prabu bukan karena lu kok, Ra. It's just masalah kita berdua yang ternyata belum siap untuk kembali mulai suatu hubungan.

Gua sayang sama Prabu, Prabu pun sayang sama gua. Tapi itu semua gak menutup kemungkinan kita gak bakal nyakitin satu sama lain. Let's say we still have a fear because our past.”

Mendengar penjelasan Selene, Hera semakin tertunduk. Ia sadar apa yang ia lakukan pada Selene sangat salah, apalagi posisinya Selene adalah teman baiknya sejak mereka awal kuliah.

Hera tidak mempunyai pembelaan apapun, ia jahat dan ia akui. Walau banyak orang yang bilang kalau manusia tidak akan luput dari kesalahan. Tapi untuk Hera, ia masih bisa berpikir jernih untuk tidak menyakiti temannya itu, tetapi ia malah mengabaikannya.

“Gua harap lu gak akan melakukan hal-hal yang membuat orang sakit hati lagi. Gua tahu kita semua manusia gak mungkin sempurna, tapi berusaha untuk menjadi orang baik itu gak susah kok, Ra.”

“I know, i'm sorry. Gua gak akan mencoba membuat pembelaan apapun atas semua yang pernah gua lakuin ke lu. Gua jahat, gua akui. Dan lu tau sendiri semua yang gua lakuin ke lu itu gimana, entah dari mata kepala lu sendiri atau Javier yang cerita sama lu. Untuk itu gua minta maaf, dan gua harap lu bakal berlapang dada untuk maafin gua. Gua akan menerima semua akibat dari perlakuan gua ke lu, sekalipun lu gak mau lagi kenal gua, gua akan terima.”

Selene menghela nafas. Entah kenapa mendengar semua yang Hera katakan membuatnya lega. Mungkin ini semua yang ia butuhkan, berdamai dengan semua masalah dia.

“Gua maafin. But sorry, gua rasa gua gak bisa berteman lagi sama lu, Hera. Gua harap lu mengerti.”

“It's okay, Selene. Gua sangat mengerti kalau lu mau nya begitu.” Hera lalu berdiri dari tempatnya. “It is nice to know you.” kata Hera lalu berjalan meninggalkan Selene yang masih terduduk di mejanya.

Baru beberapa langkah Hera kembali membalikkan badannya menatap Selene.

“Selene,” panggil Hera. “Prabu love you, a lot. I never saw him this happy before.” katanya lalu kembali melangkah meninggalkan Selene yang tersenyum.

Dari Javier

Selene menatap sekeliling untuk menemukan kehadiran Javier. Karena ia tidak bisa menemukan keberadaan cowok itu, Selene memutuskan untuk menelpon Javier.

“Halo, Jav.” kata Selene begitu sambungan telepon tersambung. “Dimana? aku udah di Henshin.”

“Bentar, Sel. Masih di parkiran, nunggu gapapa ya?”

Selene mengiyakan lalu segera mengakhiri sambungan telepon keduanya.

Mungkin ada lima belas menit kemudian Javier lalu muncul dengan nafas yang terengah-engah.

“Sorry lama,” katanya sambil berusaha mengatur nafasnya.

“Gak papa.” Selene tersenyum simpul.

Javier lalu menyebutkan namanya pada salah satu pelayan, sebelumnya Javier telah memesan secara online di tempat ini.

Salah satu pelayan menuntun mereka ke salah satu meja di dekat jendela. Javier sengaja memilih meja ini agar mereka bisa melihat suasana senja Jakarta.

Setelah memesan makanan keduanya masih sibuk dengan handphone masing-masing. Javier masih bingung bagaimana mengawali pembicaraan dengan Selene. Sedangkan Selene sendiri sibuk membalas pesan Mama nya yang berpesan kalau jangan pulang terlalu larut.

“Congrats,” ucap Javier akhirnya membuat Selene mendongak menatap cowok di hadapannya. “Selamat buat sidangnya. Ikut wisuda yang bulan depan kan?” tanya Javier.

“iya, kamu gimana?” Selene balik bertanya.

“Aku juga, kamu tau kan papa aku gimana.” Javier terkekeh lalu membuang tatapannya pada langit diluar jendela yang membentang.

“You did well kok, Javier.” kata Selene lalu menepuk tangan Javier yang berada di atas meja.

Setelahnya pesanan keduanya datang. Ada obrolan ringan diantara keduanya, terkadang di selingi tawa entah dari Javier ataupun Selene. Keduanya masih sama, masih mentertawakan jokes soal Aksa yang gak bisa ngomong kwetiaw, atau Javier yang masih suka sering salah keluar jalan tol.

Kalau dilihat mungkin keduanya terlihat baik-baik saja, tetapi tidak ada yang tahu ada hati dan pikiran yang bergemuruh akibat harus memutuskan untuk melepaskan dengan ikhlas.

Setelah makan, Javier kembali mengurungkan niatnya untuk berbicara saat melihat Selene yang tengah menikmati pemandangan malam dari luar jendela.

“Dulu kamu sering banget bilang pengen makan di Henshin.” kata Javier membuat Selene menatapnya.

“Selene,” Javier berdehem. “Aku tau hubungan kita udah selesai dari lama, tapi kayaknya aku belum pernah minta maaf atau ngejelasin yang harus aku jelasin secara properly ke kamu.”

Selene tersenyum. “It's okay, maaf nya kamu waktu itu udah cukup.”

“No, let me explain please.” kata Javier. “Aku salah dan aku sadar saat itu, tapi jujur di pikiran aku saat itu cuma aku bosen sama hubungan kita. i'm not blaming you, masalahnya cuma ada di aku yang gak bisa puas sama apa yang aku punya. And then there's Hera.”

Javier terdiam cukup lama, seperti menimang apakah ia harus berkata ini atau tidak.

“Ada dia di saat aku lagi begitu. Ya you know, sekali udah brengsek baka tetap terus brengsek. Jadi yang aku pikirin saat itu adalah, oh aku mungkin bisa sedikit have fun sama Hera, toh dia teman aku dan kamu teman dia. Aku pikir nothing wrong with that. Terus dia mulai nemanin aku latihan, aku mulai nemenin dia saat dia butuh, dan aku mulai keseringan bareng dia dan juga pasti sering bohong ke kamu.

Kadang aku sempat mikir, aku boleh gak ya begini, Selene bakal gimana ya kalau aku begini, atau apa aku harus jujur aja ya sama Selene. But back again, kalau aku ketemu kamu, rasanya tuh kayak, oh well we through a lot ups and downs dan aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja.

Sampai akhirnya, i slept with her. I'm so sorry, Selene. Aku bener-bener minta maaf soal ini, aku gak punya pembelaan apapun karena memang aku salah. Walau kita berdua sama-sama drunk waktu itu, tapi aku salah karena udah mabuk sama dia dan gak jujur ke kamu.”

Selene hanya bisa menatap Javier dengan segala keterkejutannya. Ia tidak mengira bahwa Hera dan Javier akan sejauh itu.

Jujur selama ini yang Selene pikirkan hanya mungkin Javier memang pernah tidur bareng Hera secara harfiah. Tetapi ia tidak pernah membayangkan kalau mereka sampai berhubungan badan.

“Selene,” panggil Javier mulai khawatir karena Selene hanya diam sedari tadi.

“Worse than i thought. Oh god, aku speechless, i'm sorry.”

Javier menggeleng. “No, it's okay.” Katanya. “Dan aku juga mau minta maaf buat segala perkataan aku yang gak pantas buat kamu. You deserve everything to make you happy, Selene. Be happy please.”

“You do, be happy. It's not a good thing Javier, jadi kalau punya pacar lagi jangan gitu.”

“I know, that's why i'm here. Aku minta maaf.”

Selene tersenyum. “Apologies accepted.”

Javier balik tersenyum. “Clear?” tanya Javier.

Selene menggeleng. “Sebenarnya i did something too.”

Javier hanya menatap perempuan di hadapannya bingung. Selene lalu terkekeh pelan.

“Sebenarnya selama kamu lebih sering sama Hera aku juga udah mulai dekat sama Prabu. Bukan dekat dalam artian aku sama dia lagi masa PDKT, not like that. It was just selama kamu gak ada kebetulan dia ada buat aku. Jadi kayaknya aku juga salah sama kamu karena dekat sama dia.”

“I see.” kata Javier lalu mengangguk pelan.

“i'm sorry.”

“it's okay, Selene. You don't have to.”

Terjadi keheningan beberapa saat diantara mereka. Sampai akhirnya Javier kembali angkat bicara.

“So you're still dating him.”

“I don't know, i think we are on a break.”

“Oh, didn't expect that from you two. Aku kira kalian yang lovey dovey aja tanpa masalah.”

“I wish that too, tapi kenyataannya gak seindah itu.” Selene terkekeh.

“he love you, Selene. More than i can.” kata Javier dengan wajah seriusnya.

“Tau dari mana?”

Javier tertawa lalu mengangkat bahunya. “Dunno, just man instinct. I just see it.”

Selene tertawa, ia lalu mengambil gelas wine miliknya yang sebelumnya tidak tersentuh sama sekali.

“We can still be friend, Jav.”

“I would love too, but i can't.” kata Javier. “It will took a very long time, or maybe forever to forget you if we're still be friend.”

Selene hanya terdiam menatap Javier yang tersenyum menatapnya.

“Is it a goodbye?”

“For good?” tanya Javier lalu mengangkat gelas wine nya.

Selene tersenyum lalu menabrakkan gelasnya dengan gelas Javier.

“For good.”

the day

Deverra melepas PDH yang ia kenakan lalu melemparkannya kearah sembarang dan hanya menyisakan kaos putih polos yang melekat pada tubuhnya.

Hari ini adalah hari kedua inagurasi yang mana juga puncak malam inagurasi. Panitia lain bersiap untuk menyiapkan rangkaian acara selanjutnya.

Deverra tadi sempat izin ke Yasa untuk ke sekre karena badannya terasa sakit sebab sedari siang ia belum ada mengistirahatkan tubuhnya.

Saat cowok itu sibuk dengan pikirannya sendiri dan berbaring diatas sofa, Jelena masuk kedalam sekre yang mana langsung menyita perhatian Deverra.

Deverra tersenyum begitu mendapati kehadiran Jelena.

“udah makan?” tanya Jelena seraya berjalan mendekat kearah Deverra.

“perhatian banget.”

Jelena mendengus sebal. “kalau gak makan acara runyam. yang gua tanyain bukan lu doang, jadi gak usah geer.”

Wajah Deverra menampilkan ekspresi kecewa yang ia buat-buat. Cowok itu lalu mengubah posisinya menjadi duduk lalu menyuruh Jelena untuk duduk bersamanya.

“udah pada siap-siap?” tanya Deverra.

Jelena mengangguk, ia lalu ikut duduk bergabung pada Deverra. “Maba pada gak percaya kalau malam ini jamming bareng Kunto Aji.” kata Jelena.

Deverra tergelak, “ya iya, gak ada panggung, gak ada apa, mana percaya mereka.” Jawab Deverra. “ide lu tuh.”

Jelena mengangkat bahunya. “ya kan kedoknya elu mau bikin semua maba pada akrab, jadi usul gua ya gitu. lagian gak ada yang keberatan.” jawab Jelena santai.

Deverra tertawa, ia lalu mengulurkan tangannya untuk merapihkan rambut Jelena yang sedikit berantakan. Hal ini membuat Jelena membeku seketika, apalagi saat Deverra menyelipkan rambutnya kebelakang telinganya.

Deverra yang menyadari perubahan sikap dari Jelena langsung berdehem lalu menarik tangannya menjauh. “sorry,”

Jelena tidak menjawab, sampai terdapat keheningan diantara mereka beberapa saat. Jelena yang berusaha menenangkan dirinya, sedangkan Deverra yang sibuk merutuki dirinya sendiri.

Karena suasana yang canggung, Deverra akhirnya memutuskan untuk angkat bicara.

“yang nolongin maba kecengklak kemaren waktu jurit malam itu elu, Je?”

“apa sih bahasa lu? kecengklak banget?”

Deverra terkekeh. “ya pokoknya itu deh.”

“iya, abisnya kelompok si maba yang kepleset itu pada panikan gitu. mereka kan cewek semua, jadi gua sempet ngikutin mereka diem-diem dari belakang, takutnya ada apa-apa.”

“lu sendiri?!” Deverra bertanya dengan heboh membuat Jelena mendengus.

“ya mau minta tolong siapa, yang lain sibuk sama kerjaan masing-masing.” kata Jelena.

“jangan gitu lain kali.” Deverra menjawab. “terus itu jadinya gimana?”

“ya gak gimana-gimana, gua tolongin tapi dia minta maaf. gua sampe sekarang gak tau dia minta maaf karena apa.”

Deverra tersenyum simpul, ia sudah mengira kalau Jelena pasti gak tahu perkara dia jadi bahan omongan oleh maba karena sikapnya yang menurut mereka itu menyebalkan.

“yaudah, gak usah di pikirin.” kata Deverra, cowok itu lalu meraih PDH miliknya yang sempat ia lepaskan tadi. “yuk keluar, udah mau mulai kayaknya.”

“lu duluan aja, gua mau ganti celana. celana gua basah tadi abis kecipratan Aksa sama Malvin main air.” jawab Jelena.

“kebiasaan deh dua bocil itu.” kata Deverra sewot. “gua tunggu di depan ya.”

“duluan aja, Dipi, gak papa.”

“gak, gua tunggu diluar.” kata Deverra final lalu cowok itu berjalan keluar sekre meninggalkan Jelena.

Di luar ia langsung di pertemukan oleh Valerie yang sepertinya mau masuk kedalam sekre.

Deverra langsung merentangkan tangannya, melarang Valerie untuk masuk kedalam.

“apaan sih lu jamet?” tanya Valerie sewot.

“Jelena lagi ganti celana.” jawab Deverra santai.

“yaelah, gua udah sering kali liat dia telanjang.”

“wow, cukup beruntung.” kata Deverra. Valerie kembali mencoba untuk masuk tetapi Deverra masih menghalanginya dengan tangannya. “jangan masuk elah, biar dia temen lu atau lu udah sering liat dia telanjang tapi sekarang posisinya lu lagi gak punya izin buat liat dia telanjang.”

Valerie mendengus, ia lalu mengalah, ikut bersandar di pintu sekre sepetri yang Deverra lakukan.

“ribet deh lu.” kata Valerie. “lu duluan aja dah sana gabung yang lain, ini biar gua yang jagain.”

Deverra menggeleng. “gak, mau bareng Jelly aja sekalian.”

Valerie mengernyit mendengar perkataan Deverra. “lu tuh emang suka banget ya ganti-ganti nama orang.”

“gara-gara Jelena.”

“apa hubungannya?”

“gak tau, gua suka aja waktu dia manggil gua Dipi. jadi gitu deh, biar satu sama.” jawab Deverra. “lagian nama lu juga di ganti tuh sama Jelena kan?”

“iya anjir, males banget.”

Memang selain mengganti nama panggilan Deverra, Jelena juga mengganti nama panggilan untuk Valerie. Kata cewek itu nama Valerie terlalu sulit untuk di panggil di kala waktu yang darurat. Jadilah cewek itu memberi nama panggilan Pale ke Valerie yang mana membuat hampir seluruh teman kampusnya juga ikut memanggil Valerie dengan panggilan Pale.

Tidak lama kemudian Jelena keluar dari sekre dengan penampilan yang lebih fresh karena ia sempat cuci muka di kamar mandi sekre. Cewek itu juga mengganti tatanan rambutnya menjadi ponytail, yang tadinya hanya ia gerai begitu saja.

Jelena sempat mengobrol sebentar dengan Valerie sampai akhirnya Deverra menariknya dengan tidak sabar untuk segara bergabung dengan para panitia.

Puncak malam inagurasi ini adalah salah satu tradisi yang selalu di lakukan oleh fakultas teknik. Biasanya mereka melakukannya secara besar-besaran, namun untuk tahun ini, berkat usulan Deverra acara mereka dilaksanakan dengan cukup hangat dan sederhana walau begitu tetap mengesankan.

Ide Jelena sepertinya cukup berhasil, walau hanya ada panggung sederhana dari palet, para mahasiswa baru terlihat sangat menikmati penampilan dari Kunto Aji yang membawakan lagu-lagunya.

Jam menunjukkan pukul satu malam saat acara jamming akustik bersama Kunto Aji telah usai. Sesuai arahan Yasa para panitia langsung mengumpulkan mahasiswa baru sesuai dengan kelompok mereka masing-masing.

Sergio yang merupakan ketua komisi disiplin langsung menyuruh para mahasiswa baru untuk menghitung anggota mereka sesuai dengan kelompok masing-masing.

Memakan waktu lima menit untuk para ketua kelompok melapor kepada Sergio bahwa anggota mereka lengkap, kecuali satu kelompok. Yaitu kelompok lima.

Ketua kelompok lima melaporkan bahwa satu anggota mereka tidak ada, salah satu dari anggota mereka juga menambahkan bahwa sedari tadi ia tidak melihat Jericho, nama anggota yang hilang.

Deverra yang mendengar keributan soal salah satu maba yang hilang langsung teringat akan idenya untuk membuat salah satu panitia juga di culik. Cowok itu dengan santai mendatangi Malvin yang sedang menikmati pertunjukan seorang Sergio yang sedang drama membentak ketua kelompok lima.

“Salah satu dari kita juga di culik sama Yasa.” kata Deverra.

Malvin menolehkan kepalanya, mendapati Deverra yang berdiri di sampingnya dengan rokok yang menyelip diantara jari telunjuk dan tengahnya.

“Paling Aksa, gua gak liat dia dari tadi.” kata Malvin santai.

Keduanya lalu terkekeh, mereka memutuskan untuk mendatangi para panitia yang sedang berkumpul untuk evaluasi sekalian memastikan apakah memang Aksa yang di culik atau tidak.

Setelah lima belas menit para panitia berdiskusi, Aksa muncul dari arah gedung departemen Mesin dengan cengiran di wajahnya.

Ia berlari mendekat, membuat Malvin dan Deverra jadi beradu pandang.

“sorry, gua abis mules banget. udah beres evaluasi nya?”

Pertanyaan Aksa tidak di jawab oleh siapapun karena Deverra kini sibuk mencari Yasa.

Setelah ia bertemu Yasa, cowok itu langsung menodongnya dengan pertanyaan. “siapa yang lu culik?”

“Lah bukan bagian gua, itu bagian anak acara.”

Deverra mendesis, ia lalu merebut megafon yang di pegang Yasa.

“PENGUMUMAN UNTUK SEMUA PANITIA MOHON SEGERA BERKUMPUL SEKARANG JUGA DI SAMPING GEDUNG DEPARTEMEN MESIN. SEKALI LAGI BUAT SEMUA PANITIA TANPA TERKECUALI UNTUK SEGERA BERKUMPUL DI SAMPING GEDUNG DEPARTEMEN MESIN.”

Butuh waktu sepuluh menit untuk membuat semua panitia berkumpul. Deverra menunggu dengan gelisah sedari tadi. Bukannya apa, sebagai ketua BEM ia merasa bertanggung jawab untuk membuat para anggotanya tersadar bahwa salah satu dari anggota mereka menghilang.

“udah semua ini?” tanya Deverra. Tidak ada yang menjawab karena panitia lumayan banyak dan mereka tidak yakin apakah semua sudah berkumpul.

Salah satu junior Deverra mengangkat tangan. “bang Sergio nemenin kelompok lima buat cari anggotanya yang hilang, bang.”

“yang lain? penanggung jawab masing-masing divisi sekarang pada itungin deh anggotanya.” kata Deverra.

Semua para ketua divisi sibuk menghitung para anggotanya, tak terkecuali Deverra yang sibuk menghitung para anggota sponsor inagurasi.

Yasa yang di sampingnya sedari tadi hanya ngedumel sebal. “ini yang ketua pelaksana siapa sih sebenarnya.” katanya yang dihiraukan oleh Deverra.

“bang,” panggil Malvin membuat perhatian Deverra menuju cowok itu sepenuhnya. “kak Jelena sama kak Valerie gak ada.”

Deverra beralih menatap Yugi yang merupakan ketua divisi acara. “yang lu culik dua orang?” tanya Deverra.

Belum Yugi menjawab seseorang langsung menginstrupsi mereka.

“kok pada ngumpul? eh sorry ya gua baru aja bantuin maba yang pingsan tadi.”

Itu adalah Valerie.

Malvin hanya bisa menatap Deverra yang membeku. Cowok itu bisa menebak apa yang akan terjadi sehabis ini.

Deverra berjalan menghampiri Yugi lalu menarik kerah PDH yang cowok itu kenakan. Anggota dari Yugi sempat ingin menarik Deverra tetapi di tahan oleh Darrel.

“lu sembunyiin dimana?” tanya Deverra.

“kalau gua kasih tau ya gak asik dong, Dev.”

“lu sembunyiin dimana Jelena, anjing?” Deverra menggeram. “jangan bilang di tempat yang gelap.”

Yugi menatap Yasa yang hanya diam memperhatikan keduanya.

“di gedung belakang.” jawab Yugi.

Deverra langsung mendorong Yugi sampai cowok itu terjatuh. Ia lalu berlari kearah gedung belakang yang langsung di susul oleh Darrel, Aksa, dan Malvin.

“lah padahal ide dia, kenapa dia yang marah?” tanya Yugi heran.

Valerie yang masih ada di tempat langsung meninju pelan lengan Yugi.

“kan Yasa udah pesan sembunyiin di mushola aja.” kata Valerie.

“gak asik, Pal. Di gedung belakang lebih mencekam, kan gak kepake.” kata Yugi lalu terkekeh.

“siap-siap deh di hajar sama Deverra.” kata Yasa lalu segera berlalu.

Yugi yang bingung hanya bisa menatap Valerie meminta penjelasan.

“Jelena bisa hyperventilating kalau di tempat yang gelap sendirian.”

first and last place

Begitu Selene sampai ia kira dirinya yang pertama kali datang, tetapi saat ia mengedarkan pandangannya sudah ada Prabu yang duduk di sudut ruangan dekat jendela dengan laptop di hadapannya.

Selene langsung menghampiri pria itu dan duduk di hadapannya. senyumnya mengembang saat Prabu menatapnya.

“udah lama?” tanya Selene.

Prabu melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. “no, sekitar sepuluh menit yang lalu.” jawab Prabu dengan senyum simpul.

hari ini Selene mengenakan semua barang yang Prabu berikan padanya, mulai dari dress, boots, tas, sampai aksesoris lainnya yang ia kenakan. Prabu yang mengenali barang itu langsung tersenyum lebar.

“you wearing that.”

Selene terkekeh, ia menatap tangannya. “see, you gave me too much. sampai aku bisa pakai satu badan.”

“it's okay, you deserve it.” kata Prabu. “udah pesen?”

Selene hanya mengangguk sebagai jawaban. tidak ada pembicaraan diantara mereka sampai akhirnya nama Selene di panggil oleh barista karena pesanannya telah siap.

Prabu dengan sigap mengambil pesanan gadisnya lalu kembali ke meja mereka.

“here,”

“thanks.” ucap Selene dengan senyum simpul.

Selene menyesap minuman yang ia pesan, sedangkan Prabu hanya memerhatikan gadisnya lamat-lamat dengan senyum simpul yang menghiasi wajahnya.

jujur saat ini ia ingin menghambur ke pelukan gadisnya itu, menghirup seluruh feromon Selene yang selalu membuatnya merasa tenang dan aman. tapi menilik bagaimana Selene bersikap saat ini membuat Prabu tersadar, gadis itu tidak ingin begitu dekat dengan Prabu.

“i'm sorry.” Prabu akhirnya angkat bicara karena sedari tadi Selene hanya sibuk membuang pandangannya, enggan menatap Prabu.

“aku salah dan aku minta maaf. aku gak punya pembelaan apapun tapi tolong biarin aku jelasin ke kamu.” ucap Prabu.

Selene hanya mengangguk mempersilahkan Prabu untuk bicara.

“awalnya aku memang gak mau datang ke funeral, karena aku merasa bukan ranah aku lagi untuk ada disana buat Hera. ofcourse aku ngucapin bela sungkawa ke Hera, but i didn't want to be there. sampai akhirnya papa aku telpon dan dia bilang kalau ternyata papa Hera adalah bawahan dia dahulu sewaktu papa kerja.”

“i swear to god, Selene, i'm being honest right now. gak ada satupun kata yang aku sampaikan itu bohong, trust me.” ucap Prabu.

Selene mengangguk. gadis itu sama sekali tidak meragukan apa yang Prabu ucapkan. ia percaya, sangat konyol untuk Prabu berbohong soal begini di umur sekarang.

“okay, i'm all ears. just tell me, aku gak akan raguin apa yang kamu kasih tau ke aku.” jawab Selene membuat Prabu menghela nafas lega.

“papa sama mama aku ada di Shanghai untuk saat ini, dan hal itu gak memungkinkan beliau untuk datang ke pemakaman papa Hera. akhirnya papa bilang ke aku untuk mewakilkan dia datang kesana. aku gak bisa nolak, Selene, aku manusia, gak mungkin aku nolak permintaan papa soal ini. dan juga aku gak pernah tahu kalau ternyata papa aku dan papa Hera kenal satu sama lain.”

Selene terdiam cukup lama, sampai membuat Prabu gusar. Prabu dengan hati-hati menggenggam tangan Selene yang berada di atas meja.

“love, please talk to me.” ucap Prabu, nada bicara pria itu penuh keputusasaan.

“may i?” tanya Selene yang di jawab anggukan oleh Prabu.

“kalau apa yang kamu lakuin sekarang ini agar aku gak sakit hati, well you choose a wrong way. i'm human too, Prabu. aku juga manusia beradab kayak kamu yang bisa berpikir pada tempatnya. aku gak akan mungkin marah kalau kamu datang ke pemakaman papa Hera, demi Tuhan.”

“i'm sorry,” hanya itu yang bisa Prabu ucapkan.

“aku tahu kamu punya masa lalu yang buruk, that's why you act like this. kamu berusaha ngelindungin apa yang kamu punya, am i wrong?”

Prabu tidak menjawab apapun sampai Selene kembali melanjutkan perkataannya.

“i'm okay for everything you are. even kamu gak bisa secepat itu untuk terbuka sama aku, aku gak masalah. but can you please being honest with me when i ask you something, please? aku cuma mau itu. aku gak suka di bohongi, well siapa yang suka di bohongi sih?”

“you have bad relationship with her, that's why.” ucap Prabu.

“i am, tapi bukan berarti kamu bisa bohong begitu untuk ngebuat aku gak terlibat lagi sama dia.” ucap Selene frustrasi. “yang bikin aku sakit hati saat ini bukan fakta kamu ketemu Hera, tapi kamu bohong sama aku.”

“baby, please.” Prabu mengeratkan genggaman tangannya pada Selene.

“no, i think this is clear. i know we are mature enough for this relationship, but the problem is we are not ready for this. kamu sama aku cuma nyakitin satu sama lain dengan mengatasnamakan melindungi.”

Selene menghela nafas. “jadi aku rasa kita harus pikirin lagi untuk lanjutin hubungan ini atau enggak.”

“i don't want this.”

“trust me i do. aku juga gak mau akhirnya begini. tapi Prabu, look at us. kamu yang gak bisa terbuka sama aku, dan akupun gak bisa terbuka sama kamu. kamu yang gak mau nyakitin aku dan aku yang gak mau bikin kamu repot sama keluhan aku. relationship isn't work like this.”

“aku sama kamu masih butuh waktu untuk nyembuhin diri masing-masing. we run when the fact is we should walk.”

“let's meet again when we found the better version of ourselves.”

Selene menarik tangannya dari genggaman Prabu. gadis itu tahu ada air mata di pelupuk mata pria di hadapannya. ia tahu mungkin suatu saat nanti ia akan menyesali keputusan ini. tetapi ia lebih tau Selene di masa depan akan lebih menyesal kalau harus memaksakan hal ini.

Prabu akhirnya menatap gadis di hadapannya. “wait for me.”

“i'll wait for you, always.”

and that's it, she walk away from him, for good, for not hurting each other, for everything she could save than sorry.

first and last place

Begitu Selene sampai ia kira dirinya yang pertama kali datang, tetapi saat ia mengedarkan pandangannya sudah ada Prabu yang duduk di sudut ruangan dekat jendela dengan laptop di hadapannya.

Selene langsung menghampiri pria itu dan duduk di hadapannya. senyumnya mengembang saat Prabu menatapnya.

“udah lama?” tanya Selene.

Prabu melepaskan kacamata yang bertengger di hidungnya. “no, sekitar sepuluh menit yang lalu.” jawab Prabu dengan senyum simpul.

hari ini Selene mengenakan semua barang yang Prabu berikan padanya, mulai dari dress, boots, tas, sampai aksesoris lainnya yang ia kenakan. Prabu yang mengenali barang itu langsung tersenyum lebar.

“you wearing that.”

Selene terkekeh, ia menatap tangannya. “see, you gave me too much. sampai aku bisa pakai satu badan.”

“it's okay, you deserve it.” kata Prabu. “udah pesen?”

Selene hanya mengangguk sebagai jawaban. tidak ada pembicaraan diantara mereka sampai akhirnya nama Selene di panggil oleh barista karena pesanannya telah siap.

Prabu dengan sigap mengambil pesanan gadisnya lalu kembali ke meja mereka.

“here,”

“thanks.” ucap Selene dengan senyum simpul.

Selene menyesap minuman yang ia pesan, sedangkan Prabu hanya memerhatikan gadisnya lamat-lamat dengan senyum simpul yang menghiasi wajahnya.

jujur saat ini ia ingin menghambur ke pelukan gadisnya itu, menghirup seluruh feromon Selene yang selalu membuatnya merasa tenang dan aman. tapi menilik bagaimana Selene bersikap saat ini membuat Prabu tersadar, gadis itu tidak ingin begitu dekat dengan Prabu.

“i'm sorry.” Prabu akhirnya angkat bicara karena sedari tadi Selene hanya sibuk membuang pandangannya, enggan menatap Prabu.

“aku salah dan aku minta maaf. aku gak punya pembelaan apapun tapi tolong biarin aku jelasin ke kamu.” ucap Prabu.

Selene hanya mengangguk mempersilahkan Prabu untuk bicara.

“awalnya aku memang gak mau datang ke funeral, karena aku merasa bukan ranah aku lagi untuk ada disana buat Hera. ofcourse aku ngucapin bela sungkawa ke Hera, but i didn't want to be there. sampai akhirnya papa aku telpon dan dia bilang kalau ternyata papa Hera adalah bawahan dia dahulu sewaktu papa kerja.”

“i swear to god, Selene, i'm being honest right now. gak ada satupun kata yang aku sampaikan itu bohong, trust me.” ucap Prabu.

Selene mengangguk. gadis itu sama sekali tidak meragukan apa yang Prabu ucapkan. ia percaya, sangat konyol untuk Prabu berbohong soal begini di umur sekarang.

“okay, i'm all ears. just tell me, aku gak akan raguin apa yang kamu kasih tau ke aku.” jawab Selene membuat Prabu menghela nafas lega.

“papa sama mama aku ada di Shanghai untuk saat ini, dan hal itu gak memungkinkan beliau untuk datang ke pemakaman papa Hera. akhirnya papa bilang ke aku untuk mewakilkan dia datang kesana. aku gak bisa nolak, Selene, aku manusia, gak mungkin aku nolak permintaan papa soal ini. dan juga aku gak pernah tahu kalau ternyata papa aku dan papa Hera kenal satu sama lain.”

Selene terdiam cukup lama, sampai membuat Prabu gusar. Prabu dengan hati-hati menggenggam tangan Selene yang berada di atas meja.

“love, please talk to me.” ucap Prabu, nada bicara pria itu penuh keputusasaan.

“may i?” tanya Selene yang di jawab anggukan oleh Prabu.

“kalau apa yang kamu lakuin sekarang ini agar aku gak sakit hati, well you choose a wrong way. i'm human too, Prabu. aku juga manusia beradab kayak kamu yang bisa berpikir pada tempatnya. aku gak akan mungkin marah kalau kamu datang ke pemakaman papa Hera, demi Tuhan.”

“i'm sorry,” hanya itu yang bisa Prabu ucapkan.

“aku tahu kamu punya masa lalu yang buruk, that's why you act like this. kamu berusaha ngelindungin apa yang kamu punya, am i wrong?”

Prabu tidak menjawab apapun sampai Selene kembali melanjutkan perkataannya.

“i'm okay for everything you are. even kamu gak bisa secepat itu untuk terbuka sama aku, aku gak masalah. but can you please being honest with me when i ask you something, please? aku cuma mau itu. aku gak suka di bohongi, well siapa yang suka di bohongi sih?”

“you have bad relationship with her, that's why.” ucap Prabu.

“i am, tapi bukan berarti kamu bisa bohong begitu untuk ngebuat aku gak terlibat lagi sama dia.” ucap Selene frustrasi. “yang bikin aku sakit hati saat ini bukan fakta kamu ketemu Hera, tapi kamu bohong sama aku.”

“baby, please.” Prabu mengeratkan genggaman tangannya pada Selene.

“no, i think this is clear. i know we are mature enough for this relationship, but the problem is we are not ready for this. kamu sama aku cuma nyakitin satu sama lain dengan mengatasnamakan melindungi.”

Selene menghela nafas. “jadi aku rasa kita harus pikirin lagi untuk lanjutin hubungan ini atau enggak.”

“i don't want this.”

“trust me i do. aku juga gak mau akhirnya begini. tapi Prabu, look at us. kamu yang gak bisa terbuka sama aku, dan akupun gak bisa terbuka sama kamu. kamu yang gak mau nyakitin aku dan aku yang gak mau bikin kamu repot sama keluhan aku. relationship isn't work like this.”

“aku sama kamu masih butuh waktu untuk nyembuhin diri masing-masing. we run when the fact is we should walk.”

“let's meet again when we found the better version of ourselves.”

Selene menarik tangannya dari genggaman Prabu. gadis itu tahu ada air mata di pelupuk mata pria di hadapannya. ia tahu mungkin suatu saat nanti ia akan menyesali keputusan ini. tetapi ia lebih tau Selene di masa depan akan lebih menyesal kalau harus memaksakan hal ini.

Prabu akhirnya menatap gadis di hadapannya. “wait for me.”

“i'll wait for you, always.”

and that's it, she walk away from him, for good, for not hurting each other, for everything she could save than sorry.

By Phone

Dari layarnya Selene bisa melihat jika saat ini Prabu sedang berada di dalam mobil. kentara sekali dari lampu mobil yang temaram.

“kamu belum di mess?” tanya Selene membuka percakapan.

“belum, mess aku lumayan jauh dari lokasi.” Prabu lalu sedikit menggeser handphonenya dan menampakkan Jeremy yang sedang menyetir mobil. “aku lagi sama Jeremy nih, Selene.”

“halo Selene.” Jeremy yang sedang menyetir melambaikan tangan tanpa menatap handphone sama sekali.

“halo kak Jer, apa kabar?” tanya Selene sedikit terkekeh karena mendengar Prabu berdecak.

“baik, Sel.” Jeremy sedikit mencuri pandang pada handphone Prabu. “udah sana lu ngobrol, asem banget muka lu.” lanjut Jeremy.

tidak lama layar handphone Selene kembali di penuhi oleh wajah Prabu.

“Hera nya udah pulang?” tanya Prabu.

“mau di omongin sekarang? gak tunggu nyampe aja?” tanya Selene.

sebenarnya Selene gak masalah sih mau di bahas sekarang atau nanti, tapi takutnya Jeremy yang sedang bersama Prabu jadi merasa tidak nyaman karena mendengar obrolan pribadi mereka.

“sekarang gapapa. Jeremy gak usah di anggap manusia, jadi kamu gak usah ngerasa gak nyaman.” kata Prabu.

dapat Selene dengar Jeremy memprotes tidak terima, tetapi atensinya kembali menuju Prabu saat pria itu kembali buka suara.

“udah pulang kan?”

“udah, dia cuma ambil baju dia yang ternyata masih ada disini.” Selene menghela nafas. “you didn't said kalau Hera pernah tinggal disini.”

“aku pikir lebih baik buat gak kasih tahu kamu, sayang. soalnya juga aku gak tinggal bareng sama dia. aku suruh dia tinggal disitu karena aku gak mau dia ganggu aku, datang ke apartemen aku yang di residence. jadi aku pikir biar Hera yang tinggal di anandamaya dan aku yang samper dia.” jelas Prabu panjang lebar.

Selene menghela nafas. tadinya ia merasa sangat marah ketika mengetahui fakta bahwa Hera dulunya pernah tinggal di apartemen yang ia tinggali sekarang. bukannya merasa cemburu dengan masa lalu Hera dan Prabu, tetapi gadis itu merasa malu saat ia sudah hampir marah saat Hera nyelonong masuk ke dalam apartemennya tanpa mengetahui bahwa dahulu Hera sempat tinggal di apartemen itu.

“aku gak papa kalaupun dulu kamu emang pernah tinggal bareng dia—”

“Selene, aku gak—”

“no Prabu, you listen to me. jangan potong dulu kalau aku lagi ngomong.” ucap Selene tegas yang mana membuat Prabu langsung terdiam.

Selene bisa mendengar tawa Jeremy yang tertahan lalu ia melihat Prabu melirik Jeremy sinis. Prabu lalu berinisiatif untuk memasang earphone karena masalah yang ia bahas cukup personal untuk di dengar Jeremy.

“i'm okay with that fact. it's your past, there's nothing i can do with that kan? tapi yang bikin aku marah adalah, kenapa kamu gak bilang ke aku soal ini?”

“karena aku ngerasa kamu gak perlu tahu ini. aku tau nanti akhirnya kamu malah sakit hati tau apartemen itu dulu sempet di tinggali Hera.”

“kamu gitu mulu deh Prabu, bikin spekulasi sendiri tanpa tahu aslinya gimana. kamu tau dari mana kalau aku bakal marah?”

Prabu sempat terdiam. pria itu sempat mengusap wajahnya yang terlihat lelah. sebenarnya Selene gak mau membahas ini saat Prabu baru banget pulang dari kerjanya. tetapi Prabu adalah Prabu, kalau tidak dituruti ia akan terus memaksa.

“look baby, you're mad now, that's the reason i'm not telling you about this.” kata Prabu.

“aku marah bukan karena Hera pernah tinggal disini, Prabu.” Selene menghela nafas. “kamu tau gak waktu dia masuk aku udah nyecar dia dan bilang dia gak sopan padahal faktanya dia gak tahu aku disini dan dia ngira dia masih bisa keluar masuk dengan mudah karena kamu gak bilang apapun soal apartemen ini ke dia.”

“baby, i—”

“prabu aku belum selesai ngomong.”

Prabu mengalah, “okay, go ahead.”

“dia bilang kok bisa aku gak tahu sebelumnya dia pernah tinggal disini. aku gak bilang apapun soal itu, karena jujur aku sendiri bingung kenapa kamu gak bilang ke aku.”

sempat terjadi keheningan beberapa saat diantara mereka berdua sampai akhirnya Selene kembali buka suara.

“kamu sendiri yang bilang, there's no judgement in our relationship. we love each other no matter what.”

“Selene, aku minta maaf. aku gak maksud untuk nyembunyiin ini.”

“sekarang aku tanya deh, kalau Hera hari ini gak kesini kamu mungkin gak akan pernah kasih tau hal ini ke aku kan?”

Prabu terdiam, tidak menjawab sama sekali. niat pria itu memang bukan ingin menyembunyikan hal ini, tetapi ia ingin menjaga hati Selene, takut-takut gadis itu merasa cemburu saat mengetahui fakta tersebut.

dilihat dari hubungan dia dengan Javier yang dahulu putus di karenakan Hera, Prabu takut kalau Selene kembali berpikir yang tidak-tidak soal dirinya dan Hera.

“see? lihat kamu diam sekarang berarti jawabannya iya.” Selene menghela nafas kasar. kentara sekali kalau gadis itu sedang merasa kesal.

“kenapa sih kamu tuh harus ada kejadian sesuatu dulu baru bisa cerita sama aku? bisa gak cerita ke aku tanpa harus merasa terpaksa?”

“selene aku gak terpaksa.”

“kamu terpaksa. kamu cerita karena harus ngelurusin salah paham, kalau gak ada salah paham begini kamu mana mungkin cerita sama aku kan?”

Prabu tidak menjawab, ia memilih diam.

Prabu tahu tidak ada gunanya ia mengelak, ia memang salah, ia tahu. jadi ia membiarkan Selene untuk menenangkan dirinya.

“aku udah sampe mess. kamu tenangin diri kamu dulu ya, aku mau bersih-bersih. facetime nya jangan di matiin, nanti kita ngobrol lagi.”

Dengan begitu Prabu meninggalkan handphonenya yang masih terhubung dengan Selene. pria itu mandi dan melakukan beberapa hal lainnya seperti makan dan membereskan tempat tidurnya.

sedangkan Selene kini tengah sibuk menggarap skripsinya. sampai akhirnya Prabu selesai dengan segala kegiatannya Selene pun masih berkutat dengan laptopnya tanpa sadar Prabu dengan menunggunya.

mungkin ada sekitar dua jam kemudian baru Selene tersadar jika handphonenya masih tersambung dengan Prabu.

“udah?” tanya Prabu begitu wajah Selene memenuhi layar handphone nya.

“udah.”

“sayang, aku salah, aku minta maaf. oke memang aku gak akan bilang soal Hera yang tinggal di apartemen itu kalau dia gak datang kesana. tapi trust me, semua itu aku lakuin buat kamu.” Prabu mengubah posisi tidurnya yang tidak nyaman menjadi duduk.

“you have bad relationship with Hera, dan aku gak mau hal itu jadi bikin beban pikiran yang gak perlu di kamu. aku gak membenarkan keputusan aku soal ini, tapi aku harap kamu ngerti. bukan maksudnya aku ngelakuin ini karena hal lain.”

Selene tidak langsung menjawab. gadis itu malah meletakkan handphonenya membuat Prabu terheran.

“Selene?”

“ya?”

“you okay?”

tidak berapa lama kemudian wajah Selene kembali memenuhi layar handphone Prabu.

“hey, kok nangis? Selene, look, aku—”

“kamu nyebelin banget.”

”........”

“kamu gak tau tadi dia ngeliatin aku remeh banget seakan aku bukan apa-apa di banding dia untuk kamu.”

“Selene trust me, you mean a lots for me. i'll do anything for you, and you know it.”

”......”

“udah nangisnya, kalau nangis lagi aku balik ke Jakarta nih.”

“ngancemnya jelek.”

“yaudah sekarang jangan nangis lagi oke? gak usah nangis, ya?”

“sebel banget aku sama kamu.”

“kalau kamu sebel, aku enaknya diapain coba?”

“diapain?”

“di cium,” jawab Prabu lalu nyengir.

lowkey

dalam hitungan menit sekre kini di penuhi dengan orang. tadinya hanya ada Deverra dan Jelena, lalu muncul Yasa dan di susul yang lain.

hari ini rencananya mereka mau membahas perihal malam inagurasi yang akan di adakan seminggu lagi. makanya pihak BEM lagi sibuk-sibuknya menyiapkan ini, apalagi yang panitia inti.

“mana proposal?” Jelena menadahkan tangannya meminta proposal yang sebelumnya di urus oleh Adara selalu sekretaris.

“udah beres tinggal tanda tangan Dev sama dekan.” ucap Adara lalu memberikan proposal yang sedari tadi ia pegang.

“apa lagi yang perlu di bahas?” kini Deverra yang angkat bicara.

Malvin yang duduk di sudut ruangan langsung mengangkat tangannya. setelah dapat persetujuan dari Deverra, Malvin baru berbicara.

“panitia wajib nginep gak?”

“yang inti wajib, dekdok juga wajib. sebenernya kalau dilihat ya panitia emang harus stand by, tapi kalau ada yang berhalangan nginep bisa koordinasi dulu.” ucap Yasa selaku ketua pelaksana.

“nginep tapi bawa pacar boleh gak?” tanya Deverra yang mengundang cubitan di perutnya dari Jelena.

“kebiasaan deh Dipi.” geram Jelena.

Deverra hanya terkekeh. Darrel yang sedari tadi memperhatikan keduanya langsung berdehem karena mereka sudah mulai asik sendiri.

“kayak punya pacar aja, Dev.” ucap Darrel.

Deverra menggaruk kepalanya canggung. “iya sih, gak punya.”

“hoax banget anjir.” Valerie langsung menyahuti dengan ketus.

sebenarnya dahulu Valerie dan Deverra sempat mempunyai hubungan yang di anggap Valerie itu spesial. bagaimana tidak, Deverra antar jemput Valerie iya, hang out berdua waktu weekend iya, terus udah sampai ke tahap dimana Valerie dan Deverra udah pakai bahasa aku-kamu.

tetapi Deverra tidak kunjung memberikan pergerakan yang lebih, mereka berdua hanya berjalan di tempat. dan dalam beberapa kesempatan Valerie sempat memergoki Deverra sedang jalan dengan cewek lain.

“yaelah, masih aja sinisnya.” ucap Aksa dengan nada tengil.

sudah jadi rahasia umum kalau Valerie masih nyimpan dendam pribadi ke Deverra karena masa lalu mereka.

sedangkan Deverra sendiri ya santai aja, tapi kadang dia suka gak enak kalau anak-anak BEM mulai menggoda mereka berdua dan menyeret Jelena kedalamnya.

kayak sekarang, Joshua mulai menggoda Jelena yang sedari tadi hanya terdiam.

“udah, Jejenya udah diem aja tuh.” goda Joshua.

“apaan sih, Jo.” bela Deverra karena ia tahu kalau Jelena tidak akan nyaman di goda seperti itu.

setelah selesai rapat beberapa dari mereka ada yang pulang dan ada yang tinggal seperti Malvin, Valerie, Deverra, Jelena, dan Joshua yang masih betah menetap di sekre.

semuanya sibuk sendiri, sampai akhirnya ada dua alarm dari handphone yang berbeda berbunyi. yaitu handphone Deverra dan Jelena.

ketika alarm itu berbunyi cowok itu langsung mendekat kearah Jelena yang kini sudah sibuk berkutat pada handphonenya.

“jadinya mau yang mana?” tanya Dev.

“ini, ini, sama ini. tapi ntar di elu tambah yang ini ya? tangan lu kan wangi.” jelas Jelena.

Deverra tersenyum simpul. “aman aja, serahkan sama gua.”

Joshua yang sedari tadi memerhatikan keduanya cukup kebingungan, ia lalu mendekat pada Valerie dan bertanya pada gadis itu.

“ngapain mereka?”

“Dev lagi bantuin Jeje war di thrift shop.” jawab Valerie.

“emang war apa?”

“kemaren sih katanya skirt, sama baseball jacket.”

“emang Dev udah biasa bantuin Jelena?”

Valerie mengernyit lalu menatap Joshua heran. “Dev gak ada cerita sama lu?”

“cerita apaan?” Joshua balik bertanya.

“si Dev udah kayak jadi jastip war thrift khususnya Jelena.” jawab Valerie. “temen lu itu, gatau deh ngapain mereka. di bilang temen tingkahnya bukan kayak temen, di bilang lagi pdktan juga enggak, pacaran apalagi.”

Joshua tertawa. “emang gak ada yang tau. Dev aja gak tau kalau di tanya.”

“Jelena malah ngelak mulu kalau ditanya.” Valerie menimpali. “katanya wajar aja presma sama wapresma kan harus deket.”

“alibi,” Joshua berdecih.

lowkey

dalam hitungan menit sekre kini di penuhi dengan orang. tadinya hanya ada Deverra dan Jelena, lalu muncul Yasa dan di susul yang lain.

hari ini rencananya mereka mau membahas perihal malam inagurasi yang akan di adakan seminggu lagi. makanya pihak BEM lagi sibuk-sibuknya menyiapkan ini, apalagi yang panitia inti.

“mana proposal?” Jelena menadahkan tangannya meminta proposal yang sebelumnya di urus oleh Adara selalu sekretaris.

“udah beres tinggal tanda tangan Dev sama dekan.” ucap Adara lalu memberikan proposal yang sedari tadi ia pegang.

“apa lagi yang perlu di bahas?” kini Deverra yang angkat bicara.

Malvin yang duduk di sudut ruangan langsung mengangkat tangannya. setelah dapat persetujuan dari Deverra, Malvin baru berbicara.

“panitia wajib nginep gak?”

“yang inti wajib, dekdok juga wajib. sebenernya kalau dilihat ya panitia emang harus stand by, tapi kalau ada yang berhalangan nginep bisa koordinasi dulu.” ucap Yasa selaku ketua pelaksana.

“nginep tapi bawa pacar boleh gak?” tanya Deverra yang mengundang cubitan di perutnya dari Jelena.

“kebiasaan deh Dipi.” geram Jelena.

Deverra hanya terkekeh. Darrel yang sedari tadi memperhatikan keduanya langsung berdehem karena mereka sudah mulai asik sendiri.

“kayak punya pacar aja, Dev.” ucap Darrel.

Deverra menggaruk kepalanya canggung. “iya sih, gak punya.”

“hoax banget anjir.” Valerie langsung menyahuti dengan ketus.

sebenarnya dahulu Valerie dan Deverra sempat mempunyai hubungan yang di anggap Valerie itu spesial. bagaimana tidak, Deverra antar jemput Valerie iya, hang out berdua waktu weekend iya, terus udah sampai ke tahap dimana Valerie dan Deverra udah pakai bahasa aku-kamu.

tetapi Deverra tidak kunjung memberikan pergerakan yang lebih, mereka berdua hanya berjalan di tempat. dan dalam beberapa kesempatan Valerie sempat memergoki Deverra sedang jalan dengan cewek lain.

“yaelah, masih aja sinisnya.” ucap Aksa dengan nada tengil.

sudah jadi rahasia umum kalau Valerie masih nyimpan dendam pribadi ke Deverra karena masa lalu mereka.

sedangkan Deverra sendiri ya santai aja, tapi kadang dia suka gak enak kalau anak-anak BEM mulai menggoda mereka berdua dan menyeret Jelena kedalamnya.

kayak sekarang, Joshua mulai menggoda Jelena yang sedari tadi hanya terdiam.

“udah, Jejenya udah diem aja tuh.” goda Joshua.

“apaan sih, Jo.” bela Deverra karena ia tahu kalau Jelena tidak akan nyaman di goda seperti itu.

setelah selesai rapat beberapa dari mereka ada yang pulang dan ada yang tinggal seperti Malvin, Valerie, Deverra, Jelena, dan Joshua yang masih betah menetap di sekre.

semuanya sibuk sendiri, sampai akhirnya ada dua alarm dari handphone yang berbeda berbunyi. yaitu handphone Deverra dan Jelena.

ketika alarm itu berbunyi cowok itu langsung mendekat kearah Jelena yang kini sudah sibuk berkutat pada handphonenya.

“jadinya mau yang mana?” tanya Dev.

“ini, ini, sama ini. tapi ntar di elu tambah yang ini ya? tangan lu kan wangi.” jelas Jelena.

Deverra tersenyum simpul. “aman aja, serahkan sama gua.”

Joshua yang sedari tadi memerhatikan keduanya cukup kebingungan, ia lalu mendekat pada Valerie dan bertanya pada gadis itu.

“ngapain mereka?”

“Dev lagi bantuin Jeje war di thrift shop.” jawab Valerie.

“emang war apa?”

“kemaren sih katanya skirt, sama baseball jacket.”

“emang Dev udah biasa bantuin Jelena?”

Valerie mengernyit lalu menatap Joshua heran. “Dev gak ada cerita sama lu?”

“cerita apaan?” Joshua balik bertanya.

“si Dev udah kayak jadi jastip war thrift khususnya Jelena.” jawab Valerie. “temen lu itu, gatau deh ngapain mereka. di bilang temen tingkahnya bukan kayak temen, di bilang lagi pdktan juga enggak, pacaran apalagi.”

Joshua tertawa. “emang gak ada yang tau. Dev aja gak tau kalau di tanya.”

“Jelena malah ngelak mulu kalau ditanya.” Valerie menimpali. “katanya wajar aja presma sama wapresma kan harus deket.”

“alibi,” Joshua berdecih.